21 June 2007

Korupsi Hanya Bisa Diatasi oleh Syariah Islam

Buleti Al Islam Edisi 359

KORUPSI HANYA BISA DIATASI

OLEH SYARIAH ISLAM

Laporan Transparency International-Indonesia (TII) beberapa waktu lalu tentang IPK (Indeks Persepsi Korupsi) memberikan gambaran betapa sulitnya membertantas korupsi di negeri ini. Para pengusaha yang menjadi responden TII tersebut mengungkapkan, bahwa insiatif suap justru lebih banyak dilakukan aparat. Lembaga Peradilan adalah yang paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap. Nilainya hingga 100%. Lebih dari 4 dari 10 keluarga di Indonesia harus menyuap demi memperoleh keadilan. Bea cukai berada pada urutan kedua dengan angka 95%, Imigrasi 90%, BPN 84%, Polisi 78%, dan Pajak 76%.

Di Pemda, Dinas Tenaga Kerja, sebagaimana dilaporkan oleh kalangan pelaku usaha, tingkat inisiatif suapnya hingga 84%; disusul Dinas Kimpraswil 82%; pengurusan izin usaha 82%. Hampir seluruh urusan di negeri ini akan sulit jika tanpa uang pelicin. Seorang pengusaha dari Surabaya “menitipkan pesan”, bahwa untuk meloloskan 3 kapal yang bermuatan kayu sampai ke gudang, mereka harus merelakan 2 kapal penuh muatan kayu sebagai “tiket masuk pelabuhan”.

Tekad berbagai kalangan, termasuk Pemerintah, untuk memberantas korupsi sepertinya tidak mengurangi kecepatan laju korupsi. Korupsi di negeri ini kian menggurita; mulai dari tingkat pusat sampai ke pelosok. Bantuan Pemerintah Pusat melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM–Infrastruktur Pedesaan (PKPS BBM-IP) tahun 2005 dan Program Peningkatan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) tahun 2006 senilai Rp 250 juta/desa dinilai beberapa kalangan memicu korupsi baru di tingkat desa (RoL 27/05/07). Motifnya pun sekarang semakin beragam. Penerima suapnya juga semakin banyak. Di era reformasi ini, kita menemukan istilah korupsi berjamaah.

Mengurai Akar Masalah

Pertama: Secara sistemik, sistem kapitalis dengan “politik dagang sapinya” menjadi pemicu tindak kejahatan luar biasa ini, baik langsung maupun tidak langsung. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mencapai kedudukan politik saat ini diperlukan modal besar. Kasus mengalirnya dana nonbujeter DKP adalah bukti kongkret betapa mahal jalan menuju kursi kepemimpinan dalam sistem ini. Rokhmin Dahuri dalam koran Republika 28/05/07 mengungkapkan bahwa semua capres menerima dana DKP. Selain dari dirinya, sejumlah menteri juga memberi bantuan dana nonbujeter kepada tim sukses para capres. “Lobi-lobi politik” yang bermuara pada kesepakatan materi maupun jabatan politik adalah wajah lain dari tindak korupsi. Secara tegas Harian Media Indonesia tanggal 08/06/07 yang lalu mewartakan, bahwa Pilkada dengan calon dari partai hanya meloloskan calon yang punya uang.

Masyarakat banyak tentu yang paling dirugikan. Dana yang selayaknya untuk keperluan masyarakat, beralih kepada individu koruptor. Selama 30 tahun terakhir, sedikitnya ada US$ 40 miliar anggaran pembangunan yang masuk ke kocek pribadi karena perilaku korupsi (Media Indonesia, 31/03/2002). Setiap tahun, lebih dari US$ 1 triliun (lebih dari Rp 8.000 triliun) habis dibayarkan sebagai uang suap dalam berbagai bentuk, terutama di negara-negara berkembang (Forum Keadilan, No. 41, 26 Februari 2007).

Perilaku para elit politis pada akhirnya tidak jauh beda dengan seorang “investor” yang melakukan investasi dari “industri politik”-nya. Konsekuensinya, dalam masa jabatannya, mereka akan berusaha semaksimal dan sesingkat mungkin untuk mengembalikan dana “investasi” tersebut. Ini sudah menjadi keniscayaan dalam sistem politik kapitalis. Bahkan arah sistem pemerintahan dengan model “cooporate state” semakin membuktikan fenomena ini. Jika dulu para kapitalis hanya berada di belakang layar aktor politik, sekarang mereka langsung duduk dalam jabatan strategis politik tersebut. Di Amerika Serikat, misalnya, Selain W. Bush, para petinggi AS sekarang hampir semuanya adalah pebisnis. Ada wakil Presiden Dick Cheney (mantan CEO Halliburton, pengusaha jasa minyak terbesar di dunia). Menteri LN Condoleeza Rice (mantan direksi Chevron), dan Menteri Perdagangan Don Evans (mantan CEO Tom Browns Inc, perusahaan minyak dan gas beraset miliaran dolar). Di negeri ini, sejumlah petinggi/pejabat negara adalah pengusaha.

Kedua: Secara personal terletak pada pelaku atau manusianya. Banyak pribadi yang tidak bertakwa sehingga tidak amanah dalam menjalankan tugas. Sebagus dan sebanyak apa pun aturan yang dikeluarkan untuk memberantas korupsi, jika pelakunya tidak amanah, UU dan aturan tersebut tidak pernah efektif. Sejak reformasi saja, telah keluar 2 TAP MPR, lima UU ditetapkan, lima PP dikeluarkan, satu Kepres dan satu Inpres telah ditandatangani. Namun, korupsi tetap jalan. Bahkan ada kesan bahwa UU yang ada justru untuk melindungi para koruptor.

Dengan individu yang seperti ini, batasan korupsi pun semakin kabur. Prof. Andi Hamzah (Ketua Tim penyusun RUU Pemberantasan Tipikor, Guru Besar Luar Biasa Pasca Sarjana Hukum Pidana Iniversitas Indonesia) pernah diprotes para pelaku penegak hukum karena mengatakan bahwa korupsi bukan merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Bagi kebanyakan rakyat, korupsi bahkan sudah menjadi kegiatan yang amat biasa dan karena itu tidak perlu dipermasalahkan.

Secara inividu pula, gagalnya penanganan kasus korupsi adalah karena pelaku korupsi itu sering para penegak hukum itu sendiri. Bagaimana mungkin penyelesaian korupsi akan kita harapkan dari pihak yang melakukan, yang memberikan fasiliatas dan “memelihara” tindak korupsi itu sendiri?

Yang paling menyakitkan rakyat banyak adalah, jika “kejahatan sosial politik ini” diselesaikan secara “politik”. Selama dua periode Pemerintahan, kasus dana BLBI senantiasa diselesaikan secara politik. Dalam majalah GATRA No. 27 thn XIII, 17-23 Mei 2007, Abdurahman Saleh mengungkapkan, semasa Presiden Megawati dikeluarkan surat keterangan lunas bagi para obligor BLBI. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, kasus BLBI diselesaikan melalui skema “master settlement and acquisition agreement” (MSAA).

Solusi Islam

Secara filosofis, jabatan politik dalam Islam adalah amanah yang ditujukan untuk melayani rakyat dan menerapkan syariah Islam. Rasulullah saw. mengungkapkan bahwa setiap pemimpin dalam suatu wilayah adalah layaknya seorang penggembala, yang akan diminta tanggung jawabnya di hadapan Allah atas masyarakat yang dipimpinnya.
Posisi politik demikian tidak akan “menjanjikan” secara materi. Karena itu, menuju kedudukan politik tidak perlu menguras harta yang besar. Sistem baiat dalam pengangkatan Khalifah jauh berbeda dengan “pesta demokrasi” yang digelar dalam sistem kapitalis dengan biaya yang besar.

Tidak ada kamus “balik modal” bagi seorang politisi Muslim dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya. Agar tugas tersebut bisa optimal dan profesional dilakukan, pejabat negara berhak mendapat santunan yang layak untuk mereka dan keluarganya. Khalifah Abu Bakar, misalnya, diberi harta dari Baitul Mal sebagai santunan dari kompensasi bisnis yang dia tinggalkan ketika menjabat sebagai khalifah.

Dengan pilar seperti ini, kepala negara dapat melaksanakan sistem politik Islam secara menyeluruh. Negara dapat melakukan perombakan yang besar-besaran terhadap birokrasi jika dinilai korup. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz pada awal pemerintahannya bisa menjadi teladan yang menarik. Al-Laits berkata, “Tatkala Umar bin Abdul Aziz berkuasa, dia mulai melakukan perbaikan dari kalangan keluarga dan familinya serta membersihkan hal-hal yang tidak beres di lingkaran mereka. Kepada istrinya Khalfah Umar mengatakan, ‘Pilihlah olehmu, engkau mengembalikan harta perhiasan ini ke Baitul Mal atau izinkan aku meninggalkanmu untuk selamanya.’” (Tarikh al-Khulafa’, Imam As Suyuthi, hlm. 274).
Lingkungan birokrasi yang demikian akan memudahkan seorang Muslim menunjukkan jatidiri keimanannya dalam aktivitas keseharian. Larangan Islam tentang suap, larangan bagi pejabat menerima “hadiah”, hingga penerapan hukum yang tegas akan mudah terealisasi.
Terkait dengan larangan menyuap, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. telah menegaskan:

«لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ»
Allah melaknat penyuap dan penerima suap di dalam kekuasaan. (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Tentang “hadiah” seseorang kepada pejabat negara, Rasulullah saw. menamakannya dengan istilah “ghulul” atau “shut”, yakni harta haram. Rasulullah saw. bersabda:

«هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ»
Hadiah yang diterima para penguasa adalah ghulul (harta haram). (HR Ahmad dan al-Baihaqi).

Dalam sistem Islam, penegakkan hukum akan efekif karena secara i’tiqadi para penegak hukum melakukan ibadah ketika menerapkan hukum (Islam). Dalam masa keemasan Islam, bahkan kesadaran penegakan hukum bukan hanya disadari oleh pelaku penegak hukum, namun terpidana hukum pun dengan dorongan keimanan, rela diterapkan hukuman atas dirinya, karena itu merupakan penebus (jawabir), agar dia tidak dihukum lagi di akhirat dengan hukuman yang lebih berat dan pedih.

Wahai kaum Muslim:

Sudah sepatutnya disadari oleh kaum Muslim, bahwa penerapan syariah Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah adalah prasyarat utama bagi terealisinya solusi Islam dalam menangani masalah korupsi ini. Atas dasar keimanan, dan realitas yang ada, kita yakin bahwa korupsi tidak akan pernah teratasi kecuali dengan penerapan syariah Islam.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [].

KOMENTAR:
Prostitusi Pelajar di Kediri: Banyak tak perawan sejak SMP (Detik.com, 12/6/07).
Na‘udzu billâh! Sudah banyak bukti semacam ini. Masihkah penguasa cuma diam saja?!

Selanjutnya

07 June 2007

Kapitalisme: Biang Krisis Berulang

Buletin Al Islam Edisi 355

KAPITALISME: BIANG KRISIS BERULANG

Halaman utama Republika (11/5/2007) memuat judul berita, “Situasi Saat Ini Mirip Krisis”. Judul berita tersebut merupakan kutipan langsung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah konferensi pers. Sebenarnya pernyataan yang disampaikan hanyalah oleh-oleh Ibu Menteri setelah mengikuti pertemuan internasional dengan para pejabat Bank Pembangunan Asia (ADB) dan konsultan asing di Kyoto-Jepang. Dalam pertemuan tersebut para pejabat ADB menjelaskan hasil analisisnya, bahwa kondisi negara-negara Asia saat ini sudah mirip kondisi tahun 1997.

Hari berikutnya, Menko Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia (BI) membantah pernyataan Menteri Keuangan. Konon bantahan tersebut disampaikan setelah Tim Ekonomi dipanggil Presiden SBY dan Wapres JK yang tidak sepakat dengan pernyataan Menteri Keuangan.

Banyak hal yang penting dicermati dari berita tersebut. Pertama: kabar bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan karena situasinya sudah mendekati krisis jelas membuat rakyat resah. Tahun ini, sepuluh tahun setelah Indonesia dilanda krisis yang amat dalam tahun 1997/1998, masyarakat masih merasakan dampak buruk yang ditimbulkan oleh krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi tersebut. Kesempatan untuk mencari pekerjaan jauh lebih sulit dibandingkan dengan sebelum krisis. Kesejahteraan masyarakat bawah juga lebih buruk daripada sebelum krisis akibat laju kenaikan harga-harga barang yang lebih cepat dibandingkan dengan laju pendapatan masyarakat. Rezim berubah, tetapi kondisi rakyat tidak beranjak.

Kedua: sesungguhnya apa yang disampaikan Menteri Keuangan tentang kondisi ekonomi yang cukup mengkhawatirkan bukanlah isu baru. Para ekonom domestik yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit telah menyampaikan kekhawatiran akan terjadinya kembali krisis ekonomi. Sejak Januari peringatan tersebut telah diberikan. Bahkan Tim Ekonomi sudah diminta untuk segera mengubah haluan kebijakan ekonominya untuk menghindarkan Indonesia dari krisis moneter dan krisis ekonomi. Sayang, peringatan para analis dalam negeri masih tetap dianggap angin lalu oleh Tim Ekonomi SBY-JK. Mereka bahkan dengan segera memberikan sanggahan-sanggahan. Baru setelah hasil analisis yang sama disampaikan oleh para pejabat ADB dan konsultan asing dalam forum yang dihadiri Menteri Keuangan se-Asia, para menteri ekonomi pun bisa menerima. Benar-benar mental inlander (terjajah) masih sangat kental. Sungguh, asing dianggap segala-galanya. Jika untuk menganalisis kondisi ekonomi negara sendiri pun harus menunggu pendapat apa kata pejabat asing, apalagi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi.

Ketiga: ketidakkonsistenan pernyataan para pejabat tinggi tentang kondisi ekonomi yang sesungguhnya telah menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang lemah. Pernyataan pejabat negara, apalagi setingkat menteri, jelas bukan hal biasa karena akan berdampak besar di masyarakat. Jika menurut para menteri ekonomi kita tidak perlu mengkhawatirkan kondisi ekonomi, mengapa analis dan ekonom dalam dan luar negeri justru menyimpulkan yang sebaliknya? Bukankah ini tidak lebih dari sekadar menutupi kebobrokan yang makin hebat? Rakyat boleh jadi diam, tetapi di akhirat Allah Swt. pasti memintai pertanggungjawaban. Tidakkah para pejabat takut akan hisab Allah, Zat Yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa?

Potensi Krisis

Apa yang sebenarnya terjadi dengan ekonomi Indonesia? Benarkah krisis bisa kembali terjadi? Apa indikator-indikator yang menunjukkan hal bahwa koreksi ekonomi akan terjadi?
Pertama: hampir semua negara yang pernah terkena krisis berpotensi untuk kembali dilanda krisis. Apalagi jika sembuhnya ekonomi dari krisis bersifat semu karena hanya ditopang oleh utang luar negeri, bukan oleh kinerja ekspor atau investasi. Seperti diketahui, ”dokter” krisis moneter dunia adalah adalah Lembaga Moneter Internasional (IMF). Siapapun negara yang menjadi pasiennya, apapun karateristik sosial-ekonominya, resep yang diberikan sama: mengguyur dengan utang dan mendorong perombakan struktur ekonomi di berbagai sektor agar lebih terintegrasi dengan ekonomi global yang sarat dengan kepentingan negara besar.
Fakta membuktikan, bahwa banyak pasien IMF yang hanya sembuh sementara, kemudian kambuh kembali sehingga akhirnya menjadi pasien kambuhan. Banyak contoh kasus di Amerika Latin dan Afrika. Sebagai contoh, Argentina yang telah menjadi pasien kambuhan IMF sejak 1970-an kembali menghadapi krisis yang dahsyat pada tahun 1999. Dampak dari krisis semakin dalam karena kondisi keuangan negara sudah semakin terperangkap utang dan aset-aset negara telah habis akibat diprivatisasi. Hal yang sama terjadi pada Brazil, Paraguay, Turki, Rusia, dan sebagainya.

Bagaimana dengan Indonesia? Sejak pemerintah Orde Baru mengundang IMF, resep beracun mereka kita telan. Berbagai konsep konservatif ala Washington Consensus telah diadopsi seperti: anggaran ketat dengan menambah utang dan memangkas berbagai subsidi; liberalisasi yang luar biasa di sektor keuangan, industri dan perdagangan; serta privatisasi brutal kepada asing yang mengakibatkan kerugian besar baik secara finansial maupun ekonomi.

Sayang, meskipun kerjasama dengan IMF telah berakhir dan utang IMF telah terbayar, tim ekonomi andalan Presiden SBY-JK masih tetap melaksanakan tiga konsep utama IMF, yakni menambah utang luar negeri dari Bank Dunia dan ADB serta utang dalam negeri lewat penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) untuk membiayai anggaran. Privatisasi pun masih terus dilakukan. Bahkan Sofyan Djalil, menteri BUMN yang baru, telah menegaskan untuk memprivatisasi seluruh BUMN dalam waktu cepat. Belum lagi liberalisasi yang semakin gencar dilakukan oleh Menteri Perdagangan baik dalam investasi seperti pengesahan UU Penanaman Modal maupun dengan membuka lebar impor barang-barang strategis seperti beras dan gula, dll. Padahal semua itu terbukti menimbulkan krisis selama ini.

Kedua: krisis mungkin terjadi karena saat ini Indonesia mengalami stabilitas makroekonomi semu, yang bukan didukung oleh meningkatnya daya saing maupun produktifitas di sektor riil. Tingginya cadangan devisa, salah satu indikator makroekonomi yang melonjak tajam, bukanlah prestasi besar karena itu terjadi akibat masuknya hot money. Dana-dana jangka pendek dengan deras masuk ke Indonesia karena adanya kelebihan likuiditas di pasar global. Besarnya hot money yang masuk ke pasar uang Indonesia inilah yang membahayakan ekonomi. Sektor finansial telah mengalami pertumbuhan yang berlebihan. Kue ekonomi membesar tetapi hanya menghasilkan ekonomi gelembung (bubble economy), bukan ekonomi riil, sehingga dapat meledak sewaktu-waktu. Ternyata, kekhawatiran akan kembalinya krisis memang cukup beralasan.

Mengapa Terjadi?

Secara faktual dan syar‘i, kondisi ini terjadi akibat kebijakan-kebijakan Pemerintah yang didasarkan pada ekonomi kapitalis. Dasarnya adalah: Pertama, menjadikan riba sebagai tulang punggung perekonomian. Tidak aneh jika 30% anggaran negara digunakan untuk membayar bunga utang. Jumlah ini jauh di atas anggaran pendidikan. Semakin banyak utang luar negeri, kehidupan kita makin terpuruk dan terjerat rentenir dunia. Ribalah di antara penyebab krisis dan ketidakstabilan. Allah Swt. berfirman:

Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka itu adalah karena mereka berpendapat, sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275).

Kedua, bursa saham. Saat ini di Indonesia, sektor finansial/non-riil yang ribawi lebih dominan dibandingkan dengan sektor riil yang justru semestinya digarap. Di sektor finansial ini hanya ada sekitar 20.000 pemain yang sebagian besarnya adalah asing. Padahal yang dapat menjadikan rakyat sejahtera adalah sektor riil. Modal dari luar negeri yang masuk atas nama investasi pun justru tidak bergerak di sektor riil. Jadi, mudah dipahami mengapa kebijakan ekonomi selama ini tidak memberikan perbaikan kesejahteraan bagi rakyat banyak meskipun Pemerintah mengklaim ekonomi telah membaik. Pada sisi lain, bursa saham tidak lebih dari ”judi besar” yang dilegalkan. Ingatlah firman Allah Swt.:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan (QS al-Maidah [5]: 90).

Ketiga, mata uang yang tidak berdasarkan pada emas dan perak melainkan pada dolar. Jenis uang seperti ini tidak memiliki nilai intrinsik sehingga akan mudah terguncang karena perubahannya terhadap dolar. Padahal perubahan tersebut tidak semata akibat faktor ekonomi, melainkan politik. Krisis di Indonesia tahun 1997/1998 adalah karena adanya gerakan boyong dolar ke luar negeri.

Islam memerintahkan agar mata uang yang beredar berbasis emas dan perak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya larangan menimbun emas dan perak (QS at-Taubah [9]: 34), dikaitkannya berbagai hukum dan sanksi dengan emas dan perak (HR Ashabus sunan), serta fakta bahwa Rasulullah saw. menetapkan hukum transaksi dengan menggunakan emas dan perak (HR al-Bukhari dan Muslim).

Wahai Kaum Muslim:

Jelaslah, krisis dapat terulang. Selama sistem ekonomi Kapitalisme yang diterapkan, selama itu pula krisis tak akan hilang. Karenanya, sudah saatnya kita meninggalkan sistem ekonomi kapitalis seraya menegakkan sistem ekonomi Islam. Sudah waktunya kita melawan Kapitalisme global, lalu mewujudkan sistem Khilafah sebagai alternatif tunggal yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam. []

KOMENTAR AL-ISLAM:
Sejumlah BUMN Siap di-Go Public-Kan (baca: dijual) (Eramuslim.com, 14/5/07).
Ingat! Mayoritas BUMN Plus saat ini—yang sejatinya milik rakyat—sahamnya sudah dikuasai asing (Eramuslim.com, 23/2/06).

Selanjutnya

09 May 2007

Reshuffle Kabinet Bukan Solusi Mendasar

Buletin Al Islam Edisi 354

Setelah ditunggu-tunggu sejumlah kalangan, kemarin (Senin, 7/5/07), Presiden SBY secara resmi akhirnya mengumumkan hasil reshuffe terbatas Kabinet Indonesia Bersatu. Sebelumnya, sejumlah media telah melansir isu reshuffle kabinet di Indonesia, khususnya setelah pernyataan pers yang disampaikan Presiden di Bogor, Jawa Barat (15/04/2007).

Dari sejumlah komentar terkait dengan masalah ini, terdapat komentar KH Hasyim Muzadi (19/04/2007) yang menyatakan, bahwa reshuffle itu harus lebih baik dan bukannya malah lebih buruk. Presiden PKS (20/04/2007) juga menyatakan, bahwa reshuffle tersebut penting segera dilakukan di bidang ekonomi, karena kondisi ekonomi dalam keadaan stagnan. Ada juga komentar yang bernada pesimis dari peneliti LIPI, Syamsuddin Haris (19/04/2007), yang menyatakan bahwa reshuffle kabinet tersebut tidak akan memberikan solusi apapun, karena kita telah melakukannya, dan reshuffle juga pernah kita lakukan pada akhir tahun 2005, namun kondisi pemerintahan tidak lebih baik dari sebelumnya.

Memang benar, ada masalah besar. Masyarakat secara umum juga merasakan beban ekonomi, sebagai dampak dari masalah tersebut. Biro Pusat Statistik telah mempublikasikan, bahwa jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 2005 sebanyak 30 juta jiwa, dan pada tahun 2006 naik menjadi 39,5 juta jiwa. Bahkan, Bank Dunia mengatakan bahwa di Indonesia terdapat 110 juta orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Padahal, di Bank Indonesia terdapat uang sebanyak Rp 210 triliun yang mandeg dan tidak diputar di tengah masyarakat. Negara pun harus membayar bunganya kepada para nasabah, tanpa bisa memanfaatkannya untuk menggerakkan roda perekonomian di Indonesia. Negara juga terpaksa membelanjakan Rp 744 triliun untuk membayar utang sebelumnya berikut bunganya, atau sebesar 30% APBN. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan keamanan secara keseluruhan.

Pemerintah mengklaim telah mengerahkan segenap daya dan upaya untuk memperbaiki kondisi yang ada. Namun, alih-alih menjadi lebih baik, kondisinya justru semakin memburuk. Masyarakat pun semakin gerah dan pesimis, termasuk para menteri dan mereka yang duduk di pemerintahan. Harian Republika (19/04/2007), misalnya, telah menurunkan laporan bahwa ada 13 menteri (dari 35 menteri) terkena serangan jantung atau stroke. Karena itu, salah seorang pendukung rezim ini mengatakan (15/04/2007), "Kegagalan Presiden Yudhoyono untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat akan menyebabkan mereka putus asa terhadap demokrasi, setelah keputusasaan dan pesimisme tersebut menjangkiti seluruh lapisan masyarakat."

Wahai Kaum Muslim di Indonesia:

Masalahnya sesungguhnya bukan hanya terletak pada orangnya, juga bukan hanya pada bidang ekonomi saja. Sesungguhnya akar masalahnya ada pada pondasi sistem yang mengakar di tengah masyarakat, juga terletak pada diri mereka yang disebut sebagai penguasa, intelektual dan para pakar—meski hakikatnya mereka bukanlah penguasa, intelektual dan para pakar; karena mereka hanyalah orang-orang yang mengekor Barat secara membabi buta. Allah SWT berfirman:

قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى(123)وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ
مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka siapa saja yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka; siapa saja berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 123-124).

Masalah seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir merata di seluruh negeri Islam yang lain, bahkan seluruh negara yang disebut sebagai Dunia Ketiga. Para penguasa di Dunia Ketiga—termasuk di dalamnya negeri-negeri Islam—tidak percaya, baik kepada diri mereka sendiri, para intelektual, maupun pakar-pakar mereka. Mereka hanya percaya kepada para pakar dari Barat dan nasihat-nasihat mereka. Padahal sudah diketahui, Barat bertindak berdasarkan asas manfaat secara individualistik. Negara-negara Barat juga tidak pernah mempunyai nasihat yang jujur. Sebaliknya, mereka justru menyesatkan siapa saja yang meminta nasihatnya. Tujuannya adalah untuk merampas kekayaan dunia dengan cara-cara yang lunak, jika mereka bisa; jika tidak bisa, mereka pun menggunakan cara-cara berdarah dan destruktif jika memang mengharuskan seperti itu. Persis seperti yang telah dan tengah dilakukan oleh Amerika saat ini di Irak, Afganistan, Somalia, dan Sudan…Terpecahnya wilayah Indonesia juga tidak jauh dari makar mereka. Namun, dengan izin Allah, makar mereka akan kembali membinasakan mereka sendiri.

Berbagai nasihat menyesatkan yang diberikan oleh negara-negara Barat penjajah di bidang ekonomi adalah seperti privatisasi kekayaan yang dikelola oleh negara (BUMN), dan keharusan adanya investasi asing. Umumnya, penjualan kepemilikan negara dan kepemilikan umum itu dilakukan kepada perusahaan-perusahaan asing, karena mereka memiliki modal, sementara rakyat negeri ini sendiri miskin, dan hanya memiliki sedikit modal. Ketika perusahaan-perusahaan asing itu datang untuk menanamkan modalnya di dalam negeri, mereka menuntut dibuatnya berbagai perundangan khusus untuk mereka, yang membebaskan mereka dari pajak, serta membolehkan mereka untuk memasukkan dan mengeluarkan apa saja yang mereka peroleh. Mereka juga berhak menyelesaikan berbagai sengketa dengan negara tuan rumah, bukan dengan undang-undang negara ini, melainkan dengan undang-undang tersendiri yang telah dibuat, atau dengan menggunakan undang-undang internasional.

Negara-negara asing yang menjadi induk perusahaan-perusahaan ini juga bisa melakukan intervensi, jika memang diperlukan, untuk melindungi hak-hak yang menjadi konsesi perusahaan-perusahaan tersebut. Akhirnya, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut benar-benar menguasai perekonomian dunia, dan atas jaminan dari undang-undang perdagangan internasional yang dipaksakan oleh Amerika atas nama globalisasi. Globalisasi inilah yang juga telah membuka peluang negara-negara kaya untuk meningkatkan cengkeraman mereka terhadap negara-negara miskin dan menjadikannya semakin miskin, membebek dan tunduk. Allah SWT telah memperingatkan kita akan hal itu dengan firman-Nya:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin. (QS an-Nisa’ [4]: 141).

Saat ini, Indonesia telah membuat undang-undang penanaman modal yang baru. Lalu apa gunanya reshuffle menteri dengan menteri yang lain, betapapun hebatnya kemampuan sang menteri itu, jika dia ditempatkan di dalam sebuah sistem yang akan membuatnya menyeleweng, sementara dia sendiri tidak mampu mempengaruhi sistem tersebut? Itu tak ubahnya seperti ungkapan penyair:

ألقاهُ في اليَمِّ مكتوفاً وقال له: إيّـاكَ إيّـاكَ أن تَبْتَلّ بالماءِ

Dia melemparnya ke laut dengan tubuh terikat dan berkata kepadanya:
Hati-hati, air itu akan membasahimu!

Allah SWT telah mengingatkan kita dengan firman-Nya:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

(Yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus. Karena itu, ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain),karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertakwa. (QS al-An‘am [6]: 153).

Indonesia adalah negara besar dan kaya. Indonesia mempunyai tangan-tangan terampil yang rajin dan murah. Indonesia juga bisa menjadi pasar konsumen yang bisa digunakan untuk menjual hasil-hasil pertanian, industri dan perdagangannya; tentu jika semuanya itu berjalan mengikuti sistem yang benar serta pemerintahan yang ikhlas dan terbebas dari penyesatan para pakar asing itu. Sayang, pada masa Soeharto, misalnya, Indonesia telah mengikuti berbagai rekomendasi Bank Dunia dan IMF hingga mata uang dan perekonomiannya terperosok. Namun, semuanya itu tidak membuatnya sadar dan menjadi pelajaran. Mereka yang disebut pakar dan intelektual di Indonesia dan Dunia Ketiga selalu memandang negara-negara Barat sebagai negara yang sukses secara ekonomi.

Sebabnya, pendapatan perkapita di sana mencapai 20 atau 30 kali lipat pendapatan perkapita di negara-negara Dunia Ketiga. Karena itu, mereka (para pakar dan intelektual) pun segera mengambil nasihat dan masukan dari negara-negara Barat tersebut. Mereka tidak tahu, bahwa pendapatan tinggi negara-negara Barat, yang paling besar, adalah hasil penjajahan mereka terhadap kita dan perampokan mereka terhadap kekayaan alam kita; juga dari larangan terhadap negeri kita untuk menjadi negara industri agar tetap menjadi pasar bagi produk-produk industri mereka. Mereka mengambil bahan-bahan mentah dari negeri kita dengan harga semurah-murahnya dan menjualnya kembali kepada kita dalam bentuk produk industri dengan harga setinggi-tingginya. Jadi, kemakmuran ekonomi di Barat bukanlah merupakan bukti atas kesahihan sistem ekonomi mereka, tetapi itu justru mebuktikan perampokan mereka terhadap kekayaan alam kita dan larangan mereka terhadap para penguasa kita untuk membangun industri berat, serta menghalang-halangi negeri kita agar tidak terbebas dari belenggu penjajahan mereka.

Wahai Kaum Muslim di Indonesia dan di Seluruh Dunia:

Kita saat ini berpeluang untuk menjadi negara adidaya di dunia. Sungguh, umat Islam pernah menduduki posisi negara adidaya dunia selama berabad-abad ketika berada di bawah naungan satu negara (Khilafah). Allah SWT benar-benar telah menghendaki umat ini menduduki posisi tersebut, berdasarkan firman-Nya:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kemakrufam dan kemungkaram, dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imran [3]: 110).

Sesungguhnya Allah telah memuliakan kita dengan risalah Islam. Allah telah memerintahkan kita agar menjadi pemimpin dunia. Allah telah memuliakan kita dengan menjadikan negeri kita kaya akan berbagai kekayaan materi yang dibutuhkan oleh dunia. Allah juga telah menjadikan kita berada pada posisi strategis yang menentukan kepemimpinan dunia. Secara kuantitatif, jumlah (demografi) kita juga cukup untuk memimpin dunia. Ketika umat Islam memimpin dunia, umat ini tidak memimpin dunia untuk menumpahkan darah, merampok kekayaan alamnya dan menghinakan dunia. Namun, umat ini memimpinnya untuk mengubah dunia dari kegelapan menuju cahaya, dari kesesatan menuju petunjuk, dan dari kenestapaan menuju kebahagiaan. Allah SWT telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa risalah ini sebagai rahmat bagi seluruh dunia (rahmatan lil ‘alamin):

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tiadalah kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Lalu, apakah kita masih memiliki keimanan dan keinginan kuat seperti ini, dan bersedia menyambut seruan Rabb kita?

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika dia menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (QS al-Anfal [8]: 24). []

KOMENTAR AL-ISLAM:

Reshuffle Abaikan Kesejahteraan (Republika.co.id, 8/5/2007).

Reshuffle memang tidak akan menjamin kesejahteraan rakyat selama kita tetap mempertahankan sistem yang kapitalistik.

Selanjutnya

Islam Liberal Tentang Pindah Agama

Posting ini merupakan rekaman diskusi via surat elektronik (email) antara seorang awam (Yusuf Anshar) dengan seorang intelek liberal yang tidak lain adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Baca Komentar "orang awam" atas tulisan Ulis di bagian bawah posting
Sumber:pakdenono.com

Salam,
Saya berkali-kali mendapat email tentang keinginan sejumlah orang muallaf untuk belajar Islam dengan saya. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa Islam seperti disodorkan oleh JIL adalah lebih masuk akal.

Sebuah email yang saya terima dari seorang gadis di Bali bercerita tentang keinginannya masuk Islam sejak lama. Tetapi tertunda, bahkan hampir gagal, karena peristiwa bom Bali. Dia punya pandangan bahwa Islam agama kekerasan. Tetapi setelah membaca tulisan-tulisan dari JIL dan mendengar ulasan-ulasan tentang Islam dari saya, dia merasa mantap kembali untuk masuk Islam.

Seseorang yang lain bercerita bahwa dia telah masuk Islam dan hampir keluar lagi setelah menyaksikan hal-hal yang mengecewakan dalam Islam. Tetapi dia membatalkan niatnya itu setelah membaca tulisan-tulisan dari JIL.

Sejauh ini, saya belum mendapatkan satu email-pun dari orang yang keluar dari Islam hanya karena berkenalan dengan pikiran-pikiran Islam liberal. Suatu ketika ada tuduhan bahwa puluhan pasangan di Sumbar menikah beda agama, dan gara-gara itu keluar dari Islam. Konon katanya pelaku nikah beda agama itu melakukannya karena pikiran-pikiran JIL. Kebenaran hal ini sangat susah dibuktikan.

Tetapi, poin saya bukan soal JIL telah "menyelamatkan" orang-orang yang hendak keluar dari Islam, atau "menyelamatkan" orang-orang dari luar Islam ke dalam Islam. Bukan itu.

Poin saya adalah: bagaimana mungkin seseorang pindah agama. Di kantor saya, seorang staf masuk Islam gara-gara pacaran dengan staf lain yang beragama Islam. Menyaksikan itu, saya terus terang agak kaget. Bagaimana mungkin seseorang pindah agama?
Bagi saya, agama adalah soal yang tak main-main. Pindah agama adalah peristiwa "gempa" yang maha hebat. Hingga sekarang ini, saya masih bergetar jika mendengar seseorang pindah agama. Secara umum, saya tak suka orang yang pindah agama: baik pindah ke Islam, atau pindah ke agama lain.

Saya percaya bahwa semua agama adalah baik dan benar, oleh karena itu tak ada gunanya pindah agama. Jika anda kebetulan "lahir" dan "tumbuh" dalam agama A atau B, maka teruskan mencari kebenaran dalam agama itu hingga sejauh-jauhnya, dan anda akan mencapai Tuhan.

Tetapi, dalam kenyataannya, banyak orang yang pindah agama. Tentu banyak alasan yang bisa dikemukakan. Ada yang pindah agama karena perkawinan, karena gengsi sosial (saya pernah mendengar penuturan seorang peneliti masalah-masalah Cina di Indonesia, Dr. Tung Jhu Lan [benar ejaannya?]dari LIPI, bahwa banyak orang-orang Cina di Indonesia yang meninggalkan agama nenek moyang [Konghucu atau Taoisme] dan masuk Kristen, karena agama Kristen diasosiasikan dengan kemoderenan), atau karena alasan kesadaran dan keinsafan batin yang mendalam.

Dalam sejarah Nabi sendiri, ada dua model perpindahan agama: karena kesadaran batin yang mendalam atau karena alasan politik. Umumnya, orang-orang Arab yang masuk Islam pada periode dakwah Islam di Mekah adalah dimotivasikan oleh kesadaran dan pilihan yang sadar. Sebagian besar konversi ke Islam yang berlangsung di Madihan adalah bukan semata-mata karena pilihan yang sadar, tetapi ada unsur politik, terutama konversi yang terjadi saat penaklukan kota Mekah. Sebagian besar orang Arab masuk Islam saat itu karena melihat "Islam telah menang secara politik", sehingga masuk ke dalam agama itu sangat menguntungkan. Begitu Nabi wafat, banyak orang-orang Arab keluar Islam lagi.

Dengan demikian, ada dua jenis perpindahan agama: perpindahan yang otentik, dan perpindahan yang politis.

Jarang sekali ada orang yang pindah agama karena alasan-alasan yang otentik. Sebagian besar orang masuk ke suatu agama adalah karena alasan-alasan politik dalam pengertian yang luas. Di suku-suku pedalaman, hingga saat ini, jika kepala suku masuk agama A, maka seluruh anggota suku itu akan ikut. Saya tak yakin, para misionaris Kristen yang mengkristenkan para suku pedalaman di pulau-pulau luar Jawa menggunakan argumen yang rasional, dan atas dasar itu kemudian suku-suku tersebut sadar masuk Kristen.

Ini persis seperti pada zaman Nabi dulu: ketika kepala suku Aus masuk Islam lewat "Bai'at al 'Aqabah", maka pelan-pelan seluruh anggota suku itu masuk Islam. Mungkin perpindahan agama seperti ini bisa disebut sebagai "konversi komunalistik".

Perpindahan agama secara komunalistik bisa dikatakan punah saat ini, atau hampir punah. Sebab, sudah jarang terjadi seseorang pindah agama karena "bos" di kantor atau kepala suku pindah ke agama lain. Lagi pula, masyarakat tribal dalam pengertian yang "asli" pelan-pelan makin pudar. Mungkin kasus konversi komunalistik hanya ada di masyarakat terpencil yang masih mempertahankan karakter kesukuan.

Di era modern, kecenderungan yang kian menonjol adalah bahwa keputusan-keputusan tentang masalah yang sangat "personal" seperti agama itu sepenuhnya merupakan keputusan pribadi. Oleh karena itu, perpindahan agama di masa modern makin cenderung "otentik": orang pindah agama karena mengalami goncangan tertentu yang menyebabkan "goncangan teologis", lalu mencari alternatif iman baru. Dengan kata lain, saat ini orang pindah agama karena keputusan pribadi, bukan karena dipaksa "kepala suku".

Karena konversi agama makin bersifat individual, maka saya melihat peristiwa perpindahan agama sebagai peristiwa yang "mengagumkan" tetapi juga sekaligus sulit saya pahami: apa yang terjadi pada seseorang sehingga dia meninggalkan agamanya yang lama, dan masuk ke agama yang baru.

Ada dua kemungkinan seseorang mengambil keputusan secara individual untuk pindah agama: atau orang itu tak serius dengan agamanya, sehingga agama bagi dia ibarat "HP" yang bisa diganti setiap minggu; atau dia mengalami goncangan hebat, sehingga agama "lama" tak lagi memuaskan dia, dan kemudian mencari yang "baru".

Jenis konversi individual yang pertama tak layak kita bicarakan di sini. Saya hanya berbicara tentang orang yang sungguh-sungguh dengan agama sebagai dasar pemberi makna hidup. Oleh karena itu, saya hanya akan berbicara tentang konversi kedua