21 June 2007

Korupsi Hanya Bisa Diatasi oleh Syariah Islam

Buleti Al Islam Edisi 359

KORUPSI HANYA BISA DIATASI

OLEH SYARIAH ISLAM

Laporan Transparency International-Indonesia (TII) beberapa waktu lalu tentang IPK (Indeks Persepsi Korupsi) memberikan gambaran betapa sulitnya membertantas korupsi di negeri ini. Para pengusaha yang menjadi responden TII tersebut mengungkapkan, bahwa insiatif suap justru lebih banyak dilakukan aparat. Lembaga Peradilan adalah yang paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap. Nilainya hingga 100%. Lebih dari 4 dari 10 keluarga di Indonesia harus menyuap demi memperoleh keadilan. Bea cukai berada pada urutan kedua dengan angka 95%, Imigrasi 90%, BPN 84%, Polisi 78%, dan Pajak 76%.

Di Pemda, Dinas Tenaga Kerja, sebagaimana dilaporkan oleh kalangan pelaku usaha, tingkat inisiatif suapnya hingga 84%; disusul Dinas Kimpraswil 82%; pengurusan izin usaha 82%. Hampir seluruh urusan di negeri ini akan sulit jika tanpa uang pelicin. Seorang pengusaha dari Surabaya “menitipkan pesan”, bahwa untuk meloloskan 3 kapal yang bermuatan kayu sampai ke gudang, mereka harus merelakan 2 kapal penuh muatan kayu sebagai “tiket masuk pelabuhan”.

Tekad berbagai kalangan, termasuk Pemerintah, untuk memberantas korupsi sepertinya tidak mengurangi kecepatan laju korupsi. Korupsi di negeri ini kian menggurita; mulai dari tingkat pusat sampai ke pelosok. Bantuan Pemerintah Pusat melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM–Infrastruktur Pedesaan (PKPS BBM-IP) tahun 2005 dan Program Peningkatan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) tahun 2006 senilai Rp 250 juta/desa dinilai beberapa kalangan memicu korupsi baru di tingkat desa (RoL 27/05/07). Motifnya pun sekarang semakin beragam. Penerima suapnya juga semakin banyak. Di era reformasi ini, kita menemukan istilah korupsi berjamaah.

Mengurai Akar Masalah

Pertama: Secara sistemik, sistem kapitalis dengan “politik dagang sapinya” menjadi pemicu tindak kejahatan luar biasa ini, baik langsung maupun tidak langsung. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mencapai kedudukan politik saat ini diperlukan modal besar. Kasus mengalirnya dana nonbujeter DKP adalah bukti kongkret betapa mahal jalan menuju kursi kepemimpinan dalam sistem ini. Rokhmin Dahuri dalam koran Republika 28/05/07 mengungkapkan bahwa semua capres menerima dana DKP. Selain dari dirinya, sejumlah menteri juga memberi bantuan dana nonbujeter kepada tim sukses para capres. “Lobi-lobi politik” yang bermuara pada kesepakatan materi maupun jabatan politik adalah wajah lain dari tindak korupsi. Secara tegas Harian Media Indonesia tanggal 08/06/07 yang lalu mewartakan, bahwa Pilkada dengan calon dari partai hanya meloloskan calon yang punya uang.

Masyarakat banyak tentu yang paling dirugikan. Dana yang selayaknya untuk keperluan masyarakat, beralih kepada individu koruptor. Selama 30 tahun terakhir, sedikitnya ada US$ 40 miliar anggaran pembangunan yang masuk ke kocek pribadi karena perilaku korupsi (Media Indonesia, 31/03/2002). Setiap tahun, lebih dari US$ 1 triliun (lebih dari Rp 8.000 triliun) habis dibayarkan sebagai uang suap dalam berbagai bentuk, terutama di negara-negara berkembang (Forum Keadilan, No. 41, 26 Februari 2007).

Perilaku para elit politis pada akhirnya tidak jauh beda dengan seorang “investor” yang melakukan investasi dari “industri politik”-nya. Konsekuensinya, dalam masa jabatannya, mereka akan berusaha semaksimal dan sesingkat mungkin untuk mengembalikan dana “investasi” tersebut. Ini sudah menjadi keniscayaan dalam sistem politik kapitalis. Bahkan arah sistem pemerintahan dengan model “cooporate state” semakin membuktikan fenomena ini. Jika dulu para kapitalis hanya berada di belakang layar aktor politik, sekarang mereka langsung duduk dalam jabatan strategis politik tersebut. Di Amerika Serikat, misalnya, Selain W. Bush, para petinggi AS sekarang hampir semuanya adalah pebisnis. Ada wakil Presiden Dick Cheney (mantan CEO Halliburton, pengusaha jasa minyak terbesar di dunia). Menteri LN Condoleeza Rice (mantan direksi Chevron), dan Menteri Perdagangan Don Evans (mantan CEO Tom Browns Inc, perusahaan minyak dan gas beraset miliaran dolar). Di negeri ini, sejumlah petinggi/pejabat negara adalah pengusaha.

Kedua: Secara personal terletak pada pelaku atau manusianya. Banyak pribadi yang tidak bertakwa sehingga tidak amanah dalam menjalankan tugas. Sebagus dan sebanyak apa pun aturan yang dikeluarkan untuk memberantas korupsi, jika pelakunya tidak amanah, UU dan aturan tersebut tidak pernah efektif. Sejak reformasi saja, telah keluar 2 TAP MPR, lima UU ditetapkan, lima PP dikeluarkan, satu Kepres dan satu Inpres telah ditandatangani. Namun, korupsi tetap jalan. Bahkan ada kesan bahwa UU yang ada justru untuk melindungi para koruptor.

Dengan individu yang seperti ini, batasan korupsi pun semakin kabur. Prof. Andi Hamzah (Ketua Tim penyusun RUU Pemberantasan Tipikor, Guru Besar Luar Biasa Pasca Sarjana Hukum Pidana Iniversitas Indonesia) pernah diprotes para pelaku penegak hukum karena mengatakan bahwa korupsi bukan merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Bagi kebanyakan rakyat, korupsi bahkan sudah menjadi kegiatan yang amat biasa dan karena itu tidak perlu dipermasalahkan.

Secara inividu pula, gagalnya penanganan kasus korupsi adalah karena pelaku korupsi itu sering para penegak hukum itu sendiri. Bagaimana mungkin penyelesaian korupsi akan kita harapkan dari pihak yang melakukan, yang memberikan fasiliatas dan “memelihara” tindak korupsi itu sendiri?

Yang paling menyakitkan rakyat banyak adalah, jika “kejahatan sosial politik ini” diselesaikan secara “politik”. Selama dua periode Pemerintahan, kasus dana BLBI senantiasa diselesaikan secara politik. Dalam majalah GATRA No. 27 thn XIII, 17-23 Mei 2007, Abdurahman Saleh mengungkapkan, semasa Presiden Megawati dikeluarkan surat keterangan lunas bagi para obligor BLBI. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, kasus BLBI diselesaikan melalui skema “master settlement and acquisition agreement” (MSAA).

Solusi Islam

Secara filosofis, jabatan politik dalam Islam adalah amanah yang ditujukan untuk melayani rakyat dan menerapkan syariah Islam. Rasulullah saw. mengungkapkan bahwa setiap pemimpin dalam suatu wilayah adalah layaknya seorang penggembala, yang akan diminta tanggung jawabnya di hadapan Allah atas masyarakat yang dipimpinnya.
Posisi politik demikian tidak akan “menjanjikan” secara materi. Karena itu, menuju kedudukan politik tidak perlu menguras harta yang besar. Sistem baiat dalam pengangkatan Khalifah jauh berbeda dengan “pesta demokrasi” yang digelar dalam sistem kapitalis dengan biaya yang besar.

Tidak ada kamus “balik modal” bagi seorang politisi Muslim dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya. Agar tugas tersebut bisa optimal dan profesional dilakukan, pejabat negara berhak mendapat santunan yang layak untuk mereka dan keluarganya. Khalifah Abu Bakar, misalnya, diberi harta dari Baitul Mal sebagai santunan dari kompensasi bisnis yang dia tinggalkan ketika menjabat sebagai khalifah.

Dengan pilar seperti ini, kepala negara dapat melaksanakan sistem politik Islam secara menyeluruh. Negara dapat melakukan perombakan yang besar-besaran terhadap birokrasi jika dinilai korup. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz pada awal pemerintahannya bisa menjadi teladan yang menarik. Al-Laits berkata, “Tatkala Umar bin Abdul Aziz berkuasa, dia mulai melakukan perbaikan dari kalangan keluarga dan familinya serta membersihkan hal-hal yang tidak beres di lingkaran mereka. Kepada istrinya Khalfah Umar mengatakan, ‘Pilihlah olehmu, engkau mengembalikan harta perhiasan ini ke Baitul Mal atau izinkan aku meninggalkanmu untuk selamanya.’” (Tarikh al-Khulafa’, Imam As Suyuthi, hlm. 274).
Lingkungan birokrasi yang demikian akan memudahkan seorang Muslim menunjukkan jatidiri keimanannya dalam aktivitas keseharian. Larangan Islam tentang suap, larangan bagi pejabat menerima “hadiah”, hingga penerapan hukum yang tegas akan mudah terealisasi.
Terkait dengan larangan menyuap, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. telah menegaskan:

«لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ»
Allah melaknat penyuap dan penerima suap di dalam kekuasaan. (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Tentang “hadiah” seseorang kepada pejabat negara, Rasulullah saw. menamakannya dengan istilah “ghulul” atau “shut”, yakni harta haram. Rasulullah saw. bersabda:

«هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ»
Hadiah yang diterima para penguasa adalah ghulul (harta haram). (HR Ahmad dan al-Baihaqi).

Dalam sistem Islam, penegakkan hukum akan efekif karena secara i’tiqadi para penegak hukum melakukan ibadah ketika menerapkan hukum (Islam). Dalam masa keemasan Islam, bahkan kesadaran penegakan hukum bukan hanya disadari oleh pelaku penegak hukum, namun terpidana hukum pun dengan dorongan keimanan, rela diterapkan hukuman atas dirinya, karena itu merupakan penebus (jawabir), agar dia tidak dihukum lagi di akhirat dengan hukuman yang lebih berat dan pedih.

Wahai kaum Muslim:

Sudah sepatutnya disadari oleh kaum Muslim, bahwa penerapan syariah Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah adalah prasyarat utama bagi terealisinya solusi Islam dalam menangani masalah korupsi ini. Atas dasar keimanan, dan realitas yang ada, kita yakin bahwa korupsi tidak akan pernah teratasi kecuali dengan penerapan syariah Islam.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [].

KOMENTAR:
Prostitusi Pelajar di Kediri: Banyak tak perawan sejak SMP (Detik.com, 12/6/07).
Na‘udzu billâh! Sudah banyak bukti semacam ini. Masihkah penguasa cuma diam saja?!

Selanjutnya

07 June 2007

Kapitalisme: Biang Krisis Berulang

Buletin Al Islam Edisi 355

KAPITALISME: BIANG KRISIS BERULANG

Halaman utama Republika (11/5/2007) memuat judul berita, “Situasi Saat Ini Mirip Krisis”. Judul berita tersebut merupakan kutipan langsung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah konferensi pers. Sebenarnya pernyataan yang disampaikan hanyalah oleh-oleh Ibu Menteri setelah mengikuti pertemuan internasional dengan para pejabat Bank Pembangunan Asia (ADB) dan konsultan asing di Kyoto-Jepang. Dalam pertemuan tersebut para pejabat ADB menjelaskan hasil analisisnya, bahwa kondisi negara-negara Asia saat ini sudah mirip kondisi tahun 1997.

Hari berikutnya, Menko Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia (BI) membantah pernyataan Menteri Keuangan. Konon bantahan tersebut disampaikan setelah Tim Ekonomi dipanggil Presiden SBY dan Wapres JK yang tidak sepakat dengan pernyataan Menteri Keuangan.

Banyak hal yang penting dicermati dari berita tersebut. Pertama: kabar bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan karena situasinya sudah mendekati krisis jelas membuat rakyat resah. Tahun ini, sepuluh tahun setelah Indonesia dilanda krisis yang amat dalam tahun 1997/1998, masyarakat masih merasakan dampak buruk yang ditimbulkan oleh krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi tersebut. Kesempatan untuk mencari pekerjaan jauh lebih sulit dibandingkan dengan sebelum krisis. Kesejahteraan masyarakat bawah juga lebih buruk daripada sebelum krisis akibat laju kenaikan harga-harga barang yang lebih cepat dibandingkan dengan laju pendapatan masyarakat. Rezim berubah, tetapi kondisi rakyat tidak beranjak.

Kedua: sesungguhnya apa yang disampaikan Menteri Keuangan tentang kondisi ekonomi yang cukup mengkhawatirkan bukanlah isu baru. Para ekonom domestik yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit telah menyampaikan kekhawatiran akan terjadinya kembali krisis ekonomi. Sejak Januari peringatan tersebut telah diberikan. Bahkan Tim Ekonomi sudah diminta untuk segera mengubah haluan kebijakan ekonominya untuk menghindarkan Indonesia dari krisis moneter dan krisis ekonomi. Sayang, peringatan para analis dalam negeri masih tetap dianggap angin lalu oleh Tim Ekonomi SBY-JK. Mereka bahkan dengan segera memberikan sanggahan-sanggahan. Baru setelah hasil analisis yang sama disampaikan oleh para pejabat ADB dan konsultan asing dalam forum yang dihadiri Menteri Keuangan se-Asia, para menteri ekonomi pun bisa menerima. Benar-benar mental inlander (terjajah) masih sangat kental. Sungguh, asing dianggap segala-galanya. Jika untuk menganalisis kondisi ekonomi negara sendiri pun harus menunggu pendapat apa kata pejabat asing, apalagi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi.

Ketiga: ketidakkonsistenan pernyataan para pejabat tinggi tentang kondisi ekonomi yang sesungguhnya telah menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang lemah. Pernyataan pejabat negara, apalagi setingkat menteri, jelas bukan hal biasa karena akan berdampak besar di masyarakat. Jika menurut para menteri ekonomi kita tidak perlu mengkhawatirkan kondisi ekonomi, mengapa analis dan ekonom dalam dan luar negeri justru menyimpulkan yang sebaliknya? Bukankah ini tidak lebih dari sekadar menutupi kebobrokan yang makin hebat? Rakyat boleh jadi diam, tetapi di akhirat Allah Swt. pasti memintai pertanggungjawaban. Tidakkah para pejabat takut akan hisab Allah, Zat Yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa?

Potensi Krisis

Apa yang sebenarnya terjadi dengan ekonomi Indonesia? Benarkah krisis bisa kembali terjadi? Apa indikator-indikator yang menunjukkan hal bahwa koreksi ekonomi akan terjadi?
Pertama: hampir semua negara yang pernah terkena krisis berpotensi untuk kembali dilanda krisis. Apalagi jika sembuhnya ekonomi dari krisis bersifat semu karena hanya ditopang oleh utang luar negeri, bukan oleh kinerja ekspor atau investasi. Seperti diketahui, ”dokter” krisis moneter dunia adalah adalah Lembaga Moneter Internasional (IMF). Siapapun negara yang menjadi pasiennya, apapun karateristik sosial-ekonominya, resep yang diberikan sama: mengguyur dengan utang dan mendorong perombakan struktur ekonomi di berbagai sektor agar lebih terintegrasi dengan ekonomi global yang sarat dengan kepentingan negara besar.
Fakta membuktikan, bahwa banyak pasien IMF yang hanya sembuh sementara, kemudian kambuh kembali sehingga akhirnya menjadi pasien kambuhan. Banyak contoh kasus di Amerika Latin dan Afrika. Sebagai contoh, Argentina yang telah menjadi pasien kambuhan IMF sejak 1970-an kembali menghadapi krisis yang dahsyat pada tahun 1999. Dampak dari krisis semakin dalam karena kondisi keuangan negara sudah semakin terperangkap utang dan aset-aset negara telah habis akibat diprivatisasi. Hal yang sama terjadi pada Brazil, Paraguay, Turki, Rusia, dan sebagainya.

Bagaimana dengan Indonesia? Sejak pemerintah Orde Baru mengundang IMF, resep beracun mereka kita telan. Berbagai konsep konservatif ala Washington Consensus telah diadopsi seperti: anggaran ketat dengan menambah utang dan memangkas berbagai subsidi; liberalisasi yang luar biasa di sektor keuangan, industri dan perdagangan; serta privatisasi brutal kepada asing yang mengakibatkan kerugian besar baik secara finansial maupun ekonomi.

Sayang, meskipun kerjasama dengan IMF telah berakhir dan utang IMF telah terbayar, tim ekonomi andalan Presiden SBY-JK masih tetap melaksanakan tiga konsep utama IMF, yakni menambah utang luar negeri dari Bank Dunia dan ADB serta utang dalam negeri lewat penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) untuk membiayai anggaran. Privatisasi pun masih terus dilakukan. Bahkan Sofyan Djalil, menteri BUMN yang baru, telah menegaskan untuk memprivatisasi seluruh BUMN dalam waktu cepat. Belum lagi liberalisasi yang semakin gencar dilakukan oleh Menteri Perdagangan baik dalam investasi seperti pengesahan UU Penanaman Modal maupun dengan membuka lebar impor barang-barang strategis seperti beras dan gula, dll. Padahal semua itu terbukti menimbulkan krisis selama ini.

Kedua: krisis mungkin terjadi karena saat ini Indonesia mengalami stabilitas makroekonomi semu, yang bukan didukung oleh meningkatnya daya saing maupun produktifitas di sektor riil. Tingginya cadangan devisa, salah satu indikator makroekonomi yang melonjak tajam, bukanlah prestasi besar karena itu terjadi akibat masuknya hot money. Dana-dana jangka pendek dengan deras masuk ke Indonesia karena adanya kelebihan likuiditas di pasar global. Besarnya hot money yang masuk ke pasar uang Indonesia inilah yang membahayakan ekonomi. Sektor finansial telah mengalami pertumbuhan yang berlebihan. Kue ekonomi membesar tetapi hanya menghasilkan ekonomi gelembung (bubble economy), bukan ekonomi riil, sehingga dapat meledak sewaktu-waktu. Ternyata, kekhawatiran akan kembalinya krisis memang cukup beralasan.

Mengapa Terjadi?

Secara faktual dan syar‘i, kondisi ini terjadi akibat kebijakan-kebijakan Pemerintah yang didasarkan pada ekonomi kapitalis. Dasarnya adalah: Pertama, menjadikan riba sebagai tulang punggung perekonomian. Tidak aneh jika 30% anggaran negara digunakan untuk membayar bunga utang. Jumlah ini jauh di atas anggaran pendidikan. Semakin banyak utang luar negeri, kehidupan kita makin terpuruk dan terjerat rentenir dunia. Ribalah di antara penyebab krisis dan ketidakstabilan. Allah Swt. berfirman:

Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka itu adalah karena mereka berpendapat, sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275).

Kedua, bursa saham. Saat ini di Indonesia, sektor finansial/non-riil yang ribawi lebih dominan dibandingkan dengan sektor riil yang justru semestinya digarap. Di sektor finansial ini hanya ada sekitar 20.000 pemain yang sebagian besarnya adalah asing. Padahal yang dapat menjadikan rakyat sejahtera adalah sektor riil. Modal dari luar negeri yang masuk atas nama investasi pun justru tidak bergerak di sektor riil. Jadi, mudah dipahami mengapa kebijakan ekonomi selama ini tidak memberikan perbaikan kesejahteraan bagi rakyat banyak meskipun Pemerintah mengklaim ekonomi telah membaik. Pada sisi lain, bursa saham tidak lebih dari ”judi besar” yang dilegalkan. Ingatlah firman Allah Swt.:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan (QS al-Maidah [5]: 90).

Ketiga, mata uang yang tidak berdasarkan pada emas dan perak melainkan pada dolar. Jenis uang seperti ini tidak memiliki nilai intrinsik sehingga akan mudah terguncang karena perubahannya terhadap dolar. Padahal perubahan tersebut tidak semata akibat faktor ekonomi, melainkan politik. Krisis di Indonesia tahun 1997/1998 adalah karena adanya gerakan boyong dolar ke luar negeri.

Islam memerintahkan agar mata uang yang beredar berbasis emas dan perak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya larangan menimbun emas dan perak (QS at-Taubah [9]: 34), dikaitkannya berbagai hukum dan sanksi dengan emas dan perak (HR Ashabus sunan), serta fakta bahwa Rasulullah saw. menetapkan hukum transaksi dengan menggunakan emas dan perak (HR al-Bukhari dan Muslim).

Wahai Kaum Muslim:

Jelaslah, krisis dapat terulang. Selama sistem ekonomi Kapitalisme yang diterapkan, selama itu pula krisis tak akan hilang. Karenanya, sudah saatnya kita meninggalkan sistem ekonomi kapitalis seraya menegakkan sistem ekonomi Islam. Sudah waktunya kita melawan Kapitalisme global, lalu mewujudkan sistem Khilafah sebagai alternatif tunggal yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam. []

KOMENTAR AL-ISLAM:
Sejumlah BUMN Siap di-Go Public-Kan (baca: dijual) (Eramuslim.com, 14/5/07).
Ingat! Mayoritas BUMN Plus saat ini—yang sejatinya milik rakyat—sahamnya sudah dikuasai asing (Eramuslim.com, 23/2/06).

Selanjutnya