09 April 2007

UMAT MENOLAK PORNOGRAFI-PORNOAKSI

Buletin AL Islam Edisi 339

UMAT MENOLAK PORNOGRAFI-PORNOAKSI
Tapi Pengadilan Bertindak
Setengah Hati

Persidangan kasus penerbitan Majalah Playboy di PN Jakarta Selatan, dengan terdakwa Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Erwin Arnada, tiba-tiba berjalan secara tertutup. Masyarakat luas tidak boleh melihat secara bebas dan transparan proses peradilan seputar majalah yang menebarkan gambar, opini dan hal-hal yang menyangkut pornografi dan pornoaksi.

Dua persidangan awal dengan agenda pembacaan surat dakwaan dan pemeriksaan saksi dilangsungkan secara terbuka. Namun, persidangan selanjutnya, yakni pemeriksaan saksi-saksi, dilakukan secara tertutup. Ketua Majelis Hakim, Efran Basuning, PN Jakarta Selatan bersikukuh, persidangan dilakukan secara tertutup, dengan alasan, kasus ini sesuai dakwaan yang diajukan JPU yang menerapkan Pasal 282 ayat (1) dan (3) KUHP, yakni termasuk tindak pidana kesusilaan sehingga harus dilaksanakan secara tertutup. Majelis juga mendasarkan sikapnya pada ketentuan Pasal 153 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan: Untuk keperluan pemeriksaan hakim, ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

Sebagaimana tertuang dalam surat No. W10.D3.Hn.01.10-4338, Ketua PN Jakarta Selatan Andi Samsan Nganro menegaskan, bahwa persidangan kasus Majalah Playboy dilakukan secara tertutup kecuali pada tahap pembacaan surat dakwaan, tuntutan (requisitor), pembelaan (pledoi), replik/duplik dan putusan. Khusus mengenai pemeriksaan saksi pertama pada 14 Desember 2006 yang dilakukan secara terbuka, Andi menyampaikan bahwa berdasarkan penjelasan ketua majelis, hal tersebut dilakukan karena kelupaan atau khilaf. Untuk meluruskan kekeliruan ini, pemeriksaan saksi diulang secara tertutup pada 28 Desember 2006.

Sungguh, alasan yang dikemukakan oleh majelis hakim terasa naif. Perkaranya adalah penerbitan majalah yang mengeksploitasi pornografi, bukan seseorang yang melakukan tindakan asusila terhadap orang lain, sebagaimana halnya pelecehan seksual atau pemerkosaan. Persoalan Majalah Playboy yang terus terbit setiap bulan itu merupakan masalah publik. Upaya menyebarkan kepornoan di tengah masyarakat terkait dengan masyarakat, bukan terkait dengan persoalan pribadi. Karenanya, pengadilannya pun harus dapat disaksikan oleh publik dan terbuka untuk umum. Jika permasalahan publik seperti ini diadili secara tertutup, jangan salahkan jika masyarakat dapat membaca dengan jelas, bahwa pasti dalam pengadilan tersebut 'ada apa-apanya'. Apalagi, kasus tersebut sebelumnya dilakukan terbuka, tetapi tiba-tiba dalam proses berikutnya dinyatakan tertutup.

Hal ini dipertegas dengan penjelasan T. Nasrullah, pengajar hukum acara pidana FHUI. Beliau berpendapat bahwa kasus Majalah Playboy memang seharusnya dilakukan secara terbuka. Menurut Nasrullah, kasus ini bukan tindak pidana kesusilaan biasa, walaupun pengaturannya berada di Bab Tindak Pidana Kesusilaan, sehingga seharusnya terbuka. Menurut Nasrullah, harus dibedakan antara melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan dan mempublikasikan perbuatan tersebut. Memang ini adalah sesuatu yang aneh. Adakah intervensi dari pihak-pihak yang mempunyai kapital maupun kekuasaan? Apakah benar telah terjadi praktik suap dan sejenisnya untuk memuluskan proses persidangan? Atau mungkin ada upaya busuk untuk membebaskan pelakunya?

