24 April 2007

Kaidah "Al Umuuru Bi Maqaashidiha"

Kaidah Syar'iyyah adalah hukum syar'iyyah yang diistinbathkan dari dalil syara' yang terperinci. Kaidah syara' berbeda dengan dalil syara'. Dalil syara' adalah al-kitab, sunnah, ijma' shahabat, dan qiyas. Dari kaidah syar'iyyah diperoleh hukum syara' yang bersifat juz-'iyyah. Akan tetapi, baik kaidah syar'iyyah maupun hukum syara' harus selalu disandarkan kepada sumber tasyri'iyyah yang diakui (dalil).

Dengan demikian, sebuah kaedah tidak dianggap sebagai kaidah syara' kecuali shahih istinbathnya, serta rinci susunannya. Misalnya, kaidah "Al-wasiilat ila al-haraam muharramah" (wasilah menuju ke haraman adalah diharamkan), atau kaidah "Kullu syai' mu'ayyan yuaddiy ila al-dlarar al-muhaqqaq fa huwa haraam" (segala sesuatu yang mengantarkan kepada bahaya secara pasti (muhaqaq) adalah haram).

Ini adalah kaidah syar'iyyah. Dari kaidah-kaidah ini dibangun hukum-hukum syara' yang bersifat juz'i (parsial) yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara'.

Untuk memahami kaidah dan manath (sandaran hukum)-nya, terlebih dahulu harus dibahas dalil atau penunjukkan yang digunakan sebagai sandaran proses istinbath kaidah tersebut.

Kaidah "Al-ashl fi al-asyya' ibaahah" (Asal dari segala sesuatu adalah mubah), tanpa merujuk kepada dalilnya, kemungkinan akan dipahami bahwa asal dari urusan atau perbuatan manusia adalah mubah, dan seluruh perbuatan yang tidak disebutkan dalilnya adalah mubah. Padahal hal ini jelas bertentangan dengan hukum syara' dan tidak sesuai dengan maksud kaidah ini. Sebab, dalil dari kaedah ini hanya berhubungan dengan benda, bukan perbuatan manusia. Allah swt berfirman :
"Dialah Allah, yang menciptakan bagi apa-apa yang ada di permukaan bumi seluruhnya" (Al-Baqarah : 29)
"Telah dihamparkan (diberikan) bagi kamu apa-apa yang ada di langit dan di muka bumi)" (Luqman : 20)

Walhasil, manath (sandaran hukum) kaidah ini adalah benda, bukan perbuatan. Langit, bumi, dan seluruh yang ada di dalamnya, yakni laut, sungai, barang tambang, tumbuhan, hewan dan sebagainya telah diciptakan al-Khaliq untuk kita. Kesemuanya adalah mubah, kecuali yang diharamkan oleh Allah (al-syaari' al-haakim).

Atas dasar itu lahirlah kaedah :
"Al-ashl fi al-asyya' al-ibahah ma lam yarid dalil al-tahriim" (Asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkan).

Kaidah syar'iyyah biasanya bersifat umum dan mengandung lafadz-lafadz umum atau kulliyah (menyeluruh)

Kaedah ‘al-‘Umuur bi Maqaashidiha”

'Ulama sepakat bahwa dalil yang digunakan istinbath adalah hadits masyhur Nabi SAW, "
"Sesungguhnya perbuatan itu tergantung dari niatnya". Kaedah di atas seakan-akan hadits itu sendiri. Ini disebabkan lafadz-lafadznya mutaradif.

Lafadz al-umuur adalah bentuk jama' dari kata amr, yang berarti seluruh 'amal. Allah SWT berfirman, "Wa ma amara fir'auna bi rasyiid". Ayat di atas bersifat umum meliputi semua perkataan dan perbuatan Fir'aun.

Allah juga berfirman, "Wa syaawirhum fi al-amri". Kata al-amr di sini bermakna umum, yakni pada semua perkara yang mereka kehendaki.

Al-Maqshud bermakna niat. Di dalam kamus bahasa Arab dinyatakan , "nawa al-syai' yanwiiyah niiyat wa takhfif : qashadahu; maksudnya : bermaksud/berkehendak.

Akan tetapi, kaedah ini sering disalahartikan oleh sebagian orang. Mereka berpendapat bahwa benar atau tidaknya seluruh perbuatan semata-mata ditentukan oleh niatnya. Akibatnya, ada seorang wanita yang menanggalkan busana muslimahnya, namun tidak merasa berdosa. Alasannya, ia menanggalkan busana muslimahnya dengan niat menghormati orang tua dan kawannya. Seorang merasa tidak bersalah ketika melacurkan diri. Sebab, perbuatan itu diniatkan untuk membantu perekonomian rumah tangganya.

Sekelumit fakta di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa kaedah ini tidak lagi dipahami sebagaimana mestinya. Bahkan, pemahaman terhadap kaedah ini telah keluar dari dalil yang membangunnya.

Sebagian lagi memahami, bahwa asal dari perbuatan manusia itu tergantung dari niatnya. Jika niatnya baik, maka perbuatan itu diperbolehkan –meskipun jelas-jelas bertentangan dengan nash syara’.

Oleh karena itu, kita mesti memahami terlebih dahulu manath (sandaran hukum) dari kaidah ini.

Asal dari kaedah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari 'Umar bin Khatthab ra, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda," Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya dan setiap amal akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah karena dunia yang ingin diraihnya, atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan mendapat imbalan) sebagaimana yang diniatkan".

Latar belakang historis dari sabda Nabi SAW di atas telah dituturkan oleh al-Hafidz al-Suyuthi dari Zubair bin Bakar :
“Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin al-Hasan dari Mohammad bin Thalhah bin 'Abd al-Rahman dari Musa bin Mohammad bin Ibrahiim bin Harits dari bapaknya, ia berkata," Ketika Rasulullah sampai ke Madinah, dan para shahabat dalam kondisi letih, datanglah seseorang laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita, dimana wanita tersebut turut berhijrah. Lalu, Rasulullah duduk di atas mimbar dan bersabda, "Wahai manusia, sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya (diulang tiga kali). Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah karena kepentingan dunia yang hendak diraihnya, atau wanita yang hendak dikhithbahnya, maka hijrahnya akan mendapat imbalan sebagaimana yang diniatkan…”

Al-Hafidz al-Suyuthi menyatakan bahwa hadits di atas berhubungan dengan kisah hijrahnya Ummu Qais. Telah diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur di dalam sunannya dengan sanad berdasar syarat oleh Syaikhani --Bukhari dan Muslim-- dari Ibnu Mas'ud, "Barangsiapa berhijrah untuk mendapatkan sesuatu maka baginya adalah sesuatu tersebut". Ibnu Mas'ud berkata: "Kami menamakannya Muhaajir Ummu Qais. "

Al-Hafidz Abu 'Abbas Al-Qurthubiy di dalam kitabnya "Al-Mufahham Lima Asykala 'an Talkhiish Kitaab Muslim" menyatakan," Dzohirnya, lelaki itu berhijrah karana niat untuk mendapatkan wanita. Ia tidak berniat untuk hijrah secara syar'iyyah (hijrah ke Medinah), namun ia bersikeras turut hijrah karena sesuatu yang ingin dia dapatkan.."

Topik pembahasan dari hadits-hadits di atas --kaidah ini-- adalah perolehan pahala dari Allah SWT yang akan diterima oleh seorang hamba, ketika ia melaksanakan perintah Allah swt, atau melaksanakan perbuatan yang baik (shalih).

Hijrah adalah kewajiban (fardlu). Setiap orang harus berhijrah untuk melaksanakan perintah Allah swt. Sebab, setiap muslim harus menjunjung tinggi hukum-hukum Allah. Adapun perhitungan pahalanya di sisi Allah tergantung dari niatnya. Muhajir Ummu Qais tidak memiliki niat semacam itu. Ia berhijrah karena seorang wanita yang hendak dinikahinya. Oleh karena itu, ia tidak terhitung orang Muhajirin yang mendapat pahala dari sisi Allah, walaupun perbuatan itu sendiri adalah hijrah. Sebab, hijrahnya diniatkan bukan mencari ridlo Allah swt.

Seorang lelaki yang berdagang untuk terhindar dari penipuan, tidak tercatat amalnya di catatan amal yang baik, kecuali --niat dia- terhindar dari penipuan tersebut karena mencari ridlo Allah SWT. Adapun jika niatnya adalah untuk mempromosikan dagangannya, atau untuk melariskan dagangannya maka ia akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Akan tetapi, dia tidak mendapatkan pahala menjauhkan diri dari perkara yang haram.

Orang jujur supaya dikatakan sebagai orang yang jujur, maka dia akan mendapatkan balasan sekadar dengan niatnya, dan dia tidak mendapatkan pahala dari kejujurannya, malah dia akan mendapatkan siksa. Sebab, perbuatan tersebut tidak disandarkan ikhlash karena Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dalam shahih Muslim,
"Sesungguhnya manusia pertama kali yang diadili di hari akhir adalah lelaki yang bersaksi bahwa ia berjuang di jalan Allah, kemudian membawa amalannya itu nya di hadapan Allah swt. Allah mengetahui dan dia mengetahui. Kemudian, Allah bertanya, " Untuk siapa kamu melakukan hal itu?". Lelaki tersebut menjawab, "Sesungguhnya saya berperang karena Engkau.” Allah berfirman, "Bohong, sesungguhnya kamu berperang agar kamu dikatakan pemberani. Kemudian lelaki itu dihisab dan dilemparkan ke neraka. Kedua, lelaki yang diluaskan rejekinya oleh Allah dan menginfaqkan hartanya. Lalu, ia membawanya di hadapan Allah. Dia mengetahui dan Allah mengatahuinya. Allah bertanya, "Untuk siapa kamu melakukan hal itu?". Lelaki tersebut menjawab, "Tidaklah aku berinfaq kecuali karena Engkau." Allah berfirman, " Bohong!", kamu melakukan hal tersebut supaya kamu dikatakan dermawan”. Allah memerintahkan untuk menghisab amal lelaki tersebut, sampai kemudian dia dilemparkan ke neraka. Ketiga, seorang lelaki yang belajar ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al-Quran. Lelaki itu kemudian membawa amal tersebut di hadapan Allah. Dia mengetahui dan Allah pun mengetahuinya, . Allah bertanya, "Untuk siapa kamu melakukan hal itu?". Lelaki itu menjawab, " Saya belajar dan mengajarkan ilmu, dan membaca Al-Quran demi Kamu." Allah berfirman, " Bohong!". Sesungguhnya kamu mengajar agar kamu dikatakan orang 'alim, dan kamu membaca Al-Quran agar dikatakan qari'. Kemudian Allah memerintahkan untuk menghisab lelaki tersebut, sampai kemudian ia dilemparkan ke neraka."

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak butuh sekutu, barangsiapa mengerjakan perbuatan dengan sekutu selain dengan Aku, maka Aku tolak, dan Aku terlepas darinya."[HR. Muslim]

Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa belajar suatu ilmu dengan tujuan tidak mencari ridlo Allah, sesungguhnya, dia tidak belajar kecuali untuk mendapatkan tujuan dunia; dan dia tidak akan mendapatkan surga di hari Kiamat". (Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).

Hadits, "Sesungguhnya amal tergantung dari niatnya," masih membutuhkan suatu perkiraan makna (taqdir). Sebab, di dalam redaksi hadits tersebut terdapat ‘alaqat (hubungan) pada lafadz jaar dan majruur). Taqdir dari hadits tersebut (perkiraan ma'nanya), wa al-Allahu a'lam (Allah yang lebih tahu) adalah, " Semua perbuatan diterima berdasar niatnya, dan seseorang memperoleh balasan pahala berdasarkan apa yang diniatkannya."

Imam Nawawiy, berkata di dalam syarah Shahih Muslim,"Ma'na hadits itu adalah, perbuatan dihitung berdasarkan niatnya. Suatu perbuatan tidak dihitung bila tidak disertai dengan niat".
Dengan demikian, hadits tersebut menjelaskan dengan sangat jelas bahwa, niat tidak bisa menetapkan hukum halal haram atas suatu perbuatan. Di samping itu, niat juga tidak berkaitan dengan al-shihah (sah), al-buthlan (bathil), dan al-fasad (rusak). Dengan kata lain, niat tidak berhubungan dengan hukum atas suatu perbuatan, baik taklifiy maupun wadl’iy.

Contohnya, meskipun seorang lelaki berniat menthalaq isterinya, akan tetapi jika ia tidak mengucapkannya, maka thalaq tidak akan terjadi. Akan tetapi, seandainya ia mengucapkan thalaq, walau tanpa niat, maka thalaq telah jatuh. Sebab, di dalam syara', lafadz itu mewakili ma'na (maksud) yang dituju."

Contoh yang oleh sebagian 'ulama dimasukkan ke dalam pengertian hadits tersebut dalam menetapkan hukum atas perbuatan adalah, "Barangsiapa menyembelih dengan niat untuk dimakan, maka sembelihannya halal. Namun jika sembelihannya ditujukan kepada selain Allah, maka sembelihannya haram untuk dimakan. Sebab, binatang itu disembelih untuk selain Allah."

Dalam kasus semacam ini, niat menentukan status halal dan haram suatu perbuatan.
Contoh yang lain adalah kasus pembunuhan. Sanksi atas pembunuhan ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Allah telah menetapkan hukum syara' atas pembunuhan tidak disengaja, berbeda dengan pembunuhan yang disengaja.

Pada luqathah, syara' memerintahkan orang yang menemukan suatu barang untuk mengumumkannya. Barangsiapa menemukan barang, kemudian mengumumkannya, walaupun ia niatkan untuk dia miliki sendiri, maka ia tidak berdosa. Namun, jika ia tidak mengumumkan, dan tidak mengembalikan kepada pemiliknya, atau mengingkari setelah pengumumannya, maka ia berdosa.

Dalam hal pemutusan hubungan silaturahim, jika seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, karena suatu kesibukan atau semisalnya, maka ia tidak berdosa. Sebab, pada kondisi semacam ini tidak dinamakan memutuskan hubungan, sedangkan pengharaman hanya berkaitan dengan pemutusan hubungan.

Ibnu Hajar al-'Asqalaaniy berkata dalam syarah suatu hadits,"Sebagaimana jika seorang laki-laki berniat untuk membunuh seorang muslim tanpa ada alasan yang hak, misalnya dengan mengacungkan pedangnya, maka perbuatan mengacungkan pedang kepada saudaranya muslim itu, tetap berhukum boleh, meskipun niatnya salah. Atas dasar itu, pengharaman pembunuhan tidak ditentutkan oleh niat yang rusak."

Walaupun hadits ini umum dan berfaedah membatasi, namun ia umum pada konteks kejadian (maudlu' hadits), bukan umum mencakup segala sesuatu . Tidak bisa dikatakan, al-'ibrah bi 'umuum al-Lafdz wa laa bi khushuush al-sabab". Imam Ibnu Taimiyyah berkomentar atas asbab nuzuul hadits di atas, "Sesungguhnya kaedah di atas hanya khusus berlaku bagi orang yang sejenis, dan 'umum bagi setiap orang yang sejenis dengan orang tersebut. Akan tetapi, ia tidak umum menurut pengertian lafadz". Dalam Kitab al-Mufahham lima Asykala min Talkhiish Kitaab Muslim, dikatakan, "Keumuman hadits di atas hanya berhubungan dengan perbuatan taat yang telah diperintahkan oleh Allah swt”

Seandainya pengertian hadits di atas adalah umum dan mencakup semua perbuatan dan perkataan, dan tidak terikat dengan mengerjakan perintah dan meninggalkan laranganNya, tentunya semua perbuatan bisa dibenarkan asalkan niatnya baik.

Dengan kata lain, jika hukum atas seluruh perbuatan ditentukan berdasarkan niatnya, dan seluruh amal dihisab sejalan dengan niat pelakunya, maka, benarlah kaedah yang menyatakan, "al-ghaayah tubarriru al-wasiilah" (tujuan menghalalkan cara).

Walhasil, pencurian halal, jika pelakunya berniat untuk membantu orang-orang faqir dan yang membutuhkan. Bid'ah tercela dibenarkan, jika niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Zina mubah jika diniatkan untuk menarik musuh kaum muslimin ke dalam barisan pasukan Islam. Berdusta atas nama Rasulullah saw boleh jika niatnya untuk mendorong manusia agar teguh memegang agamanya. Membuat hadits palsu boleh jika maksudnya menyeru manusia kepada keutamaan amal.

Padahal, perbuatan-perbuatan semacam ini akan menjatuhkan pelakunya ke dalam dosa yang sangat besar. Dalam sebuah hadits mutawatir, Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka telah dipersiapkan tempat duduknya di neraka". Bahkan, menurut para ‘ulama hadits, hadits maudlu' (fabricated) dianggap sebagai hadits yang paling berbahaya. "Orang-orang yang membuat hadits ada beberapa golongan. Paling besar bahayanya dari mereka adalah orang yang ingin meraih zuhud, kemudian membuat hadits sesuai dengan apa yang mereka rasakan." Kemudian masyarakat menerima hadits bikinan mereka itu, sebagai suatu kebenaran dan dijadikan rujukan oleh masyarakat." "Mereka tersesat, dan menyesatkan" .

Atas dasar itu, hukum atas suatu perbuatan tidak ditetapkan berdasarkan niat . Sebab, kaedah tersebut bukanlah dalil syara’. Selain itu, syara’ telah menetapkan status hukum atas perbuatan berdasarkan nash-nash yang umum maupun khusus.

Selain itu, pengertian hadits di atas tidak akan pernah keluar dari dua makna berikut ini: Pertama, kadang-kadang ada perbuatan telah ditetapkan hukumnya berdasarkan indikasi yang terdapat di dalam nash syara’. Dalam kondisi semacam ini, ketetapan (hukum) diambil dari qarinah yang ditunjukkan oleh nash syara’, bukan berdasarkan niat orang yang melakukannya. Contohnya, orang yang menemukan barang temuan, namun tidak mengumumkannya. Dalam kondisi semacam ini orang menemukan barang tersebut berdosa, sebab ia tidak mengumumkan barang temuannya. Kedua, kadang-kadang ada perbuatan yang disandarkan kepada niat dan sumpah pelakunya. Ketetapan hukum dalam kondisi semacam ini --dalam kehidupan dunia-- disandarkan pada sumpahnya bukan pada niat dan maksudnya. Dengan kata lain, perbuatan tersebut dihukumi berdasarkan sumpahnya. Adapun mengenai hisabnya diserahkan kepada Allah swt. Qadli akan menghukumi pelaku berdasarkan aspek-aspek yang tampa saja. "Siapa yang bersumpah dengan suatu sumpah, yang dengan sumpah itu ia memotong harta seorang muslim, maka ia adalah pendosa. Kelak ia akan menemui Allah, sedangkan Allah sangat murka kepadanya." [HR. Imam Ahmad dan Sittah, dinukil dari kitab al-Bayan wa al-Ta'rif].

Pada dasarnya, niat atau maksud seseorang tidak seorangpun yang tahu, kecuali pelakunya sendiri. Sebab, ia adalah orang yang paling tahu terhadap dirinya sendiri, dan yang paling memahami kehalalan dan keharaman perbuatannya. Allah swt berfirman, "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya."(al-Qiyamah:14-15).

Oleh karena itu, jika seorang kafir melindungi seorang muslim, kemudian datang muslim yang lain dan memanahnya, hingga seorang muslim itu terbunuh; maka bila niatnya ditujukan untuk membunuh orang muslim, maka Allah murka dan mela'natnya. Allah akan menimpakan siksa yang pedik kepadanya. Akan tetapi, jika niatnya diarahkan untuk membunuh orang kafir, maka dirinya tidak terkena dosa. Atas dasar itu, hukum di akherat berbeda dengan hukum di dunia.
Para ‘ulama sendiri telah berbeda pendapat dalam menafsirkan hadits di atas. Akan tetapi, mereka tidak berbeda pendapat dalam dua hal.

Pertama, perbuatan yang diharamkan syara' tidak menjadi halal karena adanya niat yang baik. Tidakkah anda memperhatikan firman Allah swt, Katakanlah, "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (al-Kahfi:103). Ayat ini tidak hanya khusus bagi orang kafir saja. Sebab al-dzunub di sini adalah suatu sifat yang mensifati mereka. Oleh karena itu, ayat ini umum mencakup semua orang yang disifati dengan sifat tersebut. Imam Thabariy dalam tafsirnya setelah menjelaskan berbagai pendapat tentang ayat tersebut, menyatakan, "Menurut kami, pendapat yang benar dalam hal ini adalah; setiap orang yang mengerjakan suatu perbuatan akan mendapatkan balasan. Ada sebagian yang menyangka bahwa perbuatannya ditujukan untuk taat dan mencari ridlo Allah, padahal perbuatannya di sisi Allah, adalah kema'shiyyatan. Oleh karena itu, siapa saja yang menempuh jalannya ahli iman, akan mendapatkan balasan."

Al-Raziy menyatakan dalam tafsirnya Mafaatih al-Ghaib, "Pada dasarnya, ada orang yang mengerjakan suatu perbuatan yang ia sangka suatu ketaatan, padahal, perbuatan itu adalah kema'shiyatan."

Dalam menafsirkan firman Allah swt, "yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia". (Al-Kahfi:104), Imam Thabariy menyatakan, "Mereka adalah orang-orang yang mengerjakan perbuatan di dunia tanpa bersandar kepada petunjuk (Islam) dan istiqamah. Perbuatan mereka hanya bersandar pada dosa dan kesesatan." Mereka berbuat tidak berdasar apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, akan tetapi berdasar atas kekafiran mereka.” Adapun firman Allah swt "Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (al-Kahfi:103), Imam Thabariy mengatakan, "Mereka menyangka bahwa perbuatan mereka adalah untuk Allah, dan merasa beribadah kepada Allah dengan sungguh-sungguh akan tetapi sesungguhnya perbuatan mereka tidak mendapatkan nilai di sisi Allah swt.

Beliau menambahkan lagi, "Timbangan amal mereka tidaklah dinilai sama sekali. Sebab, timbangan (amal) dihitung berdasarkan amal sholeh. Padahal, mereka tidak memiliki satupun amal sholeh yang bernilai di dalam timbangan (amal) mereka. "

Penafsiran semacam ini senada dengan apa yang dipahami oleh Imam 'Ali bin Abi Thalib ra. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, Ibnu Kiwa' salah seorang Khawarij bertanya tentang amal yang merugi. Kemudian Imam Ali berkata kepadanya, "Kamu dan pengikut kalian."

Walhasil, niat bukanlah tolok ukur untuk menentukan hukum atas suatu perbuatan. Yang digunakan sebagai tolok ukur adalah amal sholeh yang sesuai dengan apa yang disyari'atkan Allah swt dan niat yang ikhlash. Allah berfirman pada penutup surat al-Kahfi," Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (al-Kahfi:109). Seluruh amal wajib berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah swt yang dibangun di atas idrak shillat bi al-Allah (hubungan dengan Allah swt).

Telah disepakati oleh para 'ulama kaum muslimin bahwa setiap pendapat, perkataan, qiyas, atau ijtihad yang bertentangan dengan syara' dan bertentangan dengan nash-nash syara' yang qath'iy (pasti) tertolak dan tidak boleh diamalkan.

Namun demikian, para propagandis pembaruan agama dewasa ini dan para pengusung bendera pembaruan telah menggunakan kaedah ini untuk menghalalkan yang haram; menjilat para penguasa, orang-orang munafiq dan lain-lain. Padahal, nash-nash syar'iyyah yang qath'iy telah mengharamkan perbuatan-perbuatan tersebut. Dalam kitab al-Muwafaqaat, bagian II, hal. 236 Imam Syatibiy, ketika berkomentar mengenai hubungan antara perbuatan dengan niat, menyatakan, "Kadang-kadang ada perbuatan yang bertentangan dengan syari’at namun niatnya baik. Pada kondisi semacam ini, perbuatan tersebut kadang-kadang dilakukan berdasarkan pemahaman yang salah atau karena kebodohan. Jika seseorang mengerjakan perbuatan salah karena pemahaman yang salah, maka hal ini disebut bid'ah. Misalnya, ada orang yang membuat peribadatan baru, menambah-nambah apa-apa yang telah disyari'atkan oleh Allah swt. Sesungguhnya bid’ah tidak akan terjadi kecuali karena banyaknya penafsiran yang menyimpang. Padahal bid’ah adalah perkara yang tercela menurut al-Quran dan Sunnah."

No comments: