01 May 2007

TOLAK DELEGASI PARLEMEN ISRAEL!

Buletin Al Islam Edisi 352

Delegasi parlemen Israel (Knesset) direncanakan datang ke Indonesia pada 29 April-4 Mei 2007 di Bali atas undangan Inter Parliamentary Union (IPU). Sikap resmi Pemerintah terhadap rencana kedatangan delegasi Zionis tersebut sudah sangat jelas, yaitu menerima tanpa syarat. Hal itu tercermin dari pernyataan Menlu Nur Hassan Wirajuda yang menyatakan bahwa kedatangan tersebut merupakan hal yang lumrah (Republika, 17/4). Menlu mengemukakan alasannya, bahwa yang mengundang itu adalah IPU sehingga Indonesia tidak berhak untuk menolak. Jubir Deplu, Kristianto Legowo, turut menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa menolak permohonan visa delegasi Israel jika mereka datang ke Bali. "Pada tahap ini, kita tak punya alasan untuk menyatakan tidak," kata Legowo (Republika, 21/4).

Senada dengan Menlu, Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP), Abdillah Toha, memaparkan bahwa undangan itu dibuat langsung oleh IPU pusat, karena Israel merupakan satu dari 148 anggota IPU. Ketika didesak tentang bagaimana reaksi masyarakat jika akhirnya delegasi Israel hadir, Abdillah Toha menyatakan, kunjungan delegasi Israel ke Indonesia bukan kali pertama. ''Pada tahun lalu saat ada pertemuan UN ESCAP, delegasi Israel juga datang,'' papar Abdillah (Republika, 17/4).

Mencermati Sikap Pemerintah

Sulit diterima secara akal sehat, Indonesia yang merupakan negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini akan menerima delegasi parlemen Israel yang saat ini tangannya masih berlumuran darah karena penjajahan kejinya di bumi Muslim Palestina. Satu-satunya alasan yang dikemukakan Pemerintah untuk tidak menolak kedatangan tersebut adalah karena mereka atas undangan IPU. Sikap Pemerintah yang sekadar bersandar pada logika linear sederhana seperti itu perlu dicermati. Pertama: hal itu menunjukkan bahwa Indonesia telah dilumpuhkan kedaulatannya justru oleh Pemerintah sendiri. Seakan-akan Indonesia tidak punya hak apapun atas tanah negerinya untuk menolak diinjak oleh delegasi Zionis penjajah hanya karena diundang oleh lembaga internasional IPU. Jika Indonesia ‘diakui’ kedaulatannya, semestinya IPU meminta izin kepada Pemerintah Indonesia untuk mengadakan acara di Bali, termasuk siapa yang akan diundang. Indonesialah sebagai tuan rumah yang berhak mengizinkan siapa yang boleh diundang.

Kedua: sikap Pemerintah terhadap delegasi parlemen Israel tersebut persis sama dengan sikap Pemerintah terhadap Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) nomor 1747 yang menjatuhkan sanksi terhadap Iran, dengan alasan, Iran mengembangkan senjata nuklir. Padahal masyarakat awam pun bisa memahami, bahwa resolusi itu murni untuk kepentingan negara adidaya di bawah pimpinan AS. Saat menyerang Irak, AS sesumbar bahwa dia akan menyerang Irak dengan atau tanpa dukungan internasional. Namun, kini AS ternyata menggali kuburannya sendiri di Irak.

Karenanya, AS mengubah skenarionya dalam upayanya menyerang Iran, yaitu dengan cara mendapatkan legitimasi internasional melalui dikeluarkannya Resolusi 1747. Sehari setelah dikeluarkan resolusi tersebut, AS langsung mengerahkan tiga kapal induk untuk persiapan menyerang Iran. Langkah secepat kilat ini menggambarkan betapa pengiriman kapal induk tersebut sudah direncanakan, dan resolusi hanyalah sebagai legitimasi. Berdasarkan hal ini, dukungan terhadap Resolusi 1747 dan penerimaan tanpa syarat terhadap kedatangan delegasi Israel itu pada dasarnya merupakan bentuk ketundukan (baca: ketakutan) Pemerintah terhadap lembaga internasional yang menjadi tunggangan para kapitalis kafir penjajah.

Ketiga: tentu Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa kedatangan delegasi Zionis tersebut akan mendapat reaksi penolakan dari umat Islam, sebagaimana reaksi penolakan terhadap Resolusi PBB No. 1747 bagi nuklir Iran, termasuk kedatangan Bush pada November 2006 lalu. Hanya saja, tampak Pemerintah lebih baik 'berhadapan' dengan reaksi penolakan umat Islam daripada harus berseberangan dengan kepentingan negara adidaya.

Berdasarkan berbagai rangkaian peristiwa politik semacam ini, semakin sulit bagi Pemerintah untuk membantah bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi dan politiknya berada dalam tekanan internasional. Bahkan Pemerintah semakin kasatmata menampilkan diri sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan ekonomi dan politik global yang dirancang AS dan sekutunya.
Keempat: Pemerintah melalui Deplu RI tentu mengetahui dengan jelas bahwa negara-negara lain sudah terbiasa menolak secara resmi utusan dari negara lain yang dianggap tidak sejalan dengannya. Pemerintah AS, bahkan tanpa logika, sering menolak kedatangan warga negara lain, khususnya dari negeri-negeri Islam. Beberapa waktu lalu, misalnya, pemerintah AS menolak visa ulama al-Azhar Mesir karena mereka dianggap pro jihad. Pemerintah Belanda, melalui Departemen Luar Negerinya, menyatakan belum siap menerima kedatangan PM Ismail Haniya, pejabat dari Hamas, untuk menyambut undangan panitia acara konferensi Palestina Eropa, yang rencananya akan dilaksanakan 5 Mei 2007 di Rotterdam, Belanda. Mereka beralasan bahwa Uni Eropa (UE) masih menganggap bahwa Hamas belum dicoret oleh UE sebagai 'kelompok teroris'.

Pemerintah Indonesia semestinya juga bisa secara tegas menolak kedatangan delegasi parlemen Israel ke Bali dengan alasan, bahwa Israel adalah penjajah dan teroris paling keji dan berbahaya di dunia, di samping sebagai bentuk solidaritas terhadap kaum Muslim Palestina yang sedang dijajah dan dizalimi. Hanya persoalannya, apakah ada keberanian dari Pemerintah untuk bersikap seperti itu terhadap Israel yang di belakangnya ada AS dan sekutunya?
Penerimaan Pemerintah Indonesia terhadap kedatangan delegasi parlemen Israel tersebut hanya mempunyai satu titik yang bisa dibaca dengan jelas, bahwa Pemerintah hilang keberaniannya ketika harus berseberangan dengan semua entitas yang di situ ada bayang-bayang AS dan sekutunya.

Dampak Kunjungan Israel

Bagi umat Islam, tentu sebuah kenistaan apabila menerima delegasi Zionis yang sampai saat ini terus mempertontonkan kebiadabannya terhadap umat Islam di Palestina. Melukai seorang Muslim di Palestina sama saja dengan melukai semua kaum Muslim di seluruh dunia, karena setiap Muslim bersaudara. Karena itu, hanya satu sikap bagi kaum Muslim: menolak secara tegas kedatangan delegasi Zionis ke tanah Muslim Indonesia! Elemen umat seperti KISDI, HTI, FUI, DDII, MMI, FPI, KISPA, IPS, dan sebagainya telah secara tegas menolak kedatangan delegasi Zionis tersebut. Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, juga meminta Pemerintah dan DPR menolak kedatangan delegasi parlemen Israel (Republika, 21/4).

Kunjungan tersebut memang wajib ditolak, karena akan memberikan dampak buruk yang sangat luas. Pertama: parlemen selalu identik dengan keberadaan sebuah negara. Karena itu, penerimaan terhadap delegasi parlemen Israel akan memberikan opini umum bagi masyarakat internasional, bahwa Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia telah secara de facto mengakui Israel sebagai sebuah negara. Padahal sampai detik ini Israel adalah penjajah yang tidak memiliki hak sejengkal tanah pun di bumi Palestina. Haram hukumnya mengakui Israel sebagai sebuah negara yang wilayahnya merupakan hasil perampokan dari tanah milik kaum Muslim.

Kedua: penerimaan atas kedatangan delegasi parlemen Israel tersebut sungguh merupakan pengkhianatan atas perjuangan kaum Muslim Palestina. Saudara-saudara kita saat ini terus berjuang dengan gigih untuk membebaskan negerinya dari penjajahan Zionis yang didukung penuh oleh gembong penjajahan internasional di bawah pimpinan AS. Sampai saat ini, Ketua Parlemen Palestina, Dr. Abdul Aziz Dweik, bersama sekitar 39 anggota parlemen lainnya masih ditahan oleh pihak Zionis Israel. Selain 40 anggota dewan itu, masih ada sekitar 11 ribu lagi tahanan Palestina di penjara-penjara Zionis yang belum dibebaskan. Belum lagi pembunuhan keji Israel terhadap ratusan ribu kaum Muslim Palestina yang terus berlangsung hingga detik ini.

Ada kabar tersiar bahwa delegasi Israel tidak jadi datang. Hal ini perlu dicermati. Dulu, kedatangan pimpinan Israel ke Indonesia dilakukan secara diam-diam. Kini, ada kemungkinan seperti itu.
Lepas dari jadi-tidaknya delegasi Israel datang ke Bali, satu hal yang sudah pasti adalah, Pemerintah dan DPR tidak anti penjajah Israel. Buktinya, mereka tidak berani menolak dan akan menerima kehadiran wakil penjajah. Kalaupun Israel tidak datang, itu bukan karena desakan apalagi penolakan Pemerintah dan DPR, melainkan karena keputusannya sendiri.

Wahai Kaum Muslim:

Sebagai bukti keimanan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, kita wajib menolak keras rencana kedatangan delegasi parlemen Israel di Indonesia. Meski kedatangan itu atas undangan IPU, hal itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menerima mereka. Faktanya, Israel masih terus menjajah dan memerangi umat Islam di Palestina. Karenanya, menurut hukum Islam, Israel merupakan kâfir harbi fi‘lan, yaitu kelompok kafir yang secara nyata memerangi umat Islam. Israel harus didudukkan sebagai musuh umat Islam seluruh dunia. Musuh tentu tidak layak diterima begitu saja di sebuah negeri Muslim seperti Indonesia. Seharusnya para pemimpin di negeri-negeri Muslim menyerukan pengusiran Israel dari bumi Palestina, sebagaimana halnya kita mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, mengobarkan jihad fi sabilillah merupakan satu-satunya opsi yang dibenarkan oleh syariah Islam.

Kita merindukan sosok pemimpin seperti Khalifah Sultan Abdul Hamid II, yang secara tegas dan berwibawa menolak upaya Theodore Hertzel, pemimpin Zionis Yahudi, untuk mendirikan negara Israel di bumi Palestina. Sebaliknya, pemimpin di negeri-negeri Muslim saat ini tidak ada yang berani melawan Israel, meski hanya dengan kata-kata sekalipun. Bahkan yang lebih parah dari itu, beberapa pemimpin negeri Muslim justru mengakui keberadaan Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menerima kedatangan delegasi Parlemen Israel termasuk salah satu wujud pengakuan keberadaan Israel secara tidak langsung.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS al-Maidah [5]: 51).

Komentar al-Islam:
Selama Masih Berkiblat ke Ekonomi Neo-Liberal, Reshuffle Kabinet Sia-Sia (Eramuslim.com, 23/4/07).
Jadi, yang perlu diganti adalah orang sekaligus sistemnya yang liberal; tentu dengan sistem Islam yang pasti membawa rahmat.

No comments: