24 April 2007

Kaidah "Al Umuuru Bi Maqaashidiha"

Kaidah Syar'iyyah adalah hukum syar'iyyah yang diistinbathkan dari dalil syara' yang terperinci. Kaidah syara' berbeda dengan dalil syara'. Dalil syara' adalah al-kitab, sunnah, ijma' shahabat, dan qiyas. Dari kaidah syar'iyyah diperoleh hukum syara' yang bersifat juz-'iyyah. Akan tetapi, baik kaidah syar'iyyah maupun hukum syara' harus selalu disandarkan kepada sumber tasyri'iyyah yang diakui (dalil).

Dengan demikian, sebuah kaedah tidak dianggap sebagai kaidah syara' kecuali shahih istinbathnya, serta rinci susunannya. Misalnya, kaidah "Al-wasiilat ila al-haraam muharramah" (wasilah menuju ke haraman adalah diharamkan), atau kaidah "Kullu syai' mu'ayyan yuaddiy ila al-dlarar al-muhaqqaq fa huwa haraam" (segala sesuatu yang mengantarkan kepada bahaya secara pasti (muhaqaq) adalah haram).

Ini adalah kaidah syar'iyyah. Dari kaidah-kaidah ini dibangun hukum-hukum syara' yang bersifat juz'i (parsial) yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara'.

Untuk memahami kaidah dan manath (sandaran hukum)-nya, terlebih dahulu harus dibahas dalil atau penunjukkan yang digunakan sebagai sandaran proses istinbath kaidah tersebut.

Kaidah "Al-ashl fi al-asyya' ibaahah" (Asal dari segala sesuatu adalah mubah), tanpa merujuk kepada dalilnya, kemungkinan akan dipahami bahwa asal dari urusan atau perbuatan manusia adalah mubah, dan seluruh perbuatan yang tidak disebutkan dalilnya adalah mubah. Padahal hal ini jelas bertentangan dengan hukum syara' dan tidak sesuai dengan maksud kaidah ini. Sebab, dalil dari kaedah ini hanya berhubungan dengan benda, bukan perbuatan manusia. Allah swt berfirman :
"Dialah Allah, yang menciptakan bagi apa-apa yang ada di permukaan bumi seluruhnya" (Al-Baqarah : 29)
"Telah dihamparkan (diberikan) bagi kamu apa-apa yang ada di langit dan di muka bumi)" (Luqman : 20)

Walhasil, manath (sandaran hukum) kaidah ini adalah benda, bukan perbuatan. Langit, bumi, dan seluruh yang ada di dalamnya, yakni laut, sungai, barang tambang, tumbuhan, hewan dan sebagainya telah diciptakan al-Khaliq untuk kita. Kesemuanya adalah mubah, kecuali yang diharamkan oleh Allah (al-syaari' al-haakim).

Atas dasar itu lahirlah kaedah :
"Al-ashl fi al-asyya' al-ibahah ma lam yarid dalil al-tahriim" (Asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkan).

Kaidah syar'iyyah biasanya bersifat umum dan mengandung lafadz-lafadz umum atau kulliyah (menyeluruh)

Kaedah ‘al-‘Umuur bi Maqaashidiha”

'Ulama sepakat bahwa dalil yang digunakan istinbath adalah hadits masyhur Nabi SAW, "
"Sesungguhnya perbuatan itu tergantung dari niatnya". Kaedah di atas seakan-akan hadits itu sendiri. Ini disebabkan lafadz-lafadznya mutaradif.

Lafadz al-umuur adalah bentuk jama' dari kata amr, yang berarti seluruh 'amal. Allah SWT berfirman, "Wa ma amara fir'auna bi rasyiid". Ayat di atas bersifat umum meliputi semua perkataan dan perbuatan Fir'aun.

Allah juga berfirman, "Wa syaawirhum fi al-amri". Kata al-amr di sini bermakna umum, yakni pada semua perkara yang mereka kehendaki.

Al-Maqshud bermakna niat. Di dalam kamus bahasa Arab dinyatakan , "nawa al-syai' yanwiiyah niiyat wa takhfif : qashadahu; maksudnya : bermaksud/berkehendak.

Akan tetapi, kaedah ini sering disalahartikan oleh sebagian orang. Mereka berpendapat bahwa benar atau tidaknya seluruh perbuatan semata-mata ditentukan oleh niatnya. Akibatnya, ada seorang wanita yang menanggalkan busana muslimahnya, namun tidak merasa berdosa. Alasannya, ia menanggalkan busana muslimahnya dengan niat menghormati orang tua dan kawannya. Seorang merasa tidak bersalah ketika melacurkan diri. Sebab, perbuatan itu diniatkan untuk membantu perekonomian rumah tangganya.

Sekelumit fakta di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa kaedah ini tidak lagi dipahami sebagaimana mestinya. Bahkan, pemahaman terhadap kaedah ini telah keluar dari dalil yang membangunnya.

Sebagian lagi memahami, bahwa asal dari perbuatan manusia itu tergantung dari niatnya. Jika niatnya baik, maka perbuatan itu diperbolehkan –meskipun jelas-jelas bertentangan dengan nash syara’.

Oleh karena itu, kita mesti memahami terlebih dahulu manath (sandaran hukum) dari kaidah ini.

Asal dari kaedah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari 'Umar bin Khatthab ra, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda," Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya dan setiap amal akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah karena dunia yang ingin diraihnya, atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan mendapat imbalan) sebagaimana yang diniatkan".

Latar belakang historis dari sabda Nabi SAW di atas telah dituturkan oleh al-Hafidz al-Suyuthi dari Zubair bin Bakar :
“Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin al-Hasan dari Mohammad bin Thalhah bin 'Abd al-Rahman dari Musa bin Mohammad bin Ibrahiim bin Harits dari bapaknya, ia berkata," Ketika Rasulullah sampai ke Madinah, dan para shahabat dalam kondisi letih, datanglah seseorang laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita, dimana wanita tersebut turut berhijrah. Lalu, Rasulullah duduk di atas mimbar dan bersabda, "Wahai manusia, sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya (diulang tiga kali). Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah karena kepentingan dunia yang hendak diraihnya, atau wanita yang hendak dikhithbahnya, maka hijrahnya akan mendapat imbalan sebagaimana yang diniatkan…”

Al-Hafidz al-Suyuthi menyatakan bahwa hadits di atas berhubungan dengan kisah hijrahnya Ummu Qais. Telah diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur di dalam sunannya dengan sanad berdasar syarat oleh Syaikhani --Bukhari dan Muslim-- dari Ibnu Mas'ud, "Barangsiapa berhijrah untuk mendapatkan sesuatu maka baginya adalah sesuatu tersebut". Ibnu Mas'ud berkata: "Kami menamakannya Muhaajir Ummu Qais. "

Al-Hafidz Abu 'Abbas Al-Qurthubiy di dalam kitabnya "Al-Mufahham Lima Asykala 'an Talkhiish Kitaab Muslim" menyatakan," Dzohirnya, lelaki itu berhijrah karana niat untuk mendapatkan wanita. Ia tidak berniat untuk hijrah secara syar'iyyah (hijrah ke Medinah), namun ia bersikeras turut hijrah karena sesuatu yang ingin dia dapatkan.."

Topik pembahasan dari hadits-hadits di atas --kaidah ini-- adalah perolehan pahala dari Allah SWT yang akan diterima oleh seorang hamba, ketika ia melaksanakan perintah Allah swt, atau melaksanakan perbuatan yang baik (shalih).

Hijrah adalah kewajiban (fardlu). Setiap orang harus berhijrah untuk melaksanakan perintah Allah swt. Sebab, setiap muslim harus menjunjung tinggi hukum-hukum Allah. Adapun perhitungan pahalanya di sisi Allah tergantung dari niatnya. Muhajir Ummu Qais tidak memiliki niat semacam itu. Ia berhijrah karena seorang wanita yang hendak dinikahinya. Oleh karena itu, ia tidak terhitung orang Muhajirin yang mendapat pahala dari sisi Allah, walaupun perbuatan itu sendiri adalah hijrah. Sebab, hijrahnya diniatkan bukan mencari ridlo Allah swt.

Seorang lelaki yang berdagang untuk terhindar dari penipuan, tidak tercatat amalnya di catatan amal yang baik, kecuali --niat dia- terhindar dari penipuan tersebut karena mencari ridlo Allah SWT. Adapun jika niatnya adalah untuk mempromosikan dagangannya, atau untuk melariskan dagangannya maka ia akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Akan tetapi, dia tidak mendapatkan pahala menjauhkan diri dari perkara yang haram.

Orang jujur supaya dikatakan sebagai orang yang jujur, maka dia akan mendapatkan balasan sekadar dengan niatnya, dan dia tidak mendapatkan pahala dari kejujurannya, malah dia akan mendapatkan siksa. Sebab, perbuatan tersebut tidak disandarkan ikhlash karena Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dalam shahih Muslim,
"Sesungguhnya manusia pertama kali yang diadili di hari akhir adalah lelaki yang bersaksi bahwa ia berjuang di jalan Allah, kemudian membawa amalannya itu nya di hadapan Allah swt. Allah mengetahui dan dia mengetahui. Kemudian, Allah bertanya, " Untuk siapa kamu melakukan hal itu?". Lelaki tersebut menjawab, "Sesungguhnya saya berperang karena Engkau.” Allah berfirman, "Bohong, sesungguhnya kamu berperang agar kamu dikatakan pemberani. Kemudian lelaki itu dihisab dan dilemparkan ke neraka. Kedua, lelaki yang diluaskan rejekinya oleh Allah dan menginfaqkan hartanya. Lalu, ia membawanya di hadapan Allah. Dia mengetahui dan Allah mengatahuinya. Allah bertanya, "Untuk siapa kamu melakukan hal itu?". Lelaki tersebut menjawab, "Tidaklah aku berinfaq kecuali karena Engkau." Allah berfirman, " Bohong!", kamu melakukan hal tersebut supaya kamu dikatakan dermawan”. Allah memerintahkan untuk menghisab amal lelaki tersebut, sampai kemudian dia dilemparkan ke neraka. Ketiga, seorang lelaki yang belajar ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al-Quran. Lelaki itu kemudian membawa amal tersebut di hadapan Allah. Dia mengetahui dan Allah pun mengetahuinya, . Allah bertanya, "Untuk siapa kamu melakukan hal itu?". Lelaki itu menjawab, " Saya belajar dan mengajarkan ilmu, dan membaca Al-Quran demi Kamu." Allah berfirman, " Bohong!". Sesungguhnya kamu mengajar agar kamu dikatakan orang 'alim, dan kamu membaca Al-Quran agar dikatakan qari'. Kemudian Allah memerintahkan untuk menghisab lelaki tersebut, sampai kemudian ia dilemparkan ke neraka."

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak butuh sekutu, barangsiapa mengerjakan perbuatan dengan sekutu selain dengan Aku, maka Aku tolak, dan Aku terlepas darinya."[HR. Muslim]

Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa belajar suatu ilmu dengan tujuan tidak mencari ridlo Allah, sesungguhnya, dia tidak belajar kecuali untuk mendapatkan tujuan dunia; dan dia tidak akan mendapatkan surga di hari Kiamat". (Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).

Hadits, "Sesungguhnya amal tergantung dari niatnya," masih membutuhkan suatu perkiraan makna (taqdir). Sebab, di dalam redaksi hadits tersebut terdapat ‘alaqat (hubungan) pada lafadz jaar dan majruur). Taqdir dari hadits tersebut (perkiraan ma'nanya), wa al-Allahu a'lam (Allah yang lebih tahu) adalah, " Semua perbuatan diterima berdasar niatnya, dan seseorang memperoleh balasan pahala berdasarkan apa yang diniatkannya."

Imam Nawawiy, berkata di dalam syarah Shahih Muslim,"Ma'na hadits itu adalah, perbuatan dihitung berdasarkan niatnya. Suatu perbuatan tidak dihitung bila tidak disertai dengan niat".
Dengan demikian, hadits tersebut menjelaskan dengan sangat jelas bahwa, niat tidak bisa menetapkan hukum halal haram atas suatu perbuatan. Di samping itu, niat juga tidak berkaitan dengan al-shihah (sah), al-buthlan (bathil), dan al-fasad (rusak). Dengan kata lain, niat tidak berhubungan dengan hukum atas suatu perbuatan, baik taklifiy maupun wadl’iy.

Contohnya, meskipun seorang lelaki berniat menthalaq isterinya, akan tetapi jika ia tidak mengucapkannya, maka thalaq tidak akan terjadi. Akan tetapi, seandainya ia mengucapkan thalaq, walau tanpa niat, maka thalaq telah jatuh. Sebab, di dalam syara', lafadz itu mewakili ma'na (maksud) yang dituju."

Contoh yang oleh sebagian 'ulama dimasukkan ke dalam pengertian hadits tersebut dalam menetapkan hukum atas perbuatan adalah, "Barangsiapa menyembelih dengan niat untuk dimakan, maka sembelihannya halal. Namun jika sembelihannya ditujukan kepada selain Allah, maka sembelihannya haram untuk dimakan. Sebab, binatang itu disembelih untuk selain Allah."

Dalam kasus semacam ini, niat menentukan status halal dan haram suatu perbuatan.
Contoh yang lain adalah kasus pembunuhan. Sanksi atas pembunuhan ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Allah telah menetapkan hukum syara' atas pembunuhan tidak disengaja, berbeda dengan pembunuhan yang disengaja.

Pada luqathah, syara' memerintahkan orang yang menemukan suatu barang untuk mengumumkannya. Barangsiapa menemukan barang, kemudian mengumumkannya, walaupun ia niatkan untuk dia miliki sendiri, maka ia tidak berdosa. Namun, jika ia tidak mengumumkan, dan tidak mengembalikan kepada pemiliknya, atau mengingkari setelah pengumumannya, maka ia berdosa.

Dalam hal pemutusan hubungan silaturahim, jika seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, karena suatu kesibukan atau semisalnya, maka ia tidak berdosa. Sebab, pada kondisi semacam ini tidak dinamakan memutuskan hubungan, sedangkan pengharaman hanya berkaitan dengan pemutusan hubungan.

Ibnu Hajar al-'Asqalaaniy berkata dalam syarah suatu hadits,"Sebagaimana jika seorang laki-laki berniat untuk membunuh seorang muslim tanpa ada alasan yang hak, misalnya dengan mengacungkan pedangnya, maka perbuatan mengacungkan pedang kepada saudaranya muslim itu, tetap berhukum boleh, meskipun niatnya salah. Atas dasar itu, pengharaman pembunuhan tidak ditentutkan oleh niat yang rusak."

Walaupun hadits ini umum dan berfaedah membatasi, namun ia umum pada konteks kejadian (maudlu' hadits), bukan umum mencakup segala sesuatu . Tidak bisa dikatakan, al-'ibrah bi 'umuum al-Lafdz wa laa bi khushuush al-sabab". Imam Ibnu Taimiyyah berkomentar atas asbab nuzuul hadits di atas, "Sesungguhnya kaedah di atas hanya khusus berlaku bagi orang yang sejenis, dan 'umum bagi setiap orang yang sejenis dengan orang tersebut. Akan tetapi, ia tidak umum menurut pengertian lafadz". Dalam Kitab al-Mufahham lima Asykala min Talkhiish Kitaab Muslim, dikatakan, "Keumuman hadits di atas hanya berhubungan dengan perbuatan taat yang telah diperintahkan oleh Allah swt”

Seandainya pengertian hadits di atas adalah umum dan mencakup semua perbuatan dan perkataan, dan tidak terikat dengan mengerjakan perintah dan meninggalkan laranganNya, tentunya semua perbuatan bisa dibenarkan asalkan niatnya baik.

Dengan kata lain, jika hukum atas seluruh perbuatan ditentukan berdasarkan niatnya, dan seluruh amal dihisab sejalan dengan niat pelakunya, maka, benarlah kaedah yang menyatakan, "al-ghaayah tubarriru al-wasiilah" (tujuan menghalalkan cara).

Walhasil, pencurian halal, jika pelakunya berniat untuk membantu orang-orang faqir dan yang membutuhkan. Bid'ah tercela dibenarkan, jika niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Zina mubah jika diniatkan untuk menarik musuh kaum muslimin ke dalam barisan pasukan Islam. Berdusta atas nama Rasulullah saw boleh jika niatnya untuk mendorong manusia agar teguh memegang agamanya. Membuat hadits palsu boleh jika maksudnya menyeru manusia kepada keutamaan amal.

Padahal, perbuatan-perbuatan semacam ini akan menjatuhkan pelakunya ke dalam dosa yang sangat besar. Dalam sebuah hadits mutawatir, Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka telah dipersiapkan tempat duduknya di neraka". Bahkan, menurut para ‘ulama hadits, hadits maudlu' (fabricated) dianggap sebagai hadits yang paling berbahaya. "Orang-orang yang membuat hadits ada beberapa golongan. Paling besar bahayanya dari mereka adalah orang yang ingin meraih zuhud, kemudian membuat hadits sesuai dengan apa yang mereka rasakan." Kemudian masyarakat menerima hadits bikinan mereka itu, sebagai suatu kebenaran dan dijadikan rujukan oleh masyarakat." "Mereka tersesat, dan menyesatkan" .

Atas dasar itu, hukum atas suatu perbuatan tidak ditetapkan berdasarkan niat . Sebab, kaedah tersebut bukanlah dalil syara’. Selain itu, syara’ telah menetapkan status hukum atas perbuatan berdasarkan nash-nash yang umum maupun khusus.

Selain itu, pengertian hadits di atas tidak akan pernah keluar dari dua makna berikut ini: Pertama, kadang-kadang ada perbuatan telah ditetapkan hukumnya berdasarkan indikasi yang terdapat di dalam nash syara’. Dalam kondisi semacam ini, ketetapan (hukum) diambil dari qarinah yang ditunjukkan oleh nash syara’, bukan berdasarkan niat orang yang melakukannya. Contohnya, orang yang menemukan barang temuan, namun tidak mengumumkannya. Dalam kondisi semacam ini orang menemukan barang tersebut berdosa, sebab ia tidak mengumumkan barang temuannya. Kedua, kadang-kadang ada perbuatan yang disandarkan kepada niat dan sumpah pelakunya. Ketetapan hukum dalam kondisi semacam ini --dalam kehidupan dunia-- disandarkan pada sumpahnya bukan pada niat dan maksudnya. Dengan kata lain, perbuatan tersebut dihukumi berdasarkan sumpahnya. Adapun mengenai hisabnya diserahkan kepada Allah swt. Qadli akan menghukumi pelaku berdasarkan aspek-aspek yang tampa saja. "Siapa yang bersumpah dengan suatu sumpah, yang dengan sumpah itu ia memotong harta seorang muslim, maka ia adalah pendosa. Kelak ia akan menemui Allah, sedangkan Allah sangat murka kepadanya." [HR. Imam Ahmad dan Sittah, dinukil dari kitab al-Bayan wa al-Ta'rif].

Pada dasarnya, niat atau maksud seseorang tidak seorangpun yang tahu, kecuali pelakunya sendiri. Sebab, ia adalah orang yang paling tahu terhadap dirinya sendiri, dan yang paling memahami kehalalan dan keharaman perbuatannya. Allah swt berfirman, "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya."(al-Qiyamah:14-15).

Oleh karena itu, jika seorang kafir melindungi seorang muslim, kemudian datang muslim yang lain dan memanahnya, hingga seorang muslim itu terbunuh; maka bila niatnya ditujukan untuk membunuh orang muslim, maka Allah murka dan mela'natnya. Allah akan menimpakan siksa yang pedik kepadanya. Akan tetapi, jika niatnya diarahkan untuk membunuh orang kafir, maka dirinya tidak terkena dosa. Atas dasar itu, hukum di akherat berbeda dengan hukum di dunia.
Para ‘ulama sendiri telah berbeda pendapat dalam menafsirkan hadits di atas. Akan tetapi, mereka tidak berbeda pendapat dalam dua hal.

Pertama, perbuatan yang diharamkan syara' tidak menjadi halal karena adanya niat yang baik. Tidakkah anda memperhatikan firman Allah swt, Katakanlah, "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (al-Kahfi:103). Ayat ini tidak hanya khusus bagi orang kafir saja. Sebab al-dzunub di sini adalah suatu sifat yang mensifati mereka. Oleh karena itu, ayat ini umum mencakup semua orang yang disifati dengan sifat tersebut. Imam Thabariy dalam tafsirnya setelah menjelaskan berbagai pendapat tentang ayat tersebut, menyatakan, "Menurut kami, pendapat yang benar dalam hal ini adalah; setiap orang yang mengerjakan suatu perbuatan akan mendapatkan balasan. Ada sebagian yang menyangka bahwa perbuatannya ditujukan untuk taat dan mencari ridlo Allah, padahal perbuatannya di sisi Allah, adalah kema'shiyyatan. Oleh karena itu, siapa saja yang menempuh jalannya ahli iman, akan mendapatkan balasan."

Al-Raziy menyatakan dalam tafsirnya Mafaatih al-Ghaib, "Pada dasarnya, ada orang yang mengerjakan suatu perbuatan yang ia sangka suatu ketaatan, padahal, perbuatan itu adalah kema'shiyatan."

Dalam menafsirkan firman Allah swt, "yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia". (Al-Kahfi:104), Imam Thabariy menyatakan, "Mereka adalah orang-orang yang mengerjakan perbuatan di dunia tanpa bersandar kepada petunjuk (Islam) dan istiqamah. Perbuatan mereka hanya bersandar pada dosa dan kesesatan." Mereka berbuat tidak berdasar apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, akan tetapi berdasar atas kekafiran mereka.” Adapun firman Allah swt "Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (al-Kahfi:103), Imam Thabariy mengatakan, "Mereka menyangka bahwa perbuatan mereka adalah untuk Allah, dan merasa beribadah kepada Allah dengan sungguh-sungguh akan tetapi sesungguhnya perbuatan mereka tidak mendapatkan nilai di sisi Allah swt.

Beliau menambahkan lagi, "Timbangan amal mereka tidaklah dinilai sama sekali. Sebab, timbangan (amal) dihitung berdasarkan amal sholeh. Padahal, mereka tidak memiliki satupun amal sholeh yang bernilai di dalam timbangan (amal) mereka. "

Penafsiran semacam ini senada dengan apa yang dipahami oleh Imam 'Ali bin Abi Thalib ra. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, Ibnu Kiwa' salah seorang Khawarij bertanya tentang amal yang merugi. Kemudian Imam Ali berkata kepadanya, "Kamu dan pengikut kalian."

Walhasil, niat bukanlah tolok ukur untuk menentukan hukum atas suatu perbuatan. Yang digunakan sebagai tolok ukur adalah amal sholeh yang sesuai dengan apa yang disyari'atkan Allah swt dan niat yang ikhlash. Allah berfirman pada penutup surat al-Kahfi," Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (al-Kahfi:109). Seluruh amal wajib berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah swt yang dibangun di atas idrak shillat bi al-Allah (hubungan dengan Allah swt).

Telah disepakati oleh para 'ulama kaum muslimin bahwa setiap pendapat, perkataan, qiyas, atau ijtihad yang bertentangan dengan syara' dan bertentangan dengan nash-nash syara' yang qath'iy (pasti) tertolak dan tidak boleh diamalkan.

Namun demikian, para propagandis pembaruan agama dewasa ini dan para pengusung bendera pembaruan telah menggunakan kaedah ini untuk menghalalkan yang haram; menjilat para penguasa, orang-orang munafiq dan lain-lain. Padahal, nash-nash syar'iyyah yang qath'iy telah mengharamkan perbuatan-perbuatan tersebut. Dalam kitab al-Muwafaqaat, bagian II, hal. 236 Imam Syatibiy, ketika berkomentar mengenai hubungan antara perbuatan dengan niat, menyatakan, "Kadang-kadang ada perbuatan yang bertentangan dengan syari’at namun niatnya baik. Pada kondisi semacam ini, perbuatan tersebut kadang-kadang dilakukan berdasarkan pemahaman yang salah atau karena kebodohan. Jika seseorang mengerjakan perbuatan salah karena pemahaman yang salah, maka hal ini disebut bid'ah. Misalnya, ada orang yang membuat peribadatan baru, menambah-nambah apa-apa yang telah disyari'atkan oleh Allah swt. Sesungguhnya bid’ah tidak akan terjadi kecuali karena banyaknya penafsiran yang menyimpang. Padahal bid’ah adalah perkara yang tercela menurut al-Quran dan Sunnah."

Selanjutnya

Hukum Mencela Agama Lain

llah swt berfirman, "Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (al-An'am:108).

Islam melarang kaum muslimin mencela sesembahan orang-orang kafir tanpa pengetahuan. Ketentuan ini ditujukan agar pencelaan itu tidak berakibat pencelaan balik terhadap Allah swt. Mencela kekafiran, kesyirikan, dan sesembahan-sesembahan palsu selain Allah swt adalah perkara yang hukum asalnya mubah. Akan tetapi jika pencelaan itu mengakibatkan dicelanya Allah dan kesucian kaum muslimin, maka pencelaan terhadap sesembahan-sesembahan orang-orang kafir tersebut menjadi haram dilakukan.

Berdasar ayat di atas, para 'ulama ushul menetapkan suatu kaidah, "Wasilah (perantara) menuju keharaman adalah haram". Setiap perbuatan mubah jika disangka kuat akan mengantarkan kepada keharaman, maka perbuatan itu menjadi haram.

Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang termaktub dalam shahih Bukhari dan Muslim, "Termasuk dosa besar seorang laki-laki yang mengolok dua orang tuanya." Kemudian shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah saw, bagaimana seorang laki-laki itu bisa mengolok dua orang tuanya?" Rasul menjawab, "Ia mengolok bapak seorang laki-laki, dan lelaki itu mengolok bapaknya, kemudian ia mengolok ibu lelaki itu, dan laki-laki itu balas mengolok ibunya."

Allah swt juga berfirman, "Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang dzalim diantara mereka, dan katakanlah, "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." (al-'Ankabut;46)

Ibnu Jarir dan Ibnu Abiy Hatim menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu 'Abbas ra, yang mengisahkan tentang komentar orang-orang kafir tatkala turun firman Allah swt, "Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'am:108). Orang-orang kafir pun berkata, "Wahai Mohammad, sungguh engkau hentikan pencelaanmu terhadap sesembahan-sesembahan kami, atau kami akan memaki sesembahanmu. Kemudian Allah melarang kaum muslimin mencela berhala-berhala mereka yang mengakibatkan mereka mencela Allah tanpa batas dan tanpa pengetahuan."

Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap umat menyakini bahwa perbuatan, dan agamanya adalah paling baik. Mereka tidak ingin seorangpun mencela agama mereka. Mencela manusia hanyalah hak Allah. Allah tidak memberikan hak mencela manusia kepada Rasul. Para rasul, tidak lain kecuali menyampaikan dengan terang, dan berdakwah dengan hikmah, dan mau'idhah al-hasanah (contoh yang baik).

Namun, keterangan di atas tidak boleh ditafsirkan bahwa kita harus bermanis muka, dan bersikap nifaq (terhadap aqidah agama bathil) dan meninggalkan aktivitas menyeru kepada kebenaran. Namun, maksudnya adalah tidak "melecehkan" (sesembahan agama bathil) hingga menyebabkan terjadinya pelecehan dan penghinaan balik.

Ketika Allah swt mengutus Musa as dan Harun as kepada Fir'aun, Allah berfirman kepada keduanya, "Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayatKu, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingatKu. Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut."(Thaha:43). Nabi Musa pun tatkala menyeru kepada raja Fir’aun, beliau as menyeru dengan perkataan yang sangat halus dan sopan, “Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling". (Thaha:48).

Islam memerintahkan kita untuk tidak mencela pemeluk keyakinan-keyakinan non Islam, walupun keyakinan mereka layak untuk mendapatkan celaan. Sebab, pencelaan yang tidak didasarkan pada pengetahuan akan memadamkan cahaya aqal dan menyalakan naluri permusuhan dalam jiwa. Selain itu, pencelaan tanpa dasar pengetahuan juga akan menutup pintu penerimaan terhadap da'wah Islam. Di sisi lain, Islam telah memerintahkan kita untuk menjelaskan kebathilan 'aqidah-'aqidah bathil, serta menunjukkan kehinaan dan keburukannya bila keyakinan itu dipeluk dan diamalkan, dengan cara yang jelas dan argumen yang kuat.

Selanjutnya

23 April 2007

Menentukan Arah Qiblat dengan Google Earth

Sekarang ini teknologi sudah semakin canggih, termasuk kecanggihan komunikasi. Dengan semakin berkembangnya komputer dan internet, sekarang ini dunia seakan-akan sudah menjadi satu, sudah menjadi small village.

Salah satu kecanggihan yang dapat kita manfaatkan adalah google earth. Google earth adalah software berisikan peta dunia mirip seperti globe. Bedanya, google earth dapat memberikan gambaran lebih detail bahkan sampai rumah dan mobil yang melintas di jalan pun dapat terlihat.

Dan, satu keuntungan bagi kita selaku muslim, google earth dapat digunakan untuk menentukan arah kibat bagi masjid kita atau rumah kita. caranya?

  1. instal dulu google earth. File-nya dapat didownload di sini.
  2. setelah diinstal, buka google earth dengan klik ganda file exe-nya
  3. tunggu sebentar hingga google earth selesai melakukan cek dan sambungan ke server (ingat...komputer anda harus terhubung ke internet)
  4. ketika bola dunia sudah mulai terlihat, cari lokasi Ka'bah. Di mana Ka'bah berada? Ya...di Makkah, Saudi Arabia di jazirah arab, Benua Asia.
  5. Kalau Ka'bah sudah anda temukan, segera buat placemark dengan mengklik add placemark di toolbar. Beri nama Ka'bah.
  6. Sekarang anda cari lokasi masjid atau rumah anda yang akan anda cek arah kiblatnya. Saya ambil contoh Masjid Istiqlal
  7. Buat lagi placemark dengan klik add placemark dan beri nama misalnya Masjid Istiqlal
  8. Pada bagian toolbar, klik menu ruler. kemudian di place holder (di bagian kiri)klik Ka'bah. Maka otomatis bola dunia akan menuju ke Ka'bah. klik pada bagian tengah Ka'bah
  9. Kemudian klik lagi di placemark Masjid istiqlal. Segera bola dunia akan menuju ke Masjid istiqlal. Akan terlihat garis kuning mengikuti arah bola dunia. Dan akhirnya...sampailah ke lokasi Masjid Istiqlal. Klik di tengah Masjid Istiqlal, dan akan terdapat garis berwarna kuning yang menghubungkan masjid istiqlal dengan ka'bah.
  10. Selesai sudah...akan terlihat bahwa posisi atau arah kiblat Masjid Istiqlal sudah 'cukup' pas menghadap ke qiblat.

Selanjutnya

20 April 2007

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir (Lanjutan)

Pada posting yang lalu pernah dibahas tentang artikel yang memuat hibut-tahrir yang isinya mengkritik bahkan menghujat HT dan Taqiyuddin. Salah satu poin yang belum sempat ana bahas adalah poin:

Dia juga menulis dalam kitabnya Asy Syakhsiyyah Al Islamiyyah III/132, yang tulisannya membuktikan akan ke-maturidiyah-annya dan ke-asy’ariyah-annya. Dia men-ta’wilkan beberapa sifat Allah, seperti tangan Allah yang dia artikan sebagai kekuatan atau kekuasaan.


Setelah searcing di google, alhamdulillah ketemu juga situs yang dapat memberikan pencerahan atas poin di atas. Anda bisa lihat di sini. Pada intinya adalah bahwa:
  • penakwilan terhadap “tangan Allah” harus dikembalikan kepada konteks kalimatnya. Tidak benar, bahwa semua frasa “tangan Allah” tidak boleh ditakwilkan dengan kekuasaan atau kekuatan, akan tetapi harus dipahami berdasarkan kemujmalan ayat tersebut.
  • konsepsi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, mengenai tangan Allah yang boleh ditakwilkan dengan kekuasaan dan kekuatan, tidak didasarkan pada peniruan kepada Mu’tazilah atau kelompok yang lain
  • pendapat yang menyatakan bahwa “tangan Allah” boleh ditakwilkan juga diketengahkan oleh ‘ulama-ulama besar Ahlu Sunnah
  • Beberapa mufassir menta'wilkan "tangan Allah":

    • Ibnu Kîsân menyatakan, “Kekuatan Allah dan pertolonganNya di atas kekuatan dan pertolongan mereka.” (Imam al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi)
    • Imam as-Suyuthi menyatakan, bahwa makna “tangan Allah di atas tangan mereka” adalah, “Allah telah menyaksikan baiat mereka dan Allah memberikan pahala kepada mereka.
  • pendapat Imam Abu Hanifah hanyalah salah satu pendapat yang diketengahkan oleh ‘ulama-‘ulama Muslim, sebagaimana pendapat-pendapat ulama lain yang bertentangan dengan Imam Abu Hanifah.
  • perbedaan pendapat dalam masalah semacam ini tidak boleh memancing atau menimbulkan takfir (pengkafiran) dan tadhlîl (penyesatan). Sebab, perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah perbedaan yang diperbolehkan.
Insya Allah kita semua tetap akan menjaga ukhuwah Islamiyyah, tidak terpancing oleh mereka yang suka me'sesat'kan kelompok dan gerakan lain. Dan untuk jelasnya silakan meluncur ke artikel tersebut di atas

Selanjutnya

19 April 2007

Alkohol, Etanol, dan Khamer

Dari bincang-bincang dengan sohib-sohib, akhirnya berujung ke masalah alkohol. Diskusi meruncing ke masalah:

  1. bolehkah menggunakan alkohol untuk obat
  2. najiskah alkohol
jawaban masih simpang siur dan tidak ada kepastian dalil-dalil dan argumentasi yang digunakan. Nah daripada masih ngambang maka diputuskan masing-masing untuk 'belajar' lagi

Allhamdulillah, dengan menggunakan bantuan 'mbah google' saya dapat beberapa artikel yang membahas masalah di atas. Mengenai kebolehan atau ketidakbolehan menggunakan alkohol untuk obat, saya temukan jawabannya di sini. Beberapa poin penting akan saya sarikan di bawah ini:
  • Ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama, mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan benda najis dan haram. Termasuk dalam hal ini berobat dengan obat yang mengandung alkohol (etanol), sebab alkohol adalah haram dan najis. Ada yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Ada pula yang memakruhkannya, seperti Taqiyuddin An-Nabhani.
  • Pendapat yang kuat adalah pendapat bahwa berobat dengan benda haram atau najis adalah makruh. Dalilnya adalah adanya beberapa hadis yang bertentangan berkenaan dengan berobat dengan benda haram atau najis yaitu:
    1. Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan atasmu.” (HR Bukhari dan Baihaqi)
    2. hadits bahwa Nabi SAW membolehkan suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum air kencing unta (HR Muslim) (Lihat Imam Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal 168).
    3. Dalam hadits lain dari Anas RA, Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623)
  • Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) kedua kelompok hadits di atas. Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan (thalab) untuk meninggalkan perbuatan. Sedangkan dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut.
  • Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan (thalab) yang tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukum syara’ yang diistinbath adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Jadi, berobat dengan obat yang mengandung alkohol adalah makruh, tidak haram
Sedangkan untuk poin kedua, apakah alkohol itu najis atau tidak, beberapa situs telah membahasnya seperti di situs ini yang menyatakan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai status kenajisan alkohol. Jumhur ulama, termasuk imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah) berpendapat bahwa khamr adalah najis. Dan ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Namun ada pula ulama yang berpendapat sebaliknya seperti Rabi’ah (guru Al-Imam Malik), Al-Laits bin Sa’d Al-Mishri, Al-Muzani (sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i), Dawud Azh-Zhahiri, Al-Imam Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin bahwa alkohol tidak najis berdasarkan keumuman atau asal setiap benda suci dan bahwa ayat yang menyatakan bahwa khamer dan lain-lain itu rijzun (Al-Ma`idah: 90)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

adalah najis dalam konteks maknawiyah bukan zatiyyah; ini didukung dengan sambungan ayat min 'amalisy syaithoon (merupakan perbuatan setan).

Selanjutnya

18 April 2007

MENYOAL RAPERDA 'KOTA INJIL'

Buletin Al Islam Edisi 351

MENYOAL RAPERDA 'KOTA INJIL'

Akhir bulan lalu, kita dikejutkan oleh upaya Pemerintah Kabupaten dan DPRD Manokwari Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) 'Kota Injil'. Pasalnya, di samping berbau Kristen, dalam beberapa pasal, Raperda ini sangat merugikan umat Islam. Contohnya pasal 30, yang mengatur pembangunan rumah ibadah. Kalau di suatu daerah sudah ada gereja maka dilarang mendirikan masjid. Pasal 37 melarang pemakaian simbol agama dalam berpakaian. Artinya, Muslimah nanti akan dilarang berjilbab. Sebaliknya, di gedung-gedung pemerintahan wajib dipasang salib. Sangat jelas aroma 'Kristenisasi'.

Banyak kalangan menilai upaya itu sebagai mengada-ada. Guru Besar FISIP UI, Prof. Eko Prasojo, misalnya, menilai, ''Perda seperti itu berpotensi menciptakan daerah yang tersekat-sekat berdasarkan agama, budaya atau suku.'' (Republika, 25/3/2007 ).
Raperda itu juga mendapat reaksi negatif dari PGI dan KWI, masing-masing sebagai badan pimpinan nasional Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Pendeta Weinata Sairin, wakil sekretaris umum PGI, mengatakan, "PGI tetap menolak Perda atau Raperda yang berbasis agama, karena hal itu menimbulkan diskriminasi."

Sebelumnya, Pastor Antonius Benny Susetyo, sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI, mengungkapkan pendapat serupa. "Pada dasarnya KWI menolak setiap perda yang berbasis agama, termasuk Raperda Kota Injil di Manokwari," katanya kepada UCA News. (Mirifica.net, 3/4/2007).

Berbeda dengan itu, Ustad Aliyuddin Abdul Aziz, tokoh Islam dan pengasuh Pondok Pesantren Darut Taqwa Manokwari, menyatakan, "Raperda Kota Injil ini bukan murni dirancang oleh pemerintah daerah, namun merupakan tekanan dari pihak gereja seluruh Papua."

Saat ditegaskan bahwa PGI dan KWI telah menolak disahkan Raperda itu, Ustad Aliyuddin menampiknya, "Saya khawatir, ini hanya kamuflase (pengaburan). Sebab, saat awal-awal beredarnya Raperda ini, pihak gereja seakan acuh. Malah mereka bilang bahwa Raperda ini dimunculkan pihak ketiga (provokator) untuk mengadudomba kehidupan beragama di Manokwari. Namun, setelah kami desak, akhirnya mereka mengaku bahwa mereka merancang Raperda ini. (Hidayatullah.com, 15/4/2007).

Ada kabar, Raperda itu memang merupakan hasil simposium tokoh-tokoh gereja pada Februari 2006. Keberadaannya ditutup rapat-rapat kalangan Kristen. Namun, awal Maret lalu ada anak seorang pendeta Kristen yang masuk Islam, yang kemudian membocorkan rancangan tersebut.
Sebelum Raperda ini diusulkan sudah ada surat edaran dari Badan Pekerja Klasis Ransiki Gereja Kristen Injil di Tanah Papua untuk melarang pembangunan masjid baru di Kabupaten Manokwari. Malah sebelum Raperda ini diterapkan pun telah terjadi intimidasi terhadap para pelajar yang memakai busana Muslim. Tak aneh jika masyarakat di tingkat bawah resah. Bahkan sudah ada anggapan bahwa Raperda ini secara tidak langsung mengarah pada upaya pengusiran umat Islam dari Manokwari. Benih-benih konflik horisontal telah muncul.

Karena itu, Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto mengatakan, ''Ini Perda yang harus dikutuk, termasuk oleh para pengusung demokrasi dan HAM.'' Menurutnya, Pemerintah harus tegas menolaknya karena Raperda itu intoleran, diskriminatif, dan mengganggu keutuhan masyarakat. (Suara Islam Online, 13/4/2007).

Kekhawatiran Ismail Yusanto tampaknya beralasan. Pasalnya, beberapa waktu lalu pun, di Bali, masyarakat adat memaksa warga Muslim yang minoritas untuk mengikuti tatacara hari besar mereka seperti yang ditunjukkan pada Hari Raya Nyepi bulan lalu. Warga Muslim di Gianyar dan Denpasar dilarang menyalakan lampu pada hari itu. Kalau melanggar, rumah mereka dilempari. Siangnya, di kota Denpasar, seorang anggota TNI berkabung. Keluarganya ada yang meninggal. Berhubung hari itu Hari Raya Nyepi, ia tak dapat memakamkan jenazah keluarganya karena masyarakat tak boleh ke luar rumah, termasuk untuk menguburkan jenazah. Dengan berat hati ia pun menunda pemakaman keluarganya. Padahal syariah Islam menganjurkan untuk mempercepat pemakaman.

Bahkan pernah terjadi ketika Nyepi jatuh pada hari Jumat, umat Islam yang hendak melaksanakan ibadah Jumat tak diperkenankan mengumandangkan azan. Untuk mencapai masjid pun mereka harus jalan memutar agar tidak melewati permukiman masyarakat Hindu. Kaum Muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum Hindu bahkan tidak bisa shalat Jumat. (Suara Islam Online, 13/4/2007).

Membandingkan Raperda "Kota Injil" dengan Perda-perda 'Syariah'
Sangat mungkin, Raperda itu bernuansa politik, yakni sebagai reaksi dari apa yang disebut sebagai 'Perda-perda Syariah'. Jika itu alasan yang dipakai, jelas ada logika yang keliru. Pertama: Selama ini, yang disebut dengan 'Perda-perda Syariah' tidaklah secara tegas menamakan diri sebagai 'Perda Syariah'. Beberapa Perda tersebut hanya menyebut diri sebagai Perda Anti Maksiat, seperti di Depok, Prop. Sumbar dan Kab. Padang Pariaman; Perda Anti Pelacuran dan Perda Anti Miras, seperti di Tangerang; Raperda Anti Judi, seperti yang sedang dirancang di Bekasi; dll. Karena itu, Wakil Presiden, Jusuf Kalla, pernah meminta agar adanya peraturan daerah (Perda) yang mengatur pemberantasan kemaksiatan tidak dipersoalkan. Perda-perda itu, kata Kalla, tidak melanggar undang-undang maupun hukum di Indonesia. (www.mui-or.id, 17/6/2006). Lagipula, Perda-perda itu sangat berkaitan dengan kehidupan publik dan kepentingan masyarakat secara umum.

Kedua: Memang, ada Perda tentang kewajiban mengenakan busana Muslimah, Perda tentang baca-tulis al-Quran, Perda tentang penambahan pelajaran agama Islam di sekolah, dll di beberapa daerah seperti Sumatra Barat (Kab. Solok, Padang, Pasaman Barat) dan Sulawesi Selatan (Kab. Enrekang, Gowa, Maros, Sinjai, Bulukumba, dan Takalar). (Republika.co.id, 17/6/2006). Namun, semua Perda itu khusus ditujukan bagi umat Islam, tidak bagi umat non-Muslim. Artinya, Perda-perda itu tidak terkait dengan kehidupan publik secara umum dan tidak mengganggu kehidupan beragama pemeluk agama non-Muslim.

Sebaliknya, Raperda 'Kota Injil' yang dirancang Pemda Kab dan DPRD Manokwari maupun pelaksanaan 'aturan agama Hindu' di Bali sebagaimana dipaparkan di atas ditujukan bagi seluruh masyarakat, termasuk umat Islam. Akibatnya, umat Islam mengalami diskriminasi serta dilanggar hak dan kebebasannya untuk menjalankan agamanya; seperti dilarang membangun masjid di tengah-tengah komunitas Muslim, Muslimah dilarang berjilbab, dilarang menyuarakan azan atau melaksanakan shalat Jumat, dll.

Demokrasi dan Diskriminasi

Secara teoretis, demokrasi mengajarkan kebebasan, persamaan dan keadilan. Namun, dalam tataran praktiknya demokrasi sering tidak adil, membelenggu dan diskriminatif; khususnya terhadap umat Islam. Saat menjadi mayoritas saja, sebagaimana di negeri ini, umat Islam sering diperlakukan tidak adil. Bukti paling tegas adalah pemberlakuan hukum sekular di negeri ini yang nyata-nyata mengabaikan fakta bahwa negeri ini mayoritas Muslim. Padahal kalau logika demokrasi dipakai, seharusnya di negeri ini diterapkan syariah Islam, karena mayoritas penduduknya Muslim. Apalagi menurut hasil penelitian UIN Syarif Hidayatullah tahun 2003, lebih dari 71% (10% lebih banyak dari tahun sebelumnya) penduduk Indonesia menghendaki syariah Islam. Dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) IV tahun 2005 juga tampak bahwa arus utama dalam kongres tersebut adalah: tuntutan penerapan syariah di Indonesia. Namun, begitulah bobroknya demokrasi. Meski suara mayoritas, jika itu bersumber dari kalangan Muslim, dianggap tidak mencerminkan aspirasi demokrasi.

Lalu ketika umat Islam minoritas, kondisinya lebih menyedihkan lagi. Berbagai diskriminasi sampai intimidasi dipraktikkan dengan sempurna di berbagai daerah minoritas Muslim di Tanah Air. Di Papua, semua Muslim diberi label sebagai pendatang, tak peduli apakah ia suku asli Papua atau bukan. Muslim dianggap bukan orang Papua. Mereka diperlakukan diskriminatif, dalam pelayanan pemerintahan maupun pelayanan sosial. Di tubuh pemerintahan posisi-posisi penting dalam pemerintahan, umat Islam tak dilibatkan. Perlakuan di depan hukum pun sering tidak berimbang. Ketika terjadi pertikaian antara Muslim dan warga asli maka dapat dipastikan yang disalahkan warga Muslim.

Perlakuan diskriminasi juga terjadi di Maluku. Ketika terjadi konflik Ambon beberapa waktu lalu, warga Muslim terusir, harta bendanya dijarah, kehormatannya dirampas.
Nasib warga Muslim di Kalimantan juga tak jauh berbeda. Ketika terjadi konflik di Kalimantan, terjadi pengusiran besar-besaran warga Muslim dari suku Madura. Harta-benda mereka dijarah; sawah dan kebun mereka tak bisa lagi mereka garap.

Nasib serupa terjadi di Poso. Tragedi pembantaian di Pesantren Walisongo Poso menambah catatan hitam, betapa perlakuan terhadap kaum Muslim sangat diskriminatif. Setelah warga Pesantren dibantai, kini saudara-saudara mereka pun difitnah sebagai teroris dan dijadikan target operasi Densus (Detasemen Khusus 88) Kepolisian.

Di luar negeri, di negara-negara yang notabene menerapkan demokrasi, kondisi kaum Muslim minoritas juga sama: memprihatinkan. Kebebasan, hak asasi manusia, dan sebagainya tak berlaku bagi umat Islam. Di Belanda, masjid dan rumah kaum Muslim dilempari, bahkan ada yang dibakar. Di Prancis, pemerintah melarang wanita Muslim mengenakan jilbab. Di Jerman, Dubes Jerman untuk Sudan dipecat gara-gara masuk Islam. Di Amerika Serikat, masuk Islamnya Walikota Macon, Georgia, Jack Ellis, direaksi secara negatif oleh kalangan media dan kelompok Kristen fundamentalis AS. Di Australia, kaum Muslim dimata-matai dan tak jarang dituding sebagai teroris. Mahabenar Allah Yang berfirman:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela terhadap kamu (Muhammad) hingga kamu mengikuti agama mereka.
(QS al-Baqarah [2]: 120).

Syariah Islam: Rahmat Bagi Semua

Dalam catatan sejarah yang panjang, ketika syariah Islam diberlakukan dan sistem Islam diterapkan di muka bumi, semua umat lain diperlakukan dan dilindungi sama seperti kaum Muslim. Darah dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum Muslim; sama-sama dilindungi dan dijaga oleh pemerintahan Khilafah Islam. Gambaran yang tidak akan pernah hilang dari sejarah umat Islam adalah kasus Andalusia di Spanyol. Ketika umat Islam berkuasa di sana, Khilafah membiarkan agama lain hidup. Di sana hidup damai tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi.

Kehidupan seperti itu sebetulnya merupakan pemandangan biasa pada masa Nabi saw. Saat di Madinah, Nabi saw. pun biasa bergaul dengan kaum Yahudi, Nasrani dari Najran, serta sebagian kaum musyrik dari suku Aus dan Khajraj. Memang, syariah Islam juga diterapkan atas mereka. Namun, itu hanya terkait dalam kehidupan publik. Adapun dalam kehidupan pribadi dan menyangkut peribadatan mereka, mereka tidak dipaksa. Mereka boleh ke gereja atau tempat-tempat ibadah lainnya. Mereka boleh makan dan minum sesuai dengan ajaran agama mereka. Mereka juga boleh menerapkan tatacara menikah, warisan, cerai, dan masalah pribadi lainnya. Singkatnya, keadilan dirasakan oleh semua pihak. Mahabenar Allah Yang berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.
(QS al-Anbiya' [21]: 107).

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []



Komentar al-Islam:
Pemerintah Akan Kaji Ulang Penerapan Hukum Cambuk (Eramuslim.com, 17/4/07).
Seharusnya Pemerintah mengkaji penerapan hukum-hukum sekular dan mendorong penerapan hukum Islam.

Selanjutnya

17 April 2007

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir ( I )

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir

Beberapa posting dengan judul di atas dapat dijumpai antara lain di sini, di sini, dan di sini dan semuanya berasal dari satu sumber tulisan yaitu karangan Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyiqiyyah

Permulaan artikel ini sendiri berisi ayat Al Quranul Karim yang terjemahannya:
“Dan ketika dikatakan pada mereka supaya jangan berbuat kerusakan di muka bumi ini dengan perbuatannya, mereka berkata ‘tapi kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan’. Tapi sesungguhnya mereka adalah pembuat kerusakan namun mereka tidak menyadarinya” (Al Baqarah 11-12)

Dan dibawahnya disertai sebuah penjelasan
Mereka adalah orang-orang yang berbahaya, karena mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan padahal kenyataannya mereka adalah perusak agama.

Apa maksudnya Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyiqiyyah menukil ayat tersebut + penjelasannya? Seakan-akan ia hendak mengatakan bahwa HT adalah orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah pembuat kerusakan.

Beberapa point penting atas dakwaan Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyiqiyyah antara lain sepertt kutipan berikut ini:

Mereka, orang-orang Hizbut Tahrir, ini mempunyai ciri-ciri yang khas dalam setiap pembicaraannya, diantaranya yaitu selalu mendengung-dengungkan masalah khilafah, Adzab Kubur dan Hadits Ahad (maksudnya adalah mereka menolak adanya adzab kubur dan hadits ahad).

Memang HT selalu mendengungkan dan memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah yang berjalan di atas manhaj kenabian. Khilafah bukan tujuan akhir, namun hanya sebuah metoda atau tariqah demi sempurnanya kewajiban setiap umat Islam untuk melaksanakan semua hukum-hukum Allah di muka bumi. Tentang azab kubur dan hadis ahad… tampaknya ia salah mengartikan posisi HT dalam memahami hadis ahad dan azab kubur.

Tanyakan kepada semua orang HT, apakah mereka mengingkari adanya azab kubur? Atau adakah kitab-kitab HT yang menyerukan setiap pengikut dan anggota untuk mengingkari adanya azab kubur? Tidak ada…

Apalagi mengingkari hadis ahad… masyaallah jika seorang syaikh mengatakan hal seperti itu. Mudah-mudahan beliau mendapat ampunan dari Allah atas kekurangpahamannya. HT tidak menolak adanya hadis ahad. HT memang mendudukkan hadis ahad sebagaimana porsinya, yaitu sebagai dalil Syariat Islam. HT tidak menggunakan hadis ahad dalam masalah akidah. Apakah HT sendirian dalam masalah ini?

Tidak tentu saja. Ada banyak tokoh ulama dan imam mazhab yang berpendapat demikian. Al Khotib Al Baghdaadi Nawaawi Abu hamid Al Ghozali, Al Amidi, Al Bazdawi, As Sam’aani, Al Qosimi syaik Al Azhaar Mahmud Syaltut, Sayid Qutb, Dr. Muhammad Al Ghozali, Dr. Said Ramadlon Al Buthi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Kholaf semuanya mengungkapkan merupakan pihak yang menyatakan bahwa hadis ahad tidak digunakan untuk masalah aqidah. Beberapa ulama lainnya menyatakan pendapat yang sebaliknya seperti Syaikhul Islaam, Taqiyyuddiin Ibn Taimiyah, syaikh madzhab dhohiri Ibnu Hazm, As Suyuti, Ibnu Hajjar sampai Nashiruddiin Al Albani.

Lihat penjelasan yang cukup gamblang di sini

Pendiri Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin An Nabhani. Dia adalah merupakan salah satu cucu dari Yusuf bin Isma’il An Nabhani, yang dia (Yusuf) ini adalah seorang yang sangat berlebihan pada Sufisme. Yusuf Isma’il mempunyai (mengarang) banyak kitab, diantaranya adalah Jami’ Karamatul Awliya’. Kitab ini didalamnya berisi banyak cerita-cerita “yang lucu”, salah satunya adalah Ali Al Amali, jika kita membacanya maka kita akan tertawa sekaligus menangis.

Tanpa mengerutkan dahi pun akan orang akan menarik kesimpulan:
Kakeknya Taqiyudin itu begini-begini (seorang yang sangat berlebihan pada Sufisme) maka pasti 100% Taqiyudin juga seperti kakeknya. Atau dengan kata lain
Mbahnya fulan = pencuri, maka bapaknya fulan = maling, sehingga fulan = maling yang mencuri. Minimal gelarnya adalah cucunya pencuri atau anak maling.

Apa memang begitu? Jika kakeknya Taqiyuddin seorang yang sangat berlebihan pada Sufisme (jika memang benar) apakah pasti Taqiyudin seorang yang juga seperti kakeknya? Hal yang sangat meggelikan tentunya ….

Mereka katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak seharusnya berijtihad. Apakah kamu pernah mendengar hal ini? Bahwa beliau tidak seharusnya berijtihad?.
Maka kita katakan pada mereka, siapa yang paling sempurna satu sama lain yang berhak untuk melakukan ijtihad? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah Taqiyuddin? Dia (Taqiyuddin) adalah majhul atau tidak dikenal, dia bukanlah siapa-siapa. Lalu bagaimana hal itu bisa dikatakan?

Memang dalam salah satu kitab HT, (saya lupa nih, di mana ya?) disebutkan bahwa Nabi Muhammad bukan mujtahid. Sebelum melangkah jauh bersilat lidah, tentu kita harus menyelaraskan apa definisi mujtahid dan ijtihad. Apakah ijtihad itu sama dan sebangun dengan berpendapat? Definisi ijtihad setahu saya adalah “mencurahkan segenap kemampuan dan upaya untuk memproduksi suatu hokum berdasarkan dalil yang rinci”. Maka untuk berijtihad
  • diperlukan banyak ilmu pengetahuan untuk menjadi seorang mujtahid
  • obyek ijtihad haruslah sesuatu yang belum ada hokum syarak yang jelas
  • dasar ijtihad adalah Al Quran, Sunnah, Ijma (shahabat) dan Qiyas
  • Ijtihad mengandung kemungkinan salah
Jika definisi di atas disepakati maka apakah benar Rasulullah SAW berijtihad? Bukankah Rasulullah (perkataan, perbuatan, dan iqrar beliau) sendiri merupakan dasar hukum bagi para mujtahid? “In huwa illaa wahyu (n) yuuha”. Semua yang ada pada diri Rasulullah adalah wahyu dari Allah. Dan Rasulullah tidak mungkin salah. Sedangkan salah adalah salah satu sifat yang dimiliki oleh suatu ijtihad.

Jadi dari sini, (mungkin) HT mengatakan bahwa Rasulullah bukan mujtahid. Tetapi jika yang dimaksud ijtihad adalah ‘hanya’ sekedar berpendapat atau mengeluarkan pikiran, maka semua orang bisa menjadi ‘mujtahid’. Balita pun bisa menjadi mujtahid karena ia dapat mengekspresikan pendapat dan pikirannya.

Jadi sekarang definisi ijtihad mana yang akan dipakai? Dan HT tampaknya menggunakan definiisi ijtihad pertama. Anda? Terserah anda mau pake yang mana.

Aqidahnya, seperti yang telah disinggung sebelumnya, adalah maturidiyah yang merupakan sebuah pemahaman sebuah firqah yang dinisbahkan pada Abu Manshur Al Maturidi, yang memiliki kesesatan yang lebih daripada Asy’ariyah. Dia menyebut a’imah dari firqah tersebut sebagai “Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Dia berkata bahwa kita tidak bisa menerima Al Qur’an sampai terpenuhinya 10 syarat, dan salah satu syaratnya itu adalah Al Qur’an itu harus disesuaikan dengan ‘aql. Ini merupakan perkataannya Ar Razi.
Dia juga menulis dalam kitabnya Asy Syakhsiyyah Al Islamiyyah III/132, yang tulisannya membuktikan akan ke-maturidiyah-annya dan ke-asy’ariyah-annya. Dia men-ta’wilkan beberapa sifat Allah, seperti tangan Allah yang dia artikan sebagai kekuatan atau kekuasaan.
Ada yang mau menanggapi tiga poin di atas? Saya terus terang kurang memahaminya (edit: lihat di sini untuk penjelasannya)

Jika kita membuka kitab Syarh Ushulul Khomsah Al Mu’tazilah halaman 228, disana akan ditemukan perkataan salah satu imam dari mu’tazilah yaitu Al Qadhi ‘Abdul Jabbar, yang berkata bahwa manhaj “ahlus sunnah” adalah meyakini bahwa tangan Allah itu maksudnya adalah kekuasaan atau kekuatan.
Jadi ini ya orang orang pengikut syeikh ini mengatakan bahwa ht adalah muktazilah karena Taqiyudin berpendapat bahwa tangan Allah adalah kekuasaan dan kekuatan? Atau Mu’tazilah judud? Pemahasan tentang siapa muktazilah dan apakah benar HT adalah muktazilah baru dapat dibaca di majalah al wai edisi….? (maaf saya lupa)

Selanjutnya

16 April 2007

Perang Khaibar

PERANG KHAIBAR

"Sejak ditaklukkannya daerah Khaibar, Fadak, Wadi al-Qurra, dan sekitarnya, khtiththah politik luar negeri Rasulullah saw. memiliki corak yang berbeda dengan sebelumnya. Sebab, sejak itu beliau mulai berhadap-hadapan secara langsung dengan negara-negara dan kekuatan adidaya saat itu, yaitu Romawi (Byzantium) dan Persia."
Sekembalinya dari Hudaibiyah, Rasulullah saw. tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah dan sebagian bulan Muharram. Di akhir bulan Muharram beliau segera mempersiapkan langkah berikutnya yang telah beliau jadikan khiththah dalam politik luar negerinya, yaitu berangkat menuju Khaibar. Langkah sebelumnya telah berhasil dengan gemilang. Melalui Perjanjian Hudaibiyah, beliau mampu memecah koalisi politik dan militer (kafir Quraisy dan kaum Yahudi) sekaligus mengisolasi pengaruh politik Makkah dari kawasan Jazirah Arab. Rasulullah saw. merasa aman dari ancaman yang berasal dari Selatan (kota Makkah). Tinggal menuntaskan ancaman dari wilayah Utara (yaitu Khaibar) dengan menyerang mereka secara tiba-tiba dan tak terduga.

Rasulullah saw. menunjuk Numailah bin Abdullah al-Laitsi sebagai imam sementara di Madinah selama kepergiannya ke Khaibar dan menyerahkan bendera perang yang berwarna putih ( liwa ) kepada Ali bin Abi Thalib.

Rasulullah saw. dan pasukannya menempuh perjalanannya dengan sangat cepat untuk memberi kesan serangan dadakan. Kaum Muslim tiba di Khaibar malam hari. Pagi harinya para pekerja di Khaibar yang biasa berangkat pagi-pagi untuk bekerja dengan membawa sekop dan keranjang tidak menyangka bahwa di depan benteng-benteng mereka telah berkemah pasukan kaum Muslim. Tatkala mereka menyaksikan Rasulullah saw. dan pasukannya, mereka terkejut seraya berteriak, "Muhammad bersama pasukannya !" Mereka lari terbirit-birit. Rasulullah saw. bersabda, "Allâhu akbar, hancurlah Khaibar. Apabila kita tiba di pekarangan suatu kaum, sungguh amat buruk pagi hari kaum yang telah diperingatkan."

Rasulullah saw. menguasai kebun-kebun Khaibar sedikit demi sedikit, satu demi satu. Benteng penduduk Khaibar yang pertama kali beliau taklukkan adalah Benteng Na'im, lalu Benteng al-Qamush, dan kemudian Benteng Bani Abu al-Huqaiq. Dari mereka, Rasulullah saw. memperoleh banyak tawanan wanita, di antaranya Shafiyah binti Huyay bin Akhthab, istri Kinanah bin ar-Rabi' bin Abu al-Huqaiq. Shafiyah inilah yang kemudian diperistri beliau.

Setelah berhasil menaklukkan benteng-benteng Khaibar dan perkebunannya, Rasulullah saw. meneruskan perjalanannya hingga tiba di dua benteng lainnya, yaitu al-Wathih dan as-Sulalim. Kedua benteng Khaibar inilah yang ditaklukkan paling akhir.

Rasulullah saw. mengepung penduduk Khaibar di kedua benteng mereka, yaitu al-Wathih dan as-Sulalim. Tatkala mereka yakin akan kalah, mereka meminta beliau untuk mengasingkan (mengusir mereka) ke suatu tempat dan tidak perlu membunuh mereka, sebagaimana yang dilakukan terhadap Bani Qainuqa dan Bani Nadhir di Madinah. Beliau menerima permintaan mereka. Saat itu beliau sudah menguasai semua kebun penduduk Khaibar, as-Syiqq, Nathah, dan al-Katibah. Beliau juga telah menguasai benteng lainnya, kecuali benteng al-Wathih dan as-Sulalim.

Akhirnya, Rasulullah saw. berdamai dengan mereka. Hasil perjanjian tersebut dianggap menguntungkan kedua belah pihak. Orang-orang Yahudi Khaibar dibiarkan tinggal di sana, dengan syarat, hasil kebun mereka dibagi dua dengan beliau, dan jika beliau ingin mengusir mereka maka beliau berhak melakukannya kapan saja. Rasulullah saw. juga melakukan perjanjian seperti itu dengan penduduk Fadak. Dengan demikian. Khaibar termasuk fa'i bagi kaum Muslim, sedangkan Fadak khusus milik Rasulullah saw. karena tidak ditaklukkan melalui pasukan berkuda maupun pejalan kaki.

Pembagian Khaibar

Harta kekayaan Khaibar yang dibagi-bagi adalah asy-Syiqq, Nathah, dan al-Katibah. Asy-Syiqq dan Nathah dibagikan kepada kaum Muslim karena memang bagian mereka. Untuk al-Katibah, seperlimanya untuk Allah, Rasulullah saw., sanak kerabat beliau, anak-anak yatim, orang-orang miskin, makanan untuk istri-istri beliau, dan makanan untuk orang yang menjadi penghubung beliau dengan penduduk Fadak yang membawa perdamaian. Di antara mereka adalah Muhaiyyishah bin Mas‘ud, saat itu diberi 30 wasq gandum dan 30 wasq kurma. Khaibar dibagi-bagikan kepada para sahabat yang turut hadir dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, yang turut serta dalam Perang Khaibar, dan yang tidak turut hadir, yaitu Jabir bin Abdullah bin Amr bin Haram. Rasulullah saw. memberikan kepadanya bagian sebagaimana orang yang turut serta dalam Perang Khaibar.

Lembah Khaibar mencakup as-Surair dan Khas. Kedua lembah itu diberikan Rasulullah saw. kepada Jabir bin Abdullah. Nathah dan Syiqq memiliki 15 bagian. Nathah dibagi-bagi lagi menjadi lima bagian dan asy-Syiqq tiga belas bagian; lalu dibagi menjadi 1.800 bagian. Sebab, jumlah bagian para sahabat terhadap harta kekayaan Khaibar adalah 1.800 bagian. Pasukan pejalan kaki berjumlah 1.400 orang dan pasukan berkuda berjumlah 200 orang. Setiap kuda memperoleh dua bagian dan penunggangnya satu bagian. Setiap bagian memiliki seorang koordinator yang membawahi 100 orang, sehingga jumlah total bagian tersebut adalah 18 buah.

Rasulullah saw. membagi al-Katibah, yaitu lembah Khas, kepada sanak keluarganya dan beberapa lelaki dan wanita kaum Muslim. Beliau memberi Fathimah 200 wasq , Ali bin Abi Thalib 100 wasq , Usamah bin Zaid 200 wasq biji-bijian, Aisyah Ummul Mukminin 200 wasq , Abu Bakar bin Abu Quhafah 100 wasq , Aqil bin Abu Thalib 140 wasq , anak-anaknya Ja‘far 50 wasq , Rabi‘ah bin al-Harits 100 wasq , ash-Shalth bin Makhramah dan dua orang anaknya 100 wasq , 40 wasq di antaranya untuk ash-Shalth, Qais bin Makhramah 30 wasq , Abu al-Qasim bin Makhramah 40 wasq , anak-anak perempuan Ubaidah bin al-Harits dan anak perempuan al-Hushain bin al-Harits 100 wasq , anak-anak Ubaid bin Abdu Yazid 60 wasq , anak Aus bin Makhramah 30 wasq , Misthah bin Atsatsah dan anak Ilyas 50 wasq , Ummu Rumaitsah 40 wasq , Nu'aim bin Hindun 30 wasq , Buhainah binti al-Harits 30 wasq , Uzair bin Abdu Yazid 30 wasq , Ummu al-Hakam binti az-Zubair bin al-Muthalib 30 wasq , Jumanah binti Abu Thalib 30 wasq , Ummu al-Arqam 50 wasq , Abdurrahman bin Abu Bakar 40 wasq , Hamnah binti Jahsy 30 wasq , Ummu az-Zubair 40 wasq , Dzuba'ah binti az-Zubair 40 wasq , anak Abu Khunais 30 wasq , Ummu Thalib 40 wasq , Abu Bashrah 20 wasq , Numailah al-Kalbi 50 wasq , Abdullah bin Wahb dan kedua anaknya 90 wasq , kedua anaknya memperoleh 40 wasq dari bagian tersebut, Ummu Habib binti Jahsy 30 wasq , Malku bin Abdah 30 wasq , dan istri-istri beliau 700 wasq .

Demikianlah, batu-batu besar yang selama ini menghambat perjalanan dakwah kaum Muslim di daerah Jazirah Arab seluruhnya runtuh, dan jalan untuk menaklukkan seluruh kawasan Hijaz dan Nejd sudah di pelupuk mata.

Sejak ditaklukkannya daerah Khaibar, Fadak, Wadi al-Qurra, dan sekitarnya, khtiththah politik luar negeri Rasulullah saw. memiliki corak yang berbeda dengan sebelumnya. Sebab, sejak itu beliau mulai berhadap-hadapan secara langsung dengan negara-negara dan kekuatan adidaya saat itu, yaitu Romawi (Byzantium) dan Persia. [AF]

Sumber: Majalah Al Waie Edisi 58, diambil dari situs hizbut-tahrir.or.id

Selanjutnya

13 April 2007

Liberalkah Abu Hanifah?

LIBERALKAH ABU HANIFAH?
Oleh M. Maghfur Wahid, MA

Saya heran dengan orang-orang yang mengatakan, seolah-olah saya telah berfatwa dengan ra'y. Padahal, saya tidak akan memberikan fatwa, kecuali dengan landasan atsar (riwayat, bisa as-Sunnah dan pendapat sahabat).
Pengantar

Untuk menjawab pertanyaan ini, sekaligus membuktikan benar dan tidaknya klaim tersebut, yang harus dianalisis pertama kali adalah fakta-fakta seputar dua mazhab besar yang berkembang pada waktu itu, yaitu mazhab Ahl al-Hadits dan Ahl ar-Ra'y , berikut metodologi dan hasil ijtihad mereka.

Pengklasifikasian para ulama ke dalam dua kategori tersebut sebenarnya lebih karena aktivitas mereka dalam mencari dasar-dasar yang menjadi landasan istinbâth (penggalian hukum) mereka. Sebagian mujtahid selalu mengaitkan pemahaman atas 'ibârah (ungkapan secara literal) yang terdapat dalam nash, dan berhenti pada batasan makna yang ditunjukkan nash, lalu mengaitkan ijtihad mereka dengan makna-makna tersebut. Nah, mereka inilah yang kemudian dikenal dengan Ahl al-Hadits. Sebagian lain menganalisis makna-makna yang ditunjukkan oleh 'ibârah nash yang bisa dijangkau oleh akal, sebagai tambahan terhadap makna-makna tekstualnya. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan mazhab Ahl ar-Ra'y.

Fenomena ini sebenarnya bisa kita temukan ketika Nabi saw. masih hidup. Ketika beliau mengutus pasukan ke Bani Quraizhah, misalnya, beliau pernah bersabda: Alâ lâ yushallina ahad[un] al-'ashra illâ fî Bani Quraizhah (Ingat, jangan ada siapapun yang shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah). Sebagian sahabat memahami perintah tersebut secara literal; mereka tidak shalat, kecuali seperti yang telah diperintahkan oleh Rasul, yakni setelah sampai di Bani Quraizhah. Mereka pun terpaksa mengakhirkan shalat Ashar, padahal untuk sampai di sana waktu Ashar sudah habis. Sebagian lagi memahami sabda Nabi saw. tersebut secara kontekstual, karena khawatir begitu sampai di sana waktu Ashar telah berakhir. Mereka pun akhirnya shalat sebelum sampai di Bani Quraizhah. Fenomena ini menunjukkan, bahwa kedua kelompok tersebut sama-sama menggunakan dalil dan sama-sama memahami dalil, tetapi yang pertama memahami dalil secara literal, sementara yang kedua memahaminya secara kontekstual.

Dari sini bisa dipahami, bahwa fenomena Ahl al-Hadits dan Ahl ar-Ra'y tidak bisa disederhakan; seolah-olah Ahl al-Hadits adalah mereka yang hanya menggunakan hadis, atsar , dan fatwa sahabat, sebaliknya meninggalkan jauh-jauh ra'y (akal/pandangan) mereka dalam berijtihad; sementara Ahl ar-Ra'y adalah mereka yang seolah-olah hanya berijtihad dengan menggunakan ra'y (akal/pandangan) mereka.

Latar Belakang Abu Hanifah

Abu Hanifah an-Nu'man (80-150 H/700-768 M) adalah salah seorang tâbî‘at-tâbi‘în . Beliau lahir ketika empat sahabat Rasulullah saw. masih hidup, yaitu Anas bin Malik di Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Sa'ad as-Sa'idi di Madinah, dan Abu ath-Thufail 'Amir bin Wail di Makkah. Akan tetapi, beliau tidak sempat bertemu dengan mereka. Ada yang mengatakan, bahwa beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik. Dari Anas, beliau meriwayatkan hadis: Thalab al-'ilmi faridhat[un] 'ala kulli Muslim. Selain itu, beliau juga pernah menunaikan ibadah haji bersama ayahnya pada tahun 96 H. Di Masjid al-Haram, beliau sempat bertemu dengan 'Abdullah bin al-Harits bin Juz az-Zubaidi, salah seorang sahabat Nabi saw. Darinya, Abu Hanifah meriwayatkan hadis: Man tafaqqaha fî dînillâh kafahullâhu hammuhu wa rizquhu min haytsu la yahtasib. Karena itulah, sebagian ulama juga menyatakan, bahwa beliau merupakan generasi tâbi‘în .

Beliau juga mempunyai banyak guru, antara lain: Hammad bin Abi Sulaiman, Zaid bin Ali Zain al-Abidin, Muhammad al-Baqir Zain al-Abidin, Ja'far as-Shadiq, Abdullah bin al-Hasan bin al-Hasan, Jabir bin Yazid al-Ja'fi, Ibrahim an-Nakhai, dan as-Sya'bi. Di antara mereka, yang paling berpengaruh terhadap diri beliau adalah Hammad, fuqaha' Kufah (w. 120 H).

Beliau berguru kepada Hammad selama 22 tahun, hingga umur 40 tahun. Dari Hammad, beliau belajar fikih dan hadis. Beliaulah yang menggantikan Hammad untuk mengajar di Masjid Kufah, setelah beliau wafat. Satu hal yang patut dicatat, bahwa meski beliau berguru kepada Hammad, juga kepada Ibrahim an-Nakha'i, beliau mempunyai banyak pendapat yang berbeda dengan gurunya, sebagaimana yang ditulis oleh sahabat beliau, Muhammad bin al-Hasan, dalam kitabnya, al-Atsar.

Waki' bin al-Jarrah, salah seorang fuqaha' Kufah, pernah melukiskan majelis Abu Hanifah:

Bagaimana mungkin Abu Hanifah melakukan kesalahan, padahal bersama beliau ada Abu Yusuf dan Zafar yang terkenal dengan Qiyas-nya; Yahya bin Abi Zaidah, Hafsh bin Ghuyats, Hibban dan Mundil yang terkenal dengan hapalan hadisnya; al-Qasim bin Ma'an yang terkenal dengan pengetahuan bahasa Arabnya; Dawud at-Thai dan Fudhail bin Iyadh yang terkenal dengan kezuhudan dan kewaraannya? Selama yang mengikuti majelisnya seperti mereka, beliau tidak bisa melakukan kesalahan. Sebab, kalau beliau melakukannya, pasti mereka akan menyanggahnya.

Hanya saja, kecenderungan Abu Hanifah yang paling menonjol memang dalam penggunaan ra'y . Beliau bahkan dinobatkan sebagai Imam Ahl ar-Ra'y . Meski orang sering keliru, ketika beliau disebut-sebut sebagai Imam Ahl ar-Ra'y , seolah-olah beliau tidak menguasai hadis, atau bukan ahli hadis. Padahal, beliau juga mempunyai kitab hadis yang terkenal, Musnad Abi Hanifah , yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Mahmud al-Khuwarizmi (w. 655 H), dan diterbitkan di Mesir tahun 1336 H. Musnad ini setebal 800 halaman. Sahabat Abu Hanifah, Muhammad bin al-Hasan, juga telah mengumpulkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dalam kitabnya, al-Atsar . Selain itu, Abu Yusuf, murid Abu Hanifah juga melakukan hal yang sama, kemudian mengumpulkannya dalam kitab yang lain.

Hanya saja, perlu digarisbawahi, bahwa konteks di mana Abu Hanifah dibesarkan memang ikut berpengaruh pada penerimaan beliau terhadap hadis. Seperti yang telah dimaklumi, bahwa di Irak—yang terkenal sebagai dâr adh-dharb (wilayah konflik)—telah terjadi banyak pemalsuan hadis. Karena itu, beliau sangat berhati-hati dalam menerima hadis, dan menetapkan syarat yang ketat, antara lain, hadis tersebut harus populer di kalangan orang-orang tsiqqah , dan perawinya juga tidak melakukan sesuatu yang kontradiksi dengan apa yang diriwayatkan.

Metodologi Abu Hanifah dan Implikasi Hukumnya

Memang, tidak bisa disangkal, selain kecenderungan Abu Hanifah yang kuat dalam menggunakan ra'y, latar belakang pendidikan, guru, dan kultur beliau yang dibesarkan di Irak juga ikut menentukan corak ijtihad beliau. Secara umum, Abu Hanifah sendiri telah menyangkal klaim-klaim orang yang menganggap seolah-olah bahwa beliau mengagungkan akalnya:

Saya heran dengan orang-orang yang mengatakan, seolah-olah saya telah berfatwa dengan ra'y. Padahal, saya tidak akan memberikan fatwa, kecuali dengan landasan atsar (riwayat, bisa as-Sunnah dan pendapat sahabat).

Bohong! Demi Allah, kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya lebih mendahulukan qiyas daripada nash; itu merupakan tuduhan bohong yang dituduhkan kepada kami. Apakah setelah dinyatakan nash, masih dibutuhkan qiyas?

Kami juga tidak akan menggunakan qiyas, kecuali ketika sangat terpaksa. Kalau kami tidak menemukan dalil, ketika itulah kami baru menggunakan qiyas atas apa yang didiamkan nash, berdasarkan manthûq (tekstual)-nya nash.

Kami, pertama-tama, akan mengambil Kitabullah, as-Sunnah, lalu keputusan sahabat, serta melakukan apa yang mereka sepakati. Kalau mereka berselisih, kami akan menganalogikan satu hukum pada hukum lain, dengan melihat persamaan 'illat di antara kedua masalah tersebut, sampai maknanya benar-benar jelas.

Kalau kemudian Abu Hanifah menggali suatu hukum dari hadis, yang notabene berbeda dengan ulama lain, jelas itu bukan karena kelancangan ataupun rekaan beliau, tetapi lebih karena kedalaman pemahaman beliau. Karena itu, Abu Yusuf, murid sekaligus mujtahid mazhab Hanafi, menyatakan, "Saya tidak menemukan ada orang yang lebih menguasai penjelasan hadis dan tempat-tempat fikih yang langka di dalam hadis melebihi Abu Hanifah."

Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa secara metodologis, Abu Hanifah telah menetapkan sumber yang menjadi rujukan istinbâth beliau adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijma, Qiyas dan Istihsân . Tentang penggunaan al-Quran tidak perlu dibahas, karena sudah jelas. Adapun tentang penggunaan as-Sunnah, beliau menggunakan hadis mutawâtir , masyhûr , dan ahad ; serta menguatkan mana yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqqah . Sebagai contoh, Abu Hanifah tidak mengangkat tangan ketika rukuk dan i'tidal saat takbir intiqâl . Dalam kasus ini, al-Auza'i sempat berdebat lama dengan Abu Hanifah, karena al-Auza'i berpegang pada riwayat az-Zuhri, yang notabene mengangkat tangan, sementara Abu Hanifah berpegang pada riwayat Hammad, yang tidak mengangkat tangan. Ketika al-Auza'i mengatakan, "Saya memberitahukan kepada Anda hadis dari az-Zuhri dari Salim, dari ayahnya, lalu Anda menjawab, 'Saya diberitahu Hammad dari Ibrahim.'" Abu Hanifah menjawab, "Hammad lebih fakih ketimbang az-Zuhri, dan Ibrahim lebih fakih ketimbang Salim, sementara Alqamah bukanlah ulama yang levelnya berada di bawah Ibn Umar. Kalau Ibn Umar adalah sahabat dan mempunyai kemuliaan sebagai sahabat, maka al-Aswad (sanad yang menjadi jalur Abu Hanifah) juga memiliki keutamaan yang besar." Lalu al-Auza'i pun terdiam.

Mengenai Ijma, Abu Hanifah menetapkan bahwa Ijma yang bisa digunakan adalah Ijma para mujtahid, yang terjadi pasca wafatnya Rasulullah saw. dalam perkara syar'i , bukan 'aqli , dan disetujui secara lisan, atau didiamkan seiring dengan perjalanan waktu. Adapun Qiyas—seperti yang beliau nyatakan sendiri—hanya digunakan karena sangat terpaksa. Dalam hal ini, mazhab Abu Hanifah membedakan Qiyas menjadi dua, yaitu Jalli (jelas) dan Khafi (tidak jelas).

Menurutnya, Qiyas Jalli adalah satu aspek yang langsung bisa dipahami, sementara aspek tersebut tidak bertentangan dengan aspek lain yang menuntut untuk di- tarjîh (dianalisis). Adapun Qiyas Khafi adalah Istihsân itu sendiri. Istihsân dijelaskan oleh al-Karkhi—salah seorang ahli ushul mazhab Hanafi—dengan: Mereposisi hukum dalam suatu masalah—sebagaimana hukum yang sama, yang ditetapkan pada yang lain—dengan hukum yang berbeda karena ada aspek yang lebih kuat, yang memang memaksa dilakukannya reposisi dari hukum yang pertama tersebut.

Contoh, penjahit yang menghilangkan jahitannya karena dicuri orang, misalnya, tidak wajib mengganti pakaian yang hilang, karena tangannya adalah tangan amanah ( yadun amânah ), yaitu tangan yang hanya melakukan apa yang diminta oleh pengguna jasanya. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw. yang menyatakan: Lâ dhimâna 'alâ mu'tamin (Tidak ada tanggungan bagi orang yang mendapatkan amanah). Akan tetapi, kesimpulan hukum ini harus direposisi dengan hukum kebalikannya (wajib mengganti), karena adanya aspek yang dianggap lebih kuat, yaitu alasan kalau penjahit tersebut tidak dikenai kewajiban mengganti, maka dia akan teledor. Karena itu, dengan logika istihsân , hukum mengganti pakaian yang hilang bagi penjahit tersebut menjadi wajib.

Inilah metodologi Abu Hanifah dalam konteks sumber yang menjadi rujukan istinbâth hukumnya. Adapun dalam konteks metodologi ijtihadnya sendiri, atau dalam konteks cara menganalisis nash syariat, maka beliau tidak hanya berpegang pada apa yang tersurat, tetapi juga berpegang pada ma'qûl an-nash. Misalnya, ketika fuqaha' Ahl al-Hadits menyatakan bahwa zakat harus dikeluarkan seperti apa adanya, sebagaimana yang dinyatakan dalam nash, maka Abu Hanifah menyatakan, bahwa zakat tidak harus dikeluarkan seperti apa adanya, tetapi boleh dibayarkan nilainya, sehingga bisa dibayar dengan uang atau makanan yang senilai dengan zakat tersebut. Di sinilah, letak kekhasan fuqaha' Ahl ar-Ra'y.

Adapun dalam konteks metodologi istinbâth , atau dalam konteks makna bahasa yang bisa digunakan untuk memahami nash, Abu Hanifah—karena pertimbangan nalarnya—tidak hanya berpegang pada makna yang lazim digunakan orang. Misalnya, kebanyakan ulama menafsirkan hadis: Al-Bayyiâni bi al-khiyâr mâ lam yatafarraqâ (Penjual dan pembeli berhak untuk memilih—meneruskan jual-beli, atau membatalkannya—selama belum berpisah), dengan: berpisahnya majelis ( tafarruq al-majlis ). Sebaliknya, Abu Hanifah justu menafsirkannya dengan: berpisahnya ucapan ( tafarruq al-qawl ). Secara nalar, menurut Abu Hanifah, jual-beli tersebut sudah sempurna dengan adanya ijab dan qabul, sekalipun kedua belah pihak—penjual dan pembeli—belum berpisah dari majelis tersebut. Lalu, bagaimana mungkin, setelah terjadinya ijab dan qabul—yang notabene jual-belinya sudah sah—mereka masih bisa memilih, antara meneruskan atau membatalkan jual-belinya?

Justru dengan logika seperti ini, pandangan Abu Hanifah lebih sulit ketimbang ulama yang lain. Contoh lain yang berbeda, misalnya, dalam kasus tertawa dalam shalat. Abu Hanifah berpendapat, bahwa tertawa terbahak-bahak dalam shalat bukan saja membatalkan shalat, tetapi juga wudhu. Sebaliknya, ulama yang lain menyatakan, bahwa yang batal hanya shalatnya saja, sementara wudhunya tidak. Status hadis yang digunakan oleh Abu Hanifah dalam kasus ini, ada yang yang mursal dan musnad , meski terbukti—sebagaimana hasil tarjîh (analisis) Wahbah az-Zuhaili—bahwa seluruh hadis yang statusnya musnad tersebut ternyata lemah, sehingga praktis Abu Hanifah justru menggunakan hadis mursal. Sebaliknya, ulama lain tidak menggunakan hadis tersebut, karena bisa jadi statusnya yang dianggap lemah. Dengan digunakannya hadis mursal seperti ini, justru pendapat Abu Hanifah lebih berat ketimbang pendapat jumhur.

Kesimpulan

Inilah gambaran bagaimana metodologi ijtihad Abu Hanifah dan implikasinya terhadap hukum yang dihasilkannya. Melalui paparan di atas, tidak bisa sedikitpun disimpulkan bahwa Abu Hanifah hanya menggunakan akalnya, dan meninggalkan nash, atau menggunakan akalnya secara leluasa, dan hanya sekali-kali merujuk pada nash. Tentu tidak demikian. Apa yang beliau lakukan tidak lain adalah ijtihad dengan menggunakan metodologi yang khas dan unik, sebagaimana metodologi yang juga digunakan oleh fuqaha' Ahl al-Hadits .

Karena itu, klaim bahwa Abu Hanifah adalah liberal, atau menggali hukum dengan cara-cara liberal, tak lebih dari klaim-klaim pembenaran untuk menjustifikasi kerangka metodologis liberal, yang tidak mau terikat dengan Islam, dan nash-nashnya, apalagi pendapat para ulama salaf. Harapan mereka, dengan klaim-klaim pembenaran seperti itu, gagasan mereka akan mendapat tempat di hati kaum Muslim. Akan tetapi, jangan berharap, justru sebaliknya, umat akan semakin tahu kebohongan-kebohongan mereka yang mengatasnamakan para ulama salaf, seperti Abu Hanifah.

Wallâhu Rabb al-Musta‘ân wa ilayhi at-Tâkilan. []

sumber tulisan: Majalah Al Waie Edisi 60

Selanjutnya

KTT Arab di Riyadh

Buletin Al Islam Edisi 350

AMERIKA 'MENGADAKAN' KTT ARAB DI RIYADH
Untuk Mengaborsi Problematika Umat Islam, Khususnya Palestina

Para penguasa Arab telah berkumpul untuk menghadiri konferensi mereka yang ke-19 selama dua hari, yaitu 28-29 Maret 2007 di Riyadh. Peserta konferensi yang hadir tetapi tidak tampak di permukaan adalah Amerika Serikat, yang diwakili oleh Menlu AS, Condoleeza Rice. Menlu AS, Condoleeza Rice telah mendapatkan kehormatan di Aswan, Mesir. Dia kemudian memanggil Komite Politik dan Intelijen para penguasa tersebut. Komite tersebut bertemu pada tanggal 24 Maret 2007, yaitu menjelang dilangsungkannya konferensi, supaya mereka bisa mentransfer kepada para peserta konferensi tentang peta jalannya konferensi dan keinginan Bush tentang negara Yahudi dengan melakukan (normalisasi), sebagai kompensasi kepada negara Yahudi itu atas kekalahannya pada perang Juli.

Rice ternyata belum meninggalkan kawasan ini. Dia pun masih melakukan serangkaian lawatan kerja, antara Mesir, Yordania dan Palestina. Baru malam berlangsungnya Konferensi, dia pun kembali, setelah dia yakin bahwa Konferensi tersebut benar-benar berjalan sesuai dengan arahannya! Sebelum mengakhiri lawatannya pada tanggal 27 Maret 2007, tak lupa dia berpesan kepada para penguasa Arab agar "Mengulurkan tangan mereka kepada Israel —lebih dari apa yang selama ini telah diulurkan— sampai dia yakin, bahwa posisi Israel di kawasan tersebut sangat aman". Rice sebelumnya, ketika hendak meninggalkan Washington, di awal lawatannya, telah memberikan pernyataan, bahwa dia berharap —bahkan memerintahkan— agar para penguasa Arab itu dalam KTT mereka mengemukakan "Inisiatif Perdamaian Arab" yang mereka putuskan pada KTT Beirut 2002, dan akan mereka aktifkan melalui apa yang digambarkannya sebagai "Diplomasi Aktif". Begitulah, kemudian lahirlah rekomendasi akhir Konferensi pada hari ini, yang menegaskan dengan jelas perlunya membobilisasi Inisiatif Arab, yang sebenarnya merupakan buatan Amerika, yang telah disiapkan oleh Thomas Fredman, kemudian diadopsi oleh Amir Abdullah pada saat itu, lalu dia ajukan kepada KTT Beirut, dan KTT pun menyetujuinya, sehingga jadilah inisiatif tersebut sebagai "Inisiatif Perdamaian Arab".

Amerika, di bawah pemerintahan Neo-Konservatifnya telah berhasil membuat para penguasa Arab itu mendeklarasikan secara terbuka, tidak lagi sembunyi-sembunyi, dan dengan pernyataan yang jelas, bukan lagi dengan bahasa isyarat —melalui inisiatif mereka yang telah disebutkan sebelumnya— bahwa masalah Palestina tersebut tidak akan melampaui batas pencaplokan Israel tahun 1967. Itulah yang menjadi obyek perselisihan dan tarik ulur dalam perundingan guna mewujudkan solusi bagi masalah tersebut. Itulah yang juga menjadi obyek pembicaraan mengenai pendirian negara Palestina di sana.... Adapun Palestina yang dicaplok pada tahun 1948, itu murni merupakan hak milik Yahudi, yang pada prinsipnya harus diterima dan tidak boleh dipersoalkan, sesuai dengan dokumen yang telah ditandatangani oleh para penguasa Arab!

Yang dituntut setelah itu adalah, penduduk Palestina harus mengumumkan persetujuannya terhadap dokumen tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penguasa Arab itu. Meski otoritas Palestina telah menyetujui Inisiatif Arab yang telah disebutkan tadi, tetapi ketika itu pemerintahan Palestina hanya berasal dari satu kelompok yang bercorak Sekular, sementara mereka menginginkan otoritas Palestina yang mewakili kaum Sekular dan Islam, yang sepakat dengan inisiatif tersebut, sehingga yang melakukan penarikan diri dari tuntutan Pelestina yang dicaplok pada tahun 1948 adalah seluruh lapisan penduduk Palestina, dan bukan hanya para penguasa Arab. Inisiatif itu telah menanti waktu selama lima tahun hingga berlangsungnya Kesepakatan Makkah yang menyatakan keharusan untuk terikat, bahkan menghormati berbagai keputusan internasional, KTT Arab dan kesepakatan PLO. Padahal semuanya itu berisi pengakuan kepada negara Yahudi, kemudian dibentuklah Pemerintahan Persatuan Nasional Palestina berdasarkan prinsip ini. Semuanya itu mengindikasikan kesiapan Pemerintahan Persatuan Nasional Palestina untuk menyetujui Inisiatif Arab itu. Sebab, naskahnya tidak jauh berbeda dengan naskah Kesepakatan Makkah, kecuali pada bagian kecil yang dengan mudah bisa dijelaskan. Ketika itu, Amerika memutuskan untuk menghidupkan kembali inisiatif yang sudah lama beku, kemudian diajukan kembali pada KTT Riyadh supaya persetujuan para penguasa Arab terhadap inisiatif yang diputuskan pada KTT Beirut itu benar-benar sempurna dengan adanya persetujuan penduduk Palestina dalam KTT Riyadh, yang direpresentasikan oleh —seperti yang mereka klaim— Pemerintahan Persatuan Nasional Palestina, baik dari kalangan Sekular maupun Islam! Kesepakatan menyeluruh ini merupakan hadiah yang diberikan oleh Neo-Konservatif kepada negara Yahudi melalui berbagai penarikan diri secara bertahap yang diberikan oleh para penguasa dan otoritas tersebut.

Wahai kaum Muslim:

Dalam KTT Beirut tahun 2002, atas nama "Inisiatif Perdamaian Arab", Amerika telah berhasil menjadikan para penguasa Arab itu mencoret kalimat "Palestina yang dicaplok tahun 1948" dari kamus mereka. Pada hari ini, dalam KTT Riyadh, Amerika juga berhasil menambahkan, selain para penguasa Arab itu, juga otiritas Palestina dan pemerintahannya dari kedua faksi, baik Sekular maupun Islam, agar mereka juga mencoret kalimat "Palestina yang dicaplok tahun 1948" ---dari kamus mereka--- dengan persetujuan mereka terhadap keputusan KTT Arab di Riyadh, terutama keputusannya tentang "Inisiatif Perdamaian Arab".

Sesungguhnya mereka telah menjustifikasi penghinaan, penyepelehan dan ketundukan kepada Yahudi melalui persetujuan mereka terhadap inisiatif tersebut. Mereka juga menjustifikasi dengan pernyataan mereka, bahwa dengan inisiatif tersebut mereka akan mengembalikan bagian yang dicaplok pada tahun 1967 dan mendirikan sebuah negara di sana. Dimana mereka —sesuai dengan klaim mereka— tidak mampu memerangi dan mengalahkan Yahudi, serta mengembalikan Palestina.

Sekalipun mereka bohong, dengan klaim mereka itu, sebenarnya kalau mereka mau memobilisir pasukan untuk berperang, dan mengorganisir orang-orang yang mampu sebagai tentara di sana, pasti entitas Yahudi itu bisa dihancurkan. Fakta-fakta peperangan yang sesungguhnya —bukan peperangan konspiratif (rekaan)— dengan Yahudi, meski faktanya hanya sedikit, ternyata membuktikan semuanya itu.

Meski pendudukan atas sejengkal tanah kaum Muslim juga telah mewajibkan adanya mobilisasi pasukan untuk berperang, dan kaum Muslim pun tetap dalam kondisi perang yang sesungguhnya dengan agresor betatapun lama waktunya sampai mereka berhasil mengembalikan jengkal tanah tersebut,
Dan meski penarikan diri dari tuntutan atas Palestina yang dicaplok pada tahun 1948 mendapat imbalan sebuah negara di wilayah Palestina yang dicaplok pada tahun 1967 —bahkan kalau negara ini berhasil didirikan sekalipun— itu merupakan bentuk pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin; yang akan menjerumuskan pelakunya dalam kehinaan di dunia dan azab yang sangat besar di akhirat, kalau saja mereka mengetahuinya.

Meski dengan semuanya itu, bahkan kalau pun kita telah berhasil melampaui semuanya itu, maka Inisiatif Arab tersebut —terlepas dari berbagai tambahan perubahan penarikan diri dan 1000 inisiatif yang serupa— sebenarnya wilayah yang dicaplok tahun 1967, dengan nama dan gambarnya tetap tidak akan pernah bisa dikembalikan. Karena prinsip dasar Yahudi sejak mereka dimasukkan oleh Inggris ke Palestina, kemudian ditancapkan oleh Inggeris dan para anteknya, adalah mereka harus mempunyai sebuah negara di Pelestina. Sejak saat itu, setiap kali Yahudi menyepakati penarikan diri dari sedikit haknya, mereka pun menuntut hak yang lebih besar. Karena mereka paham, bahwa setiap kali mereka melepaskan hak mereka sekali, mereka pasti akan melepaskan hak-hak mereka yang lain, dan setiap mereka melepaskan satu bagian, pasti mereka akan melepaskan bagain-bagian yang lain. Karena itu, mereka mencatat lepasnya satu wilayah sebagai poin untuk kepentingan mereka, kemudian dari sana mereka bertolak ke poin-poin yang lain. Demikianlah seterusnya. Maka, Yahudi itu akan terus mencaplok Palestina lebih dari yang dicaplok pada tahun 1967 selama mereka belum dikalahkan dalam sebuah peperangan, dan selama entitas mereka belum bisa dihancurkan. Karena itu, mereka akan terus menghapus inisiatif tersebut, lebih dari apa yang pernah dihapus, baik dengan menggerogoti perbatasan dengan pembangunan tembok, maupun dengan pembangunan pemukiman.. atau dengan mempersempit isu pengungsi, hingga nyaris sebagian dari mereka, apalagi semuanya, tidak bisa dikembalikan ke Tepi Barat dan Gaza! Atau dengan mengubah wajah al-Quds yang diberikan oleh mereka yang menarik diri agar menjadi bagian dari pinggir kota Abu Dees dan al-Ezariya. Ini pun kalau masih ada. Sementara Yahudi yakin bisa merealisasikannya, sebab pihak yang manarik diri dari tuntutan atas Palestina yang dicaplok tahun 1948, pasti akan menarik diri dari tuntutan atas bagian lain yang dicaplok tahun 1967, tanpa rasa malu sedikitpun kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin.

Siapa saja yang hina, maka kehinaan pun akan mudah menimpanya
Tidakkah luka itu tak pernah lagi mendatangkan rasa sakit bagi mayit?

Sesungguhnya inisiatif yang dihasilkan melalui KTT Riyadh 2007 itu telah merealisasikan satu hal baru bagi Yahudi, melebihi apa yang telah mereka raih pada KTT Beirut 2002. Hal baru ini adalah, bahwa selain KTT tersebut telah berhasil menambahkan penandatanganan para penguasa Arab terhadap dokumen penjualan Palestina tahun 1948 dengan imbalan negara kerdil di wilayah yang dicaplok pada tahun 1967, KTT tersebut juga menambahkan tanda tangan baru, yaitu tanda tangan Pemerintahan Persatuan Nasional Palestina atas nama kaum Sekular dan Islam! Inilah yang diisyaratkan oleh Saud al-Faishal ketika ditanya saat konferensi pers tanggal 25 Maret 2007 tentang hal baru dalam KTT Riyadh tersebut. Dia menegaskan, bahwa ada hal baru, yaitu kesepakatan Pemerintahan Persatuan Nasional Palestina dengan Arab terhadap strategi Arab untuk menyelesaikan perselisihan Arab-Israel.

Wahai kaum Muslim:

Dalam KTT Riyadh para penguasa Arab itu tidak hanya menikam Palestina berkali-kali, yang sebenarnya bukan hal yang baru. Namun, mereka juga telah menambah dengan tikaman-tikaman lain sebagaimana yang ada dalam keputusan mereka:

Mereka, misalnya, telah mendukung pemerintahan sementara bentukan Amerika di Somalia. Padahal, pemerintahan sementara itulah yang memfasilitasi invasi pasukan Ethiopia ke Somalia dengan perintah dan dukungan Amerika. Sementara mereka diam terhadap masalah yang sesungguhnya di Darfur yang telah dimulai oleh Prancis melalui antek-antek militernya di Chad. Kemudian Inggris dan Amerika ikut campur tangan. Mereka juga tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk mengusir pendudukan Amerika di Irak. Bahkan setiap kali kebrutalan agresor itu bertambah, bertambah pula penampakan kasih sayang para penguasa itu kepada Amerika. Demikian halnya mereka membiarkan Lebanon menjadi ajang konflik antara Amerika dan Prancis, sementara para penguasa itu tidak pernah mau menyatakannya, meski dengan suara lirih sekalipun!

Pada saat yang sama, para penguasa Arab itu juga memutarbalikkan fakta. Mereka tidak pernah menyebut sesuatu dengan sebutan yang benar. Namun, mereka menampakkan keputusan mereka sebagai pertolongan, kemenangan dan pembebasan yang gemilang atas Palestina, Sudan, Irak, Somalia dan Lebanon... ! Semoga Allah membinasakan mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?

Wahai kaum Muslim:

Musibah yang menimpa umat ini sebenarnya terletak pada diri penguasa mereka. Penguasa umat inilah yang telah dengan suka rela menikmati kebohongan yang mereka lakukan terhadap publik. Mereka begitu peduli terhadap penyesatan. Mereka juga sangat kreatif dalam memutarbalikkan fakta. Mereka bersaksi atas diri mereka dengan keburukan. Andai bukan karena ayat dalam Kitabullah yang menyatakan:

وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

(Ingatlah) ketika suatu kaum di antara mereka ada yang berkata, "Mengapa kalian menasihati kaum yang akan Allah binasakan atau Allah azab dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab, "Agar kami mempunyai alasan (melepaskan tanggungjawab) kepada Tuhan kalian dan supaya mereka bertakwa. (Q.s. al-A‘raf [7]: 164).

Pastilah kami tidak akan mengeluarkan penjelasan apapun tentang KTT mereka. Tetapi, kami ingin mempunyai alasan kepada Tuhan kami. Mudah-mudahan penjelasan ini akan membangunkan orang yang tertidur, menyadarkan orang yang berkhianat, atau mengembalikan akal orang yang tak tersadarkan.
Allah SWT. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) serta jangan pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang telah dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahuinya. (Q.s. al-Anfal [8]: 27).


1 Rabiul Awal 1428 H
29 Maret 2007

Hizbut Tahrir

KOMENTAR AL-ISLAM:

Amerika: Supremasi Hukum RI Lemah (Hidayatullah.com, 9/4/2007).

Yang kuat di negeri ini adalah intervensi Amerika.

Selanjutnya