04 April 2007

Serukan Syariah Bukan Demokrasi

Buletin Al Islam edisi 338


Pekan lalu seorang ulama asal Qatar Syaikh Yusuf al-Qaradhawi berkunjung ke Indonesia. Syaikh al-Qaradhawi telah melakukan serangkaian dialog dengan sejumlah tokoh. Satu hal yang terlontar dari beliau adalah pujiannya terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yang dipandang selaras dengan penerapan nilai-nilai Islam yang moderat. ”Dulu ada anggapan bahwa tidak mudah mengimplementasikan keduanya (demokrasi dan Islam). Namun, rakyat Indonesia membuktikan bahwa demokrasi dan Islam bisa sejalan,” kata Syaikh Yusuf Qaradhawi usai bertemu dengan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (9/1). Menurut Syaikh al-Qaradhawi, nilai-nilai ini seharusnya menjadi bingkai kokoh sehingga segala persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dapat terselesaikan. Bahkan menurutnya, keberhasilan Indonesia menerjemahkan demokrasi bisa ditularkan ke negara lain. (Republika.co.id, 10/1/07).

Sementara itu, mengomentari al-Qaradhawi, Ketua MPR Hidayat Nurwahid menyatakan, ”Apresiasi beliau terhadap demokrasi dan Islam di Indonesia, seharusnya dijadikan rujukan bagi perbaikan kondisi keseluruhan bangsa ini.” (Republika.co.id, 10/1/07).

Mendudukkan Demokrasi

Pujian atas pelaksanaan demokrasi di Indonesia sebetulnya bukan hanya datang dari Syaikh al-Qaradhawi baru-baru ini. Sesaat sejak Indonesia berhasil melaksanakan Pemilu 2004 untuk memilih para wakil rakyat, termasuk pemilihan Presiden-Wapres secara langsung, puja-puji terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia juga segera mengalir dari sejumlah pejabat Amerika dan Eropa serta para pengamat Barat.

Jika demokrasi sekadar diidentikkan dengan Pemilu, puja-puji atas pelaksanaan demokrasi di Indonesia memang wajar belaka. Sebab, meski diikuti oleh banyak partai, Pemilu 2004 relatif damai dan sepi dari konflik.
Namun demikian, sejatinya penilaian atas demokrasi tidak berhenti sebatas pada pelaksanaan Pemilu. Sebab, Pemilu hanyalah alat dari sebuah mekanisme pemilihan. Adapun demokrasi tentu lebih dari sekadar Pemilu. Demokrasi adalah—sebagaimana telah menjadi slogan baku—sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena itu, demokrasi identik dengan sistem pemerintahan dengan kedaulatan (kekuasaan tertinggi) di tangan rakyat. Justru, di sinilah pangkal persoalannya.

Secara teoretis, kedaulatan rakyat menafikan kedaulatan Tuhan. Karena itulah, ulama terkenal asal Pakistan, Abul A’la al-Maududi, secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari penentangan Barat terhadap agama (produk dari sekularisme). Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi sebagai menduakan otoritas Tuhan.

Adapun secara praktis, kedaulatan rakyat sebetulnya hanyalah ‘lipstik’. Faktanya, di-Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa, yang bahkan sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal atau negara-negara asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang juga langsung dipilih oleh rakyat—sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM yang sangat tinggi beberapa waktu lalu, yang begitu saja disetujui DPR tanpa mempertimbangkan jeritan dan penolakan seluruh rakyat, hanyalah secuil contoh dari betapa tidak berdaulatnya rakyat di negeri ini, yang banyak dipuji sebagai negara yang demokratis.

Demokrasi: Pintu Keburukan

Di samping tidak proporsional, puja-puji atas penyelenggaraan demokrasi di Indonesia juga menafikan fakta, betapa demokrasi di negeri ini justru menjadi pintu bagi masuknya sejumlah keburukan, antara lain:

Demokrasi melahirkan kebebasan yang kebablasan.

Demokrasi sesungguhnya menjadi pintu masuk bagi perilaku dan gaya hidup bebas. Faktanya, kebebasan di negeri ini menjadi biang kemaksiatan. Contohnya dalam kasus pornografi-pornoaksi. Kantor Berita Associated Press (AP) menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/7/03). Fakta di lapangan pun membenarkan hal itu. Sebuah buku yang berjudul Jakarta under Cover telah mengejutkan banyak kalangan, bahwa ternyata Jakarta sudah tidak jauh berbeda dengan Paris, Amsterdam, atau Moskow dalam soal pornografi maupun pornoaksi.
Sudah banyak bukti, pornografi-pornoaksi memicu perilaku seks bebas. Survey yang dilakukan synovate menunjukkan, sebagian remaja di 4 kota besar Indonesia pernah melakukan hubungan seks, bahkan hal itu mereka lakukan pertama kali di rumah! (Detik.com, 26/1/05).

Demokrasi: pintu masuk bagi intervensi asing

Secara tidak langsung demokrasi sering menjadi pintu bagi masuknya intervensi para pemilik modal, bahkan asing. Lahirnya UUD amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Disinyalir, LSM asing yang terlibat aktif adalah NDI (National Democation Institute), yang dalam perjalanannya didukung oleh CETRO. Mereka mempunyai program mereformasi konstitusi (Constitutional Reform). Ditengarai ada dana USD 4,4 miliar dari AS untuk mendanai proyek di atas. Bahkan NDI dan CETRO mendapat fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR hingga dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA), dan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) yang sarat dengan kepentingan asing. Dampak real dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, misalnya, Pertamina yang notabene perusahaan milik Pemerintah/rakyat, saat ini bukan pemain tunggal. Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dll. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus rela berbagi keuntungan sama rata (45:45) dengan Exxon Mobil.

DPR dan Pemerintah juga telah mengesahkan UU Sumber Daya Air (UU SDA), yang sangat membuka peluang bagi terjadinya privatisasi sumberdaya air oleh perusahaan-perusahaan asing. Pengesahan UU itu merupakan salah satu syarat yang diajukan Bank Dunia untuk mencairkan pinjaman US$ 300 juta. Artinya, campur tangan asing (dalam hal ini Bank Dunia) juga tampak kuat mendorong lahirnya UU tersebut. Padahal privatisasi air jelas akan semakin menghancurkan kehidupan petani dan pedesaan setelah dihapuskannya subsidi pertanian. (www.walhi.or.id, 20/2/04).

Demokrasi melahirkan kemiskinan

Meski secara tidak langsung, demokrasi di negeri ini berperan besar dalam menciptakan kemiskinan. Sebagaimana kita tahu, Indonesia adalah sebuah negeri yang sangat kaya, yang dalam hitungan-hitungan rasional dengan menggunakan metode apapun, mustahil rakyatnya miskin.
Namun pada faktanya, negeri ini terpuruk di segala bidang, bahkan nyaris menjadi negeri paling miskin di dunia. Mengapa? Lagi-lagi karena demokrasi yang menjadi pangkalnya. Kita tahu, demokrasi di negeri ini telah melahirkan banyak UU dan peraturan yang tidak memihak rakyat, tetapi lebih berpihak kepada konglomerat, termasuk asing. Di antaranya adalah melalui kebijakan swastanisasi dan privatisasi. Kebijakan ini dilegalkan oleh UU yang notabene produk DPR atau oleh Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh Presiden sebagai pemegang amanah rakyat. UU dan peraturan tersebut memungkinkan pihak swasta terlibat dalam pengelolaan (baca: penguasaan) kekayaan milik rakyat. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968).

UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Di Blok Gas Natuna, bahkan Pemerintah tidak menguasai satu persen pun saham, karena sepenuhnya (100 persen saham) dikuasai asing. Dalam sejarah investasi asing di dunia, konon hanya di Indonesia ada bagi hasil 100:0. Luar biasa!

Kini, pada masa yang disebut dengan ‘Orde Reformasi’, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing.

Lalu apa hasilnya?! Tidak lain: kebangkrutan negara dan kemiskinan rakyatnya. Bagaimana mungkin di Papua, misalnya, mayoritas penduduknya miskin, bahkan ada yang busung lapar? Padahal Papua memiliki cadangan emas terbesar di dunia. PT Freeport saja, yang menambang emas dan tembaga di Papua, mampu meraup total pendapatan US$ 4.2 miliar (sekitar Rp 40 triliun) pada pada tahun 2005 saja.
Papua tidak sendiri. Di Kaltim, dari sekitar 2.5 juta penduduknya, kira-kira 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin. Padahal provinsi ini memproduksi: batubara sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas hingga 16.8 ton pertahun; perak hingga 14 ton pertahun; gas alam hingga 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005), minyak bumi hingga 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel.

Di Aceh juga setali tiga uang. Aceh menempati urutan ke-4 sebagai daerah termiskin. Jumlah penduduk miskinnya sekitar 28.5 persen. Padahal PT Arun LNG dengan operator PT ExxonMobile Oil sudah berdiri sejak 1978 di wilayah ini, dengan cadangan gas mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras.

Hutan, yang sejatinya bisa menjadi sumber pendapatan negara, juga ternyata banyak dikuasai swasta. Rata-rata hasil hutan di Indonesia sendiri setiap tahunnya diperkirakan mencapai 8 miliar dolar (Kompas, 10/02/2001). Dari hasil tersebut hanya 17% yang masuk ke kas negara. Sisanya, sebesar 83%, masuk ke kantong pengusaha HPH. Eksploitasi hutan oleh pengusaha HPH menyebabkan kerusakan hutan yang parah. Saat ini, hutan alam Indonesia mengalami penurunan luas sebesar 64 juta hektar (55%), dari total 115 juta hektar.

Demokrasi melahirkan korupsi

Sudah menjadi rahasia umum, penyelenggaraan Pemilu dalam sistem demokrasi sarat dengan money politic. Bahkan sejak awal orang harus rela mengeluarkan miliaran rupiah hanya agar dicalonkan menjadi caleg. Karena logika kapitalis yang dipakai, ujung-ujungnya, saat mereka terpilih menjadi wakil rakyat, mereka akan berupaya dengan berbagai cara agar ‘balik modal’. Ironisnya, hal itu mereka lakukan juga dengan cara-cara ‘legal’, yaitu dengan membuat sejumlah aturan yang menguntungkkan mereka. Dibuatlah aturan mengenai besaran gaji atau tunjangan anggota dewan.

Terakhir, bahkan Pemerintah mengeluarkan PP No. 37/2006 yang berisi kenaikan gaji/tunjangan bagi para ketua dan anggota DPRD seluruh Indonesia. Karena PP tersebut berlaku surut, jika diberlakukan, akan menguras anggaran Rp. 3.3 triliun hanya untuk pengeluaran tahun 2006 saja. Di sisi lain, para pemilik modal berkepentingan terhadap keberpihakan DPR terhadap mereka. Akhirnya, terjadilah hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Suap-menyuap pun terjadi antara anggota DPR dan para pemilik modal.

Tidak aneh jika kemudian lembaga independen TII yang dikomandani Todung Mulya Lubis mempublikasikan laporannya yang menyebutkan, bahwa lembaga paling korup di Indonesia adalah Parlemen/DPR, disusul dengan Lembaga Peradilan (ANTV, 10/12/06).

Demokrasi: Agenda Barat

Selain realitas buruk demokrasi di atas, demokrasi di Dunia Islam, termasuk di Indonesia, sesungguhnya lebih merupakan agenda Barat sekaligus alat mereka untuk mengokohkan penjajahan atas kaum Muslim. Hal ini, pernah dinyatakan oleh George W Bush sendiri, “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi.” (Goerge W. Bush, 6/11/04).

Karena itu, tidak aneh jika demokratisasi paling sering dilontarkan oleh pihak Barat terhadap Dunia Islam. Barat tahu persis bahwa politik sekular dan demokrasi akan semakin mengokohkan hegemoni mereka atas kaum Muslim, sekaligus melemahkan pengaruh Islam. Demokrasi bahkan sering digunakan Barat untuk menjebak gerakan Islam. Sepertinya hal itu berjalan cukup efektif di beberapa negera, termasuk Indonesia. Beberapa gerakan Islam yang tadinya teguh dalam memegang prinsip Islam, sedikit demi sedikit akhirnya luntur setelah terjebak dalam lumpur demokrasi ini. Karena kekuatan demokrasi ada pada banyaknya suara, sikap pragmatisme politik pun muncul. Pantas kalau dalam beberapa pemilihan kepala daerah, misalnya, beberapa partai yang memiliki akar gerakan Islam, berkoalisi bukan berdasarkan kesamaan ideologis, tetapi kesamaan kepentingan meraih suara. Prinsip utama akidah Islam yang menuntut terpisahnya secara tegas antara yang haq dan batil pun dilanggar.

Tidak hanya itu, karena yang penting adalah meraih suara terbanyak, seruan untuk menegakkan syariah Islam pun nyaris tidak terdengar lagi diserukan oleh gerakan Islam yang berpartisipasi dalam demokrasi. Alasannya, seruan syariah Islam tidak laku dijual untuk meraih suara. Sepertinya, partai yang berbasis gerakan Islam banyak melupakan fungsi utama partai atau gerakan untuk melakukan proses edukasi dan sosialisasi politik. Sebagai gerakan Islam, ketika rakyat belum menerima syariah Islam, tugasnya adalah untuk menyadarkan masyarakat.
Yang juga menyedihkan, demokrasi kemudian menuntut setiap partisipannya bersikap kompromistis dalam pengambilan kebijakan di parlemen. Jadilah kebijakan yang seharusnya ditolak dan ditentang oleh partai-partai berbasis Islam karena merugikan rakyat—seperti kenaikan BBM, impor Beras, UU SDA, UU Migas—justru di dukung secara tegas ataupun dengan malu-malu.

Itulah di antara hasil-hasil nyata penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, yang banyak dipuja-puji, termasuk oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dan Ketua MPR yang terhormat.

Suarakan Syariah Islam, Bukan Demokrasi!

Allah Swt. sesungguhnya telah berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّّ ِللهِ

Sesungguhnya membuat hukum itu hanyalah hak Allah. (QS al-An’âm [6]: 57).

Ayat di atas nyata menegaskan bahwa Allah-lah yang berhak membuat hukum/aturan, bukan rakyat melalui wakilnya di DPR/MPR atau Pemerintah. Karena itu, sudah selayaknya kaum


Muslim menjadikan hukum-hukum Allah (syariah Islam) sebagai pengatur kehidupan mereka. Hendaklah mereka menjadikan syariah Islam sebagai modal untuk menyelesaikan semua persoalan hidup mereka, bukan demokrasi atau apapun. Apalagi Allah SWT telah menegaskan:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka cari? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi kaum yang yakin? (QS. Al-Mâidah [5]: 50).

‘Ala kulli hâl, marilah kita semuanya terus menyuarakan syariah Islam, bukan demokrasi!
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

KOMENTAR
Mesir Dukung AS Kirim Tentara ke Iraq (Hidayatullah.com, 16/1/07).
Hanya antek AS yang mendukung setiap kebijakan penjajahan AS di Dunia Islam.

No comments: