17 April 2007

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir ( I )

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir

Beberapa posting dengan judul di atas dapat dijumpai antara lain di sini, di sini, dan di sini dan semuanya berasal dari satu sumber tulisan yaitu karangan Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyiqiyyah

Permulaan artikel ini sendiri berisi ayat Al Quranul Karim yang terjemahannya:
“Dan ketika dikatakan pada mereka supaya jangan berbuat kerusakan di muka bumi ini dengan perbuatannya, mereka berkata ‘tapi kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan’. Tapi sesungguhnya mereka adalah pembuat kerusakan namun mereka tidak menyadarinya” (Al Baqarah 11-12)

Dan dibawahnya disertai sebuah penjelasan
Mereka adalah orang-orang yang berbahaya, karena mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan padahal kenyataannya mereka adalah perusak agama.

Apa maksudnya Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyiqiyyah menukil ayat tersebut + penjelasannya? Seakan-akan ia hendak mengatakan bahwa HT adalah orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah pembuat kerusakan.

Beberapa point penting atas dakwaan Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyiqiyyah antara lain sepertt kutipan berikut ini:

Mereka, orang-orang Hizbut Tahrir, ini mempunyai ciri-ciri yang khas dalam setiap pembicaraannya, diantaranya yaitu selalu mendengung-dengungkan masalah khilafah, Adzab Kubur dan Hadits Ahad (maksudnya adalah mereka menolak adanya adzab kubur dan hadits ahad).

Memang HT selalu mendengungkan dan memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah yang berjalan di atas manhaj kenabian. Khilafah bukan tujuan akhir, namun hanya sebuah metoda atau tariqah demi sempurnanya kewajiban setiap umat Islam untuk melaksanakan semua hukum-hukum Allah di muka bumi. Tentang azab kubur dan hadis ahad… tampaknya ia salah mengartikan posisi HT dalam memahami hadis ahad dan azab kubur.

Tanyakan kepada semua orang HT, apakah mereka mengingkari adanya azab kubur? Atau adakah kitab-kitab HT yang menyerukan setiap pengikut dan anggota untuk mengingkari adanya azab kubur? Tidak ada…

Apalagi mengingkari hadis ahad… masyaallah jika seorang syaikh mengatakan hal seperti itu. Mudah-mudahan beliau mendapat ampunan dari Allah atas kekurangpahamannya. HT tidak menolak adanya hadis ahad. HT memang mendudukkan hadis ahad sebagaimana porsinya, yaitu sebagai dalil Syariat Islam. HT tidak menggunakan hadis ahad dalam masalah akidah. Apakah HT sendirian dalam masalah ini?

Tidak tentu saja. Ada banyak tokoh ulama dan imam mazhab yang berpendapat demikian. Al Khotib Al Baghdaadi Nawaawi Abu hamid Al Ghozali, Al Amidi, Al Bazdawi, As Sam’aani, Al Qosimi syaik Al Azhaar Mahmud Syaltut, Sayid Qutb, Dr. Muhammad Al Ghozali, Dr. Said Ramadlon Al Buthi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Kholaf semuanya mengungkapkan merupakan pihak yang menyatakan bahwa hadis ahad tidak digunakan untuk masalah aqidah. Beberapa ulama lainnya menyatakan pendapat yang sebaliknya seperti Syaikhul Islaam, Taqiyyuddiin Ibn Taimiyah, syaikh madzhab dhohiri Ibnu Hazm, As Suyuti, Ibnu Hajjar sampai Nashiruddiin Al Albani.

Lihat penjelasan yang cukup gamblang di sini

Pendiri Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin An Nabhani. Dia adalah merupakan salah satu cucu dari Yusuf bin Isma’il An Nabhani, yang dia (Yusuf) ini adalah seorang yang sangat berlebihan pada Sufisme. Yusuf Isma’il mempunyai (mengarang) banyak kitab, diantaranya adalah Jami’ Karamatul Awliya’. Kitab ini didalamnya berisi banyak cerita-cerita “yang lucu”, salah satunya adalah Ali Al Amali, jika kita membacanya maka kita akan tertawa sekaligus menangis.

Tanpa mengerutkan dahi pun akan orang akan menarik kesimpulan:
Kakeknya Taqiyudin itu begini-begini (seorang yang sangat berlebihan pada Sufisme) maka pasti 100% Taqiyudin juga seperti kakeknya. Atau dengan kata lain
Mbahnya fulan = pencuri, maka bapaknya fulan = maling, sehingga fulan = maling yang mencuri. Minimal gelarnya adalah cucunya pencuri atau anak maling.

Apa memang begitu? Jika kakeknya Taqiyuddin seorang yang sangat berlebihan pada Sufisme (jika memang benar) apakah pasti Taqiyudin seorang yang juga seperti kakeknya? Hal yang sangat meggelikan tentunya ….

Mereka katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak seharusnya berijtihad. Apakah kamu pernah mendengar hal ini? Bahwa beliau tidak seharusnya berijtihad?.
Maka kita katakan pada mereka, siapa yang paling sempurna satu sama lain yang berhak untuk melakukan ijtihad? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah Taqiyuddin? Dia (Taqiyuddin) adalah majhul atau tidak dikenal, dia bukanlah siapa-siapa. Lalu bagaimana hal itu bisa dikatakan?

Memang dalam salah satu kitab HT, (saya lupa nih, di mana ya?) disebutkan bahwa Nabi Muhammad bukan mujtahid. Sebelum melangkah jauh bersilat lidah, tentu kita harus menyelaraskan apa definisi mujtahid dan ijtihad. Apakah ijtihad itu sama dan sebangun dengan berpendapat? Definisi ijtihad setahu saya adalah “mencurahkan segenap kemampuan dan upaya untuk memproduksi suatu hokum berdasarkan dalil yang rinci”. Maka untuk berijtihad
  • diperlukan banyak ilmu pengetahuan untuk menjadi seorang mujtahid
  • obyek ijtihad haruslah sesuatu yang belum ada hokum syarak yang jelas
  • dasar ijtihad adalah Al Quran, Sunnah, Ijma (shahabat) dan Qiyas
  • Ijtihad mengandung kemungkinan salah
Jika definisi di atas disepakati maka apakah benar Rasulullah SAW berijtihad? Bukankah Rasulullah (perkataan, perbuatan, dan iqrar beliau) sendiri merupakan dasar hukum bagi para mujtahid? “In huwa illaa wahyu (n) yuuha”. Semua yang ada pada diri Rasulullah adalah wahyu dari Allah. Dan Rasulullah tidak mungkin salah. Sedangkan salah adalah salah satu sifat yang dimiliki oleh suatu ijtihad.

Jadi dari sini, (mungkin) HT mengatakan bahwa Rasulullah bukan mujtahid. Tetapi jika yang dimaksud ijtihad adalah ‘hanya’ sekedar berpendapat atau mengeluarkan pikiran, maka semua orang bisa menjadi ‘mujtahid’. Balita pun bisa menjadi mujtahid karena ia dapat mengekspresikan pendapat dan pikirannya.

Jadi sekarang definisi ijtihad mana yang akan dipakai? Dan HT tampaknya menggunakan definiisi ijtihad pertama. Anda? Terserah anda mau pake yang mana.

Aqidahnya, seperti yang telah disinggung sebelumnya, adalah maturidiyah yang merupakan sebuah pemahaman sebuah firqah yang dinisbahkan pada Abu Manshur Al Maturidi, yang memiliki kesesatan yang lebih daripada Asy’ariyah. Dia menyebut a’imah dari firqah tersebut sebagai “Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Dia berkata bahwa kita tidak bisa menerima Al Qur’an sampai terpenuhinya 10 syarat, dan salah satu syaratnya itu adalah Al Qur’an itu harus disesuaikan dengan ‘aql. Ini merupakan perkataannya Ar Razi.
Dia juga menulis dalam kitabnya Asy Syakhsiyyah Al Islamiyyah III/132, yang tulisannya membuktikan akan ke-maturidiyah-annya dan ke-asy’ariyah-annya. Dia men-ta’wilkan beberapa sifat Allah, seperti tangan Allah yang dia artikan sebagai kekuatan atau kekuasaan.
Ada yang mau menanggapi tiga poin di atas? Saya terus terang kurang memahaminya (edit: lihat di sini untuk penjelasannya)

Jika kita membuka kitab Syarh Ushulul Khomsah Al Mu’tazilah halaman 228, disana akan ditemukan perkataan salah satu imam dari mu’tazilah yaitu Al Qadhi ‘Abdul Jabbar, yang berkata bahwa manhaj “ahlus sunnah” adalah meyakini bahwa tangan Allah itu maksudnya adalah kekuasaan atau kekuatan.
Jadi ini ya orang orang pengikut syeikh ini mengatakan bahwa ht adalah muktazilah karena Taqiyudin berpendapat bahwa tangan Allah adalah kekuasaan dan kekuatan? Atau Mu’tazilah judud? Pemahasan tentang siapa muktazilah dan apakah benar HT adalah muktazilah baru dapat dibaca di majalah al wai edisi….? (maaf saya lupa)

5 comments:

Anonymous said...

gilaa yiia...

masih ada aj orang gitu zaman sekarang!!!

g tkut tuh........

sesat banget sih!!!!!!!!!!!!!

tmen ane jdi korban.

cristen said...

ARtikel menyesatkan

cristen said...

ARtikel menyesatkan

Unknown said...

Tulisannya ga berbobot..
Penuh kedengkian dan kedangkalan yg sangat dalam berfikir...

Aisyah M.Yusuf said...

‘Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ
“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, I/379, no. 3600. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan bahwa sanadnya shohih).

Muhammad bin Sirin rahimahullah, ia berkata:
كَانُوْا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى الطَّرِيْقِ مَا كَانُوْا عَلَى الْأَثَرِ
“Orang-orang dahulu mengatakan, sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang lurus) selama mereka meniti atsar (riwayat Salafush Shalih)”. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 36]

Al Auza’i rahimahullah, ia berkata:
اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ , وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ , وَقُلْ بِمَا قَالُوْا وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ , وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَالِحِ فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسَعَهُمْ
“Sabarkanlah dirimu (berada) di atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu (Ahlus Sunnah, Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka katakan. Diamlah apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para pendahulu)mu yang shalih, karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa yang telah melonggarkan mereka”. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri di dalam Asy Syari’ah, hlm. 58; Limadza, hlm. 104].

Dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتِنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ، فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ، أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانُوْا أَفْضَلَ هَذِهِ الأُمَّةِ، وَأَبَرَّهَا قُلُوْباً، وَأَعْمَقَهَا عِلْماً، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفاً، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ، وَإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِيْ آثَارِهِمْ، وَتَمَسَّكْوْا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَدِيْنِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ
“Barang siapa di antara kalian ingin mengikuti sunnah, maka ikutilah sunnah orang-orang yang sudah wafat. Karena orang yang masih hidup, tidak ada jaminan selamat dari fitnah (kesesatan). Mereka ialah sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka merupakan generasi terbaik umat ini, generasi yang paling baik hatinya, yang paling dalam ilmunya, yang tidak banyak mengada-ada, kaum yang telah dipilih Allah menjadi sahabat Nabi-Nya dalam menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak mereka, berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, karena mereka merupakan generasi yang berada di atas Shirâthal- Mustaqîm.”