Penolakan Umat

Keberadaan Playboy tidaklah mulus. Sejak awal rencana penerbitannya, umat tegas menolaknya. Berbagai aksi, seminar, curah gagasan secara tegas menunjukkan penolakan. Aksi sejuta umat yang berlangsung di Jakarta tanggal 21/5/2006 yang digalang oleh Majelis Ulama Indonesia di-support secara penuh oleh berbagai organisasi, lembaga, gerakan, bahkan partai politik. Lebih dari satu juta umat ketika itu memadati Jakarta. Bahkan ketua DPR dan Ketua Pansus RUU Anti Pornografi-Pornoaksi pada aksi tersebut turun langsung menyampaikan penolakannya terhadap pornografi-pornoaksi. Penolakan bukan hanya muncul dari kalangan Islam, tetapi juga muncul dari agama lain seperti Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ). Penolakan juga datang dari kalangan profesional seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (Perhimpunan MTP) dan masih banyak lagi. Belum lagi aksi-aksi serupa yang tersebar secara merata di seluruh pelosok negeri, yang juga mencerminkan bahwa memang rakyat menolaknya. Bukan hanya itu, sebagian dari kota kabupaten/kota dan propinsi bahkan mengeluarkan peraturan tegas, yakni bahwa Majalah Playboy dilarang beredar di daerah tersebut. Walhasil, masyarakat satu kata menolak keberadaan majalah pornografi dan pornografi, termasuk majalah Playboy sebagai icon-nya.
Sayang, sikap Pemerintah terkesan abai. Ironis. Ketika seorang da'i kondang melakukan poligami, Presiden segera memutuskan untuk memperluas pelarangan atas poligami dengan dalih moral obligation (kewajiban moral). Padahal poligami dihalalkan Allah SWT. Tapi, ketika pornografi-pornoaksi menjamur, mengapa Pemerintah tidak menunjukkan moral obligation-nya? Memang aneh. Kalau ini yang terjadi, tunggulah kehancuran bangsa ini. Ataukah memang ada pihak yang tengah memporakporandakan umat melalui pengrusakan budaya mereka?

Awasi Persidangan

Persidangan Majalah Playboy penting untuk diawasi dan diikuti. Alasannya: Pertama, Playboy adalah ikon/simbol pornografi dunia yang langsung di bawah 'kendali' AS. Bahkan MUI sejak beberapa tahun lalu telah memfatwakan keharamannya. Jika putusan hakim menyatakan bahwa pimpinan redaksi dan seluruh orang yang terlibat dalam pembuatan Majalah Playboy di vonis tidak bersalah atau dijatuhi hukuman ringan, maka ini akan dijadikan preseden buruk. Kejadian ini akan dijadilan yurisprudensi bagi media apapun yang berbisnis kepornoan. Efeknya, penerbitan-penerbitan media serupa nantinya seolah-olah tidak melanggar hukum. Kalaupun melanggar hukum, hal itu akan tetap dilakukan karena hukumannya ringan. Terbitnya Majalah Playboy tiap bulan menunjukkan sikap tersebut. Karenanya, tidak aneh jika para pembela pornografi membela mati-matian dan segala cara pun bisa ditempuhnya. Jelas ini adalah sesuatu yang membahayakan. Ini adalah peperangan melawan pornografi-pornoaksi.
Kedua, bagi majelis hakim, janganlah sampai buta mata. Dengan persidangan yang tertutup akan sangat dimungkinkan terjadinya tindak penyuapan ataupun yang lain. Apalagi sudah menyangkut industri kapitalis global yang mengusung kebebasan dan pronografi. Jelas, mereka akan sangat berhitung. Jika Playboy Indonesia sampai kena masalah maka akan mempengaruhi majalah Playboy di AS. Harga sahamnya akan turun. Ini juga akan menjadi titik balik bagi pemerkaraan Majalah Playboy di negara lain.

Oleh karena itu, majelis hakim jangan sampai keliru dalam memberikan ketetapan dalam kasus persidangan Playboy ini. Apalagi sampai memberikan vonis bebas atau hukuman ringan terhadap pengelolanya. Tindakan seperti ini hanya akan menyebabkan kemarahan umat. Keberlangsungan pornografi yang mengancam masyarakat kini berada di tangan pengadilan. Ingatlah, jika keputusan keliru, majelis hakim yang menangani kasus ini secara langsung telah berkonstribusi bagi pelegalan majalah-majalah porno. Bahkan, termasuk kategori hakim yang masuk neraka. Rasulullah saw. Bersabda:

«الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ قَاضِيَانِ فِي النَّارِ وَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الْحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ لاَ يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ»

Hakim itu ada tiga kategori. Dua hakim masuk neraka, dan satu hakim masuk surga. Orang yang memutuskan dengan tidak benar, dia pun mengetahuinya, maka orang (hakim) itu tempatnya di neraka. Hakim yang tidak mengerti, kemudian mencelakakan hak orang, maka dia pun tempatnya di neraka. Sedangkan hakim yang memutuskan dengan benar, maka tempatnya di surga (Hr. At-Tirmidzi)

Pornografi-Pornoaksi Haram!


Islam menolak tegas segala macam hal yang terkait dengan pornografi dan pornoaksi. Islam memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan pornoaksi. Pornografi adalah produk grafis (tulisan, gambar, film)—baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya—yang mengumbar sekaligus menjual aurat; artinya aurat menjadi titik pusat perhatian. Adapun pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung; dari mulai aksi yang “biasa-biasa” saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar bisaa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek-diskotek, klab-klab malam, dll). Tentu saja, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariah Islam. Seorang wanita yang memperlihatkan sekadar rambut atau bagian bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang yang mengumbar aurat. Sebab, aurat wanita dalam pandangan Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

Secara fikih, menyaksikan secara langsung aurat seseorang yang bukan haknya (pornoaksi) adalah haram, kecuali untuk tujuan yang dibolehkan oleh syariah, misalnya memberi pertolongan medis. Keharaman ini berlaku juga bagi para pembuat pornografi (kamerawan, pengarah gaya, sutradara, dsb.).

Adapun benda dengan muatan pornografi juga bisa dihukumi haram, karena mengandung hadharah (peradaban) Kufur. Bahkan, bisa menjadi sarana yang mengantarkan pada keharaman. Dalam kaidah ushul dikatakan:

[اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى اْلحَرَامِ حَرَامٌ]

Sarana yang menjerumuskan pada tindakan keharaman adalah haram.

Karena itu, penyebarluasan dan propaganda pornografi dan pornoaksi yang nyata-nyata berdampak serius di tengah-tengah masyarakat adalah tindakan yang diharamkan. Orang atau institusi yang membuat dan atau menyebarluaskan media porno, menurut syariah, dianggap telah melakukan aktivitas yang haram. Secara syar‘i, pelakunya dikenai hukuman ta‘zîr. Artinya, qadhi (hakim) dipersilakan untuk menjatuhkan salah satu hukuman dalam Islam—mulai denda, pengasingan, penjara, cambuk, hingga hukuman mati—terhadap pelakunya. Jenis hukuman bergantung pada derajat pelanggarannya.

Wahai Kaum Muslim:

Kini tengah berjalan upaya legalisasi pornografi-pornoaksi. Jika masyarakat diam, generasi kita akan terancam. Belumkah tiba saatnya kita benar-benar menegakkan dan membela Islam beserta umatnya? Atau kita akan menunggu fitnah itu akan menimpa siapapun tanpa pandang bulu, baik orang yang baik maupun bejat, sebagaimana firman Allah:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (Q.s. al-Anfal [08]:25)

Na'udzubillah. []
________________________________________
KOMENTAR AL-ISLAM:
Exxon Diberi Kesempatan Perpanjang Kontrak Natuna. (Republika, 23/1/07).
Penguasaan sumberdaya alam oleh asing terbukti hanya merugikan negara. Masihkah Pemerintah tidak mau belajar?!

No comments: