13 April 2007

Solusi Mengatasi Krisis Pangan

SOLUSI ISLAM DALAM MENGATASI
KRISIS PANGAN

Sejak bulan November tahun lalu, harga beras di pasaran terus mengalami kenaikan. Puncaknya dalam seminggu belakangan, di mana-mana harga beras melonjak. Harga beras di pasaran di atas Rp 6000 sampai Rp 7000 per kg. Masyarakat di beberapa daerah bahkan terpaksa harus memakan nasi aking (nasi basi yang dikeringkan) karena tidak mampu lagi membeli beras.

Operasi Pasar (OP) besar-besaran dan dengan volume tanpa batas pun dilakukan Pemerintah. Untuk menjaga stok nasional sebagai konsekuensi OP tersebut, Pemerintah kemudian melakukan penambahan besaran impor beras sebesar 500 ribu ton. Data stok nasional saat ini memang menurun, dari 1 juta ton menjadi 700.000 ton. Dengan dilakukannya OP sebesar 100.000 ton saja sebulan, stok akan berkurang menjadi 600.000 ton. (Kompas, 13/02/2007).

Efektifkah Operasi Pasar dan Impor Beras?

Dengan melakuan OP besar-besaran, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa harga beras memang berangsur-angsur turun. Pengelola Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta mewartakan, harga beras jenis IR-64 kelas III yang sebelumnya mencapai harga Rp 5.000/kg turun dibandingkan dengan dua hari sebelumnya dengan harga sebesar Rp 5.250/kg. Bahkan secara umum harga beras turun mendekati target Pemerintah Rp 3.700 per kilogram (Radar Bogor, 17/02/2007).

Pada sisi ini, kita menghargai kebijakan Pemerintah tersebut. Namun di sisi lain, tindakan tersebut juga memberikan kesan bahwa Pemerintah tidak memiliki kebijakan atau strategi politik untuk menjaga ketahanan pangan secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
OP dan impor beras adalah solusi sesaat yang sudah lama dipertanyakan efektivitasnya oleh banyak kalangan. OP yang dilakukan sering bocor dan salah sasaran. Fakta di lapangan membuktikan, OP yang digelar Pemerintah di beberapa daerah banyak jatuh ke tangan spekulan dan pedagang beras. Para pedagang yang lebih mengetahui situsi pasar cenderung akan memainkan pasokan yang didapatkan dari OP. Bahkan ada satu hal yang sangat aneh, OP diserahkan kepada pedagang, seperti yang terjadi di Puwokerto, Kabupaten Banyumas beberapa waktu lalu (Kompas, 16/02/2007). Ditambah lagi, banyak keluhan dari konsumen terhadap kualitas beras OP yang dikeluarkan Perum Bulog: apek dan warnanya kuning.
Sejatinya OP dilakuan memang untuk memberikan pasokan yang cukup agar harga di pasaran diharapkan turun. Namun kenyataannya, pasar tidak sepolos dalam teori yang selalu bertumpu pada hukum permintaan dan penawaran. Menurut penelitian Departemen Pertanian, pasar beras cenderung bersifat oligopoli, atau dikendalikan oleh sekelompok pemain tertentu yang menentukan harga. Karenanya, OP dengan sekadar melempar beras dengan volume berapa pun tidak akan efektif, bahkan cenderung berbahaya.

Sementara itu, impor beras yang dilakukan Pemerintah juga merupakan tindakan yang banyak menyimpan persoalan. Selain merugikan para petani lokal dan menyia-nyiakan upaya penelitian yang bertahun-tahun telah dilakukan dalam upaya meningkatkan produktivitas beras, impor beras kali ini merupakan kebijakan yang bertabrakan dengan keputusan Pemerintah sebelumnya. Surat Keputusan (SK) Menperindag No.09 Tahun 2004 yang mengatur impor beras belum dicabut. SK tersebut mengatakan, impor beras tidak boleh dilakukan satu bulan sebelum panen raya, selama panen raya, dan dua bulan sesudah panen raya. Panen raya diperkirakan akan jatuh pada bulan Maret dan April, bertepatan dengan waktu masuknya tambahan impor beras tersebut.

Masalah bertambah rumit ketika nuansa politik ikut menyelimuti perdagangan antar negara ini. Sejarahwan Prof. Onghokham, yang meneliti impor menjelang Pemilu pertama tahun 1955, dalam tulisannya yang dikutip oleh Anreas Maryoto (Kompas, 16/02/2007), menyatakan bahwa menjelang Pemilu kegiatan impor yang dilakukan oleh mereka yang berafiliasi dengan partai politik tertentu cenderung meningkat. Penelitian itu memang tidak mengungkap sejauh mana keterkaitan mereka dengan kebutuhan dana untuk partai tertentu. Akan tetapi, penelitian tersebut mengingatkan kita tentang betapa besar kebutuhan dana untuk menghidupi partai politik, dan beras merupakan komoditas yang mudah dicairkan menjadi dana segar.
Perlu juga dicatat, naiknya harga beras tidak semata-mata disebabkan stok beras yang menurun. Lemahnya distribusi di lapangan dan permainan para pedagang beras harus lebih diseriusi untuk segera ditindak. Menteri Pertanian Anton Apriyanto keheranan terkait dengan sistem distribusi dan tataniaga beras. Pada Januari 2007 tercatat defisit (kekurangan) 1.5 juta ton akibat kemarau panjang akhir 2006. Pada Februari terjadi defisit (kekurangan) 377.000 ton. "Namun anehnya, tidak ada yang kelaparan. Padahal kurangnya hampir 2 juta ton. Ini mengindikasikan ada pihak yang mengeluarkan beras sedikit-sedikit agar harga naik." (Kompas, 14/02/2007).

Mendudukkan kembali Bulog sebagai lembaga yang menjaga kestabilan harga beras dan gabah petani perlu dilirik. Direktur Akademik Manajemen dan Bisnis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar mengatakan, Bulog perlu dikembalikan pada fungsi semula, yakni sebagai penjaga kestabilan harga dan pendapatan petani. Pasalnya, status Bulog sebagai perusahaan umum (Perum) selama ini memiliki motivasi meraih keuntungan. (Pikiran Rakyat, 17/02/ 2007).

Islam dan Politik Ketahanan Pangan

Melihat konsumsi terhadap beras yang setiap tahun terus meningkat, Pemerintah jelas harus memiliki strategi yang jelas demi ketahanan pangan nasional. Strategi ini tidak cukup hanya ditangani oleh suatu Departemen, misalnya Departemen Pertanian. Perlu penangan dan kerjasama antar departemen. Apalagi dengan adanya berbagai kendala alam yang akan dihadapai dalam mencapai target tersebut. Departemen Pertanian memperkirakan penurunan produksi tahun ini mencapai 370.000 ton sebagai dampak banjir. Banjir pada musim tanam pertama dan kekeringan pada musim tanam kedua merupakan ancaman yang cukup merisaukan.

Lalu bagaimana Islam memberikan jawaban dalam masalah ini? Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mustlâ mengungkapan, dalam Islam, pada dasarnya politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Untuk hal ini bisa ditempuh dua jalan. Pertama: dengan jalan intensifikasi (peningkatan produksi), seperti melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produktivitas tanah. Kedua: dengan ekstensifikasi (perluasan), seperti menambah luas area yang akan di tanam.

Intensifikasi pertanian dapat dicapai dengan menggunakan obat-obatan, penyebarluasan teknik-teknik modern di kalangan para petani, dan membantu pengadaan benih serta budidayanya, termasuk melakukan bioteknologi untuk bidang pertanian. Salah satunya adalah bioteknologi transgenik, yakni dengan menghasilkan varietas yang lebih unggul. Indonesia saat ini telah berhasil membuat wortel, tomat, dan lainnya dengan teknologi ini. Karenanya, Pemerintah harus memberikan pasokan modal yang cukup. Hitung-hitungannya memang tidak jangka pendek seperti dagang. Namun, inilah strategi paling pokok dan jitu dalam menegakkan politik ketahanan pangan. Dalam strategi ini, melakukan impor besar adalah tindakan yang kontraproduktif. Intensifikasi pertanian ini semakin serius ketika kita berhadapan dengan konversi lahan pertanian ke penggunaan lain yang kian mengkhawatirkan. Dari data Departemen Pertanian, lahan sawah setiap tahunnya berkurang sekitar 40 ribu hektar hingga 100 ribu hektar pertahun. (Republika, 15/02/2007).

Adapaun ekstensifikasi pertanian bisa dicapai dengan mendorong agar masyarakat menghidupkan tanah yang mati. Caranya, Pemerintah memberikan tanah secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, Pemerintah harus mengambil tanah secara paksa dari orang-orang yang menelantarkannya selama tiga tahun berturut-turut. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda:

«مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ»

Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah ia memberikan kepada saudarnya. Apabila ia mengabaikannya, hendaklah tanahya diambil. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Masalah klasik para buruh petani yang tidak memilik lahan yang luas untuk berproduksi, insya Allah, akan terjawab dengan menjalankan titah Baginda Rasul ini.
Supaya lebih strategis, kebijakan politik pertanian ini harus dipadukan dengan strategi politik industri. Sebab, berbicara tentang peningkatan produktivitas pertanian, mustahil kita menafikan adanya mekanisasi pertanian yang dihasilkan dari mesin-mesin pertanian produk industri.

Syaikh al-Maliki menyebutkan, politik industri ditegakkan untuk menjadikan suatu negara sebagai negara industri. Menjadi negara industri bisa ditempuh satu jalan saja, yakni dengan menciptakan industri alat-alat (industri penghasil mesin) lebih dulu, termasuk peralatan mesin mekanisasi pertanian. Selama berbagai peralatan pertanian kita masih bergantung pada Barat, selamanya pula Barat terus berkesempatan untuk mendikte dan menguasai kita.

Wahai kaum Muslim:

Selamanya mengandalkan solusi reaktif dan sesaat seperti Operasi Pasar dan impor beras tidak akan pernah mengeluarkan kita dari kemelut masalah pangan, termasuk masalah harga beras. Strategi politik pertanian dan industri yang ditawarkan Islam, selain sangat berpihak kepada masyarakat secara umum, juga menjadikan kita bisa terlepas dari cengkeraman dan penguasaan Barat. Persoalannya hanya tinggal kemauan semua pihak, baik rakyat maupun penguasa, untuk benar-benar menerapkan politik ketahanan pangan yang sebetulnya telah digariskan di dalam syariah Islam.

Walhasil, kuncinya adalah satu, yakni segera kembali pada aturan-aturan Islam. Lagi-lagi, di sinilah pentingnya penguasa negeri ini untuk segera menerapkan syariah Islam secara total dalam kehidupan, termasuk dalam bidang pertanian. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

KOMENTAR AL-ISLAM:

Wapres: Target Privatisasi BUMN Tiga Tahun jadi 69 BUMN (Republika, 19/02/2007).

Privatisasi (penjualan) BUMN selama ini terbukti merugikan rakyat. Masihkah Pemerintah tega menzalimi rakyat?

No comments: