09 May 2007

Islam Liberal Tentang Ekonomi Syariah

Posting ini merupakan rekaman diskusi via surat elektronik (email) antara seorang awam (Yusuf Anshar) dengan seorang intelek liberal yang tidak lain adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Baca Tanggapan Yusuf Anshar di bagian bawah postingan...

Bung Yusman dan Bung Indi,

Harus jujur diakui, peran MUI makin hari makin membengkak. Dan tampaknya masyarakat tak ada yang keberatan untuk itu. JIL akan mengadakan diskusi mengenai peran MUI ini di UI (saya lupa tanggalnya: kalau tak salah minggu depan ini).

Kalau semua diukur dengan standar syariah nanti; kalau syariah direntang ke mana-mana, saya khawatir kita akan pelan-pelan hidup dalam negara syariah yang hanya sejengkal saja menuju kepada negara teokrasi. Sekarang ini ada obsesi untuk "mensyariahkan" semua hal.

Saya percaya, hingga saat ini, sekurang-kurangnya di Indonesia, apa yang disebut sebagai Bank Syariah, Asuransi Syariah, Kartu Kredit Syariah, hanyalah transaksi biasa yang diberi embel-embel dan label Arab. Ekonomi syariah sejatinya ya kapitalisme plus label Arab. Memang ada perbedaan soal bunga; ekonomi syariah tak memakai bunga. Tetapi institusi ekonomi modern yang lahir dari rahim kapitalisme, yaitu bank, tetap dipakai. Namanya pun tetap Bank Syariah. Artinya, walau syariah, toh intinya ya bank itu sendiri. Institusi bank tidak pernah ada sejak zaman Nabi sampai ratusan abad sesudahnya. Institusi bank juga bukan kreasi orang Islam, at the first instance.

Saya belajar fiqh tahunan di pesantren. Apa yang sekarang dikenal sebagai "mudharabah, qiradl, murabahah, dll." bukanlah transaki syariah. Murabahah, misalnya, artinya ambil untung; Inggrisnya "profit taking". Itu ya transaksi biasa. Cuma namanya pakai bahas Arab, lalu orang-orang merasa itu adalah syariah. Mudharabah artinya kongsi dengan bagi hasil. Itu transaksi duniawi biasa yang kita kenal dalam praktek sehari-hari. Cuma mudharabah pakai bahasa Arab, "bagi hasil" bahasa Indonesia. Dua-duanya sama: ya bagi hasil itu.

Kalau anda simak buku-buku fiqh, maka anda akan mendapati sejumlah transaksi yang memakai bahasa Arab, tetapi jangan silap: itu adalah transaksi duniawi biasa. Saya tak melihat alasan, kenapa itu disebut sebagai transaki syariah. Transaksi-transaki itu misalnya:

(1) Buyu' (plural; singular: bai'): artinya jual beli.
(2) Salam atau Salm: ngijon atau jual beli di mana "delivery" berlangsung belakangan.
(3) Qardh: meminjamkan (uang).
(4) Sharf: penukaran uang.
(5) Hibah: pemberian.
(6) Ijarah: penyewaan.
(7) Shulh: damai dalam persengketaan pemilikan barang.
(8) Hawalah: pemindahan utang (sekarang sering diterjemahkan sebagai "wesel" atau "wired transfer")
(9) Syuf'ah: opsi pembelian pertama (di pesantren dulu sering diterjemahkan "ngejogi rega").
(10) Musaqah, Muzara'ah, Mukhabarah: intinya penggarapan tanah.
(11) 'Ariyah: pinjam-meminjam barang.
(12) Syarikah atau musyarakah: kongsi dagang di mana semua peserta dalam kongsi itu setor modal.
(13) Qiradl dan mudlarabah: kongsi dagang untuk bagi hasil di mana satu pihak setor modal dan pihak lain menjalankan modal itu.
(14) Wad'iah: penitipan barang.
(15) Luqathah: menemukan barang.
(16) Rahn: gadai.
(17) Kafalah: pertanggungan.
(18) Wakalah: perwakilan (dalam suatu transaksi).

Ini hanya contoh-contoh saja transaksi dalam fiqh atau syariah. Semuanya tentu memakai bahasa Arab, karena pertama-tama ditulis oleh para fuqaha yang hidup di kawasan Arab. Tetapi, kalau kita lihat, semuanya adalah transaksi biasa, kegiatan duniawi yang setiap detik berlangsung di Pasar Glodok, Mangga Dua, Pasar Rebo, atau Pasar Senen. Hanya saja, ketika seseorang menggadaikan barangnya di sebuah balai gadai di Glodok, tentu mereka ya menyebutnya sebagai "gadai", dan bukan "rahn" (dalam bahasa Arab). Tetapi gadai tidak serta merta menjadi "Islami" atau menjadi "transaki syari'ah" hanya karena disebut dengan bahasa Arab, "RAHN". Kalau tak salah, BMI membuka layanan jasa "gadai", tetapi tidak memakai istilah gadai, sebaliknya memakai istilah Arab "Rahn". Baik gadai dan "rahn" sama intinya. Yang membedakan mungkin hanya hal-hal yang menyangkut asesori saja: kalau anda datang ke balai gadai dan memakai istilah "gadai", mungkin anda dilayani oleh pegawai perempuan yang tak pakai jilbab. Tetapi kalau anda menggadaikan sesuatu di BMI, dan menyebutnya sebagai "rahn", anda dilayani oleh perempuan berjilbab. Tetapi, haraplah diingat, soal jenis baju yang dipakai oleh seorang staf balai gadai bukanlah bagian intrinsik dari transaksi itu sendiri.

Ini perlu dikemukakan agar kita tak terkecoh dengan transaksi-transaksi yang akhir-akhir ini ditawarkan oleh bank-bank syariah, atau bank konvensional yang membuka konter syariah, dan umumnya memakai istilah-istilah Arab. Masyarakat awam, mendengar istilah-istilah Arab itu, mungkin akan gampang mengira bahwa semua transaksi "Arab" itu adalah "benda" lain yang berbeda dengan umumnya transaksi di Pasar Kramatjati. Seolah-olah "hawalah" itu benda asing dari luar angkasa, padahal artinya ya kirim wesel biasa atau pengalihan surat hutang. Seolah-olah mudharabah dan qiradl itu barang "suci", padahal ya bagi hasil biasa seperti yang dilakukan oleh Kang Ponirin dan Paiman di Pasar Klewer, Solo.

Apakah dengan demikian tidak ada yang disebut dengan ekonomi syariah? Apakah saya menolak konsep ekonomi syariah? Jelas tidak. Meskipun saya percaya bahwa agama sebaiknya berada pada ruang privat, tetapi saya percaya pula ada nilai-nilai universal yang positif dalam agama yang seharusnye membentuk moralitas publik.

Saya percaya dengan ekonomi syari'ah. Tetapi, bagi saya, ekonomi syariah bukanlah ekonomi yang memakai istilah-istilah Arab. Bagi saya, itu penipuan terhadap umat Islam. Bank Syariah belum tentu menyelenggarakan ekonomi syariah hanya semata-mata memakai istilah Arab dalam seluruh transaksinya. Bank Syariah bisa menjadi alat penipuan umat dengan menggunakan simbol-simbol Arab itu. Saya melihat bahaya ekonomi syariah dari sudut ini.

Bagi saya, ekonomi syariah "goes beyond symbols and Arabic labels". Ekonomi syariah adalah soal prinsip-prinsip dasar. Saya bukan seorang ekonom, tetapi saya akan mencoba mengulas sedikit apa landasan normatif dalam transaksi yang disetujui oleh Islam. Inti kegiatan ekonomi adalah: pertukaran barang dan jasa/manfaat yang menimbulkan pertukaran hak milik (kalau di milis ini ada seorang ekonom, tolong saya "dijewer" kalau keliru). Prinsip dasar Islam dalam pertukaran barang, diringkaskan dalam satu ayat di Surah An Nisa: 29 dan dua hadis:

"Ya ayyuhal ladzina amanu la ta'kulu amwalakum bainakum bil bathil illa an takuna tijaratan 'an taradlin minkum..."

Artinya (dalam terjemahan bebasa saya): Hai orang-orang beriman, janganlah kalian memakan (atau memiliki) harta-harta di antara kalian dengan cara yang culas, kecuali melalui "tijarah" (pertukaran barang) yang didasarkan pada asas saling suka sama suka (taradlin).

Nabi bersabda dalam hadis sahih (saya lupa perawinya): "Al mukminuna 'ala syuruthihim illa syarthan ahalla haraman aw harrama halalan."

Artinya: Orang-orang beriman (tetapi ini juga berlaku untuk semua orang, baik beriman atau tidak) terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim, Nabi melarang jual-beli yang mengandung tipuan (ba'i al gharar).

Jadi, prinsip dasar ekonomi Islam (jika ada yang disebut dengan hal demikian itu) adalah:

(1) Pertukaran barang atau jasa dengan sukarela.
(2) Pertukaran itu harus sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak, atau oleh (kesepakatan publik yang tercermian dalam) parleman atau ajensi-ajensi lain yang diberikan mandat untuk membuat regulasi atas suatu transaksi (mis., dalam kasus Indonesia, BKPM yang diberikan mandat untuk mengatur dan menetapkan syarat-syarat dalam lalu lintas modal).
(3) Tiadanya tipuan.

Penerjemahan prinsip dasar itu ke dalam detail transaksi, berkembang sesuai dengan konteks sejarah dan perkembangan aktivitas ekonomi manusia. Kalau kita tengok prinsip-prinsip itu secar cermat, itu bukanlah prinsip transaksi khas Islam atau syariat. Itu adalah dasar pokok dalam semua transaksi, baik yang dilaksanakan atas nama Islam atau tidak. Suatu transaksi yang tak memakai nama Arab, tetapi memenuhi tiga prinsip itu, maka transaksi itu adalah Islami. Walau traksaksi tertentu memakai nama Arab tapi melanggar prinsip itu, dia bukanlah transaksi Islami. Jadi, sesuai dengan pandangan pokok Islam liberal dalam hal-hal lain, yang menjadi pegangan kita adalah esensi bukan label.

Saya sengaja menghindar dari perdebatan soal mazhab besar ekonomi: kapitalisme vs sosialisme, atau ekonomi pasar vs ekonomi negara. Yang lucu adalah bahwa seluruh diskursus dam praktek ekonomi syariat yang berlangsung di semua negara Islam berlangsung di atas arena ekonomi kapitalisme. Karena itu, saya memandang apa yang disebut sebagai ekonomi Islam atau ekonomi syariat bukanlah alternatif terhadap kapitalisme, tetapi penegasan ekonomi kapitalisme itu sendiri melalui label-label Arab. Tetapi label-label itu tidaklah mengubah watak dasar ekonomi yang kapitalistis. Kenyataan ini tentu berlawanan dengan jargon akivis Islam di mana-mana yang mengatakan bahwa Islam adalah alternatif. Dalam kasus ekonomi syariat, Islam hanyalah "ndompleng" saja pada kapitalisme.

Kesimpulannya: ekonomi syariat adalah kapitalisme yang diarabkan (arabized capitalism).

Wallahu a'lam bisshawab.

Ulil

Komentar Orang Awam

Untuk mengendorkan semangat bersyariah ummat Islam, bagi seorang Ulil, segala cara boleh lah dipakai. Kali ini dengan cara kamuflase bahasa. Buyu', Salam, Qardh, Sharf, Hibah, Ijarah, dll dia jejerkan dengan padanan katanya. Maksudnya ingin menipu orang-orang awam yang moga-moga lupa membedakan antara istilah teknis dan nilai yang disandangnya.

Jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan ratusan jenis transaksi ekonomi yang lain bisa saja diganti dengan bahasa apapun dan memang semua jenis praktik ekonomi tersebut bersifat umum. Makan (Arab = akl, English = eat), tidur (Arab = naum, English = sleep), kawin (Arab = nikah, English = marry), dan lain-lain adalah istilah umum bagi kegiatan-kegiatan manusia. Semua orang bisa melakukannya.

Namun yang penting diperhatikan adalah nilai syariah yang dikandungnya. Inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam (atau ekonomi islami, terserah) dengan sistem ekonomi yang mengabaikan nilai-nilai syariah. Penggunaan istilah Arab sedikit banyaknya cukup berguna untuk mengusung semangat bersyariah yang dibenci oleh orang-orang islamphobi.

Lagi-lagi, untuk menipu orang-orang awam, Ulil tidak malu untuk berlagak bodoh (atau memang bodoh?).

Saya juga bukan seorang ekonom bahkan terhitung jarang membaca buku-buku ekonomi. Tapi boleh juga dong berbicara sedikit tentang ekonomi seperti gaya Ulil. Tapi kalau ada yang salah, tidak usah "dijewer" yaah.... maklum saja saya orang awam. :-)

Berbicara tentang ekonomi harus dimulai dengan definisi ekonomi yaitu segala kegiatan (produksi, distribusi dan konsumsi) untuk memenuhi kebutuhan hidup (barang dan jasa) bagi manusia. Kebutuhan manusia pada dasarnya terbatas, hal ini selaras dengan terbatasnya sumber daya alam. Tapi yang menjadi masalah, keinginan manusia tidak terbatas. Keinginan yang tak terbatas inilah sesungguhnya yang berpotensi menimbulkan problema ekonomi.

Menurut Islam, keinginan manusia itu harus dibatasi dengan nilai-nilai syariah seperti halal dan haram, zuhud, qana'ah (pola hidup sederhana), dan shadaqah (memberi barang dan jasa). Sehingga dalam kehidupan yang islami, roda ekonomi berputar dengan stabil dan harmonis. Bila lambat tidak sampai mogok, bila cepat tidak ngebut. Yang lebih penting lagi tidak merusak tatanan alam dan kemanusiaan.

Ekonomi liberal tidak mengenal nilai-nilai tersebut sehingga sejatinya berorientasi pada pemenuhan keinginan manusia yang tidak terbatas itu. Roda ekonomi liberal berputar dengan keinginan (hawa nafsu) manusia sebagai motor penggeraknya, bukan kebutuhan manusia. Konsekwensinya (karena keinginan manusia tak kenal batas) roda ekonomi harus terus berputar kencang dan semakin kencang mengejar angka pertumbuhan, hingga suatu saat roda ekonomi pasti akan aus dan rusak dengan sendirinya. Maka terjadilah kerusakan di muka bumi.

Produksi dan konsumsi terus dipacu melahirkan konsumtifisme (budaya belanja di luar kebutuhan) yang terus dipupuk oleh para produsen untuk mencari keuntungan hingga ke tingkat hedonisme (asal senang). Anda tahu, sebagian besar peredaran uang di dunia ini berada dalam bisnis entertainment (hiburan) bahkan bursa seks dan bandar narkoba. Sangat kontras dengan masih besarnya populasi manusia yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan dan kemelaratan. Industrialisasi mengganas menjadi industrialisme (eksploitasi sumber daya alam secara rakus demi kepentingan industri). Hal ini menuntut modal yang sangat besar sehingga melahirkan kapitalisme (penumpukan modal di tangan segelintir orang) yang menyuburkan sistim riba.

Berhubung industrialisme dan kapitalisme tidak juga cukup untuk terus menambah kencang laju pertumbuhan ekonomi, maka mereka pun menempuh jalur primitif imperialisme (penjajahan). Itulah makna "oil for food" yang secara eksplisit dicanangkan oleh PBB dan "war for oil" yang secara implisit digelar oleh Amerika. Kedua-duanya adalah kuda tunggangan Yahudi, sang sutradara ekonomi liberal!

Itulah sekedar ilustrasi singkat perbedaan antara ekonomi yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam dan yang tidak. Baru pada tataran definisi ekonomi saja sudah tampak jelas adanya perbedaan visi dan misi serta konsekwensi-konsekwensinya.

Distribusi (penyaluran barang dan jasa) menurut Islam terdiri dari tiga mekanisme yakni pemberian, pertukaran dan peminjaman. Mekanisme "pemberian" harus berlangsung satu arah (dari si pemberi kepada yang diberi) tanpa si pemberi mengharap sesuatu dari yang diberi (hanya mengharap pahala dari Allah).

Demikian pula halnya mekanisme "peminjaman", bedanya di sini tidak terjadi perubahan status kepemilikan. Pemberi pinjaman tidak boleh mengambil dan mengharap imbalan barang/jasa sekecil apapun dari orang yang diberi pinjaman, karena itulah yang dinamakan riba.

Kedua mekanisme distribusi tersebut (pemberian dan peminjaman) sangat digalakkan oleh Islam, sebagaimana Islam sangat menggalakkan jual-beli dan perdagangan (mekanisme "pertukaran"). Bagaimana mungkin seseorang bisa memberi dan meminjami kalau dia tidak memiliki kelebihan harta yang didapat lewat bekerja dan berniaga?

Jadi antara pertukaran, pemberian dan peminjaman berjalan secara seimbang dan harmonis. Sedang distribusi dalam ekonomi liberal lebih berorientasi pada bisnis perdagangan. Sampai-sampai lahan mekanisme pemberian dan peminjaman pun dicaplok dan dimasukkannya ke dalam mesin perdagangan untuk menghasilkan uang. Itulah sistim riba!

Makanya, saya tidak mau menyangkal bank sebagai institusi ekonomi yang lahir di era dominasi ekonomi liberal sebagai tuntutan kapitalisme. Apanya yang perlu dikagumi dari bank selain jumlahnya yang menjamur bak cendawan di musim hujan? Dan setiap saat bisa kollaps bagaikan dedaunan di musim gugur?

Saya lebih kagum dan bangga dengan institusi "baitul maal" yang dicetuskan oleh ijtihad khalifah Umar bin Khattab. Baitul maal --mudah-mudahan seperti yang dikelola oleh Dompet Dhuafa dan lembaga amil zakat nasional lainnya-- adalah bagian dari sistem ekonomi yang berperan sangat penting dalam menciptakan kestabilan ekonomi.

Celakanya, bagi sebagian ekonom dan pengamat ekonomi yang kemaruk, terkadang hanya membatasi pembicaraan tentang ekonomi di lingkup perbankan, pengusaha dan perdagangan semata. Bukankah begitu, Ulil?

Wassalam
Yusuf Anshar

1 comment:

Anonymous said...

ekonomi islam adalah alternatif karena dibangun dari fundamental ekonomi yang sangat berbeda, kalau tidak mau dikatakan terbalik.
1. surat dan ayat yang digunakan ulil adalah ingin menjelaskan moral dan etika bertransaksi.
2. ayat-ayat sosio ekonomi lain adalah berbagi, memberi, berinfaq, sadaqah - yang intinya adalah soal distribusi kekayaan, dengan prinsip ini bisa diartikan ekonomi dibangun bukan dari "kelangkaan" karena rahmat Tuhan berlimpah.
3. kalau kita lihat instrumen murabaha, mudharaba, musyaraka, akan sangat berbeda bila dikaitkan dengan epistemologi Tauhid yang mendasatrnya. terbalik dengan kapitalisme yang mengutamakan individualisme maka dalam ketiga instrumen diatas initnya adalah kerja-sama, koperasi,untuk maslahat bersama.
4. prinsip-prinsip perikehidupam muamalat yang masih perlu digali dari al-quran seperti circular causation variabel sosio-ekonomi, prinsip berpasangan (tuples) dalam berinteraksi sosial.
5. woldview atau wawasan dunia yang mendasari perikehidupan masyarakat Islam yang intinya adalah Tauhid - yang kemudian diturunkan epistemologi yang memfasilitasi kehidupan ummat yang saling berinteraksi, berintegrasi dan dan berevolusi kreatif menuju kehidupan moril materil yang lebih baik.
6. hanya dengan epistemologi Tauhid sebagai pandangan hidup dapat terususn tatanan dunia islam.(world system- see masudul alam choudhury, explaining the qur'an, a sosio-scientific inquiry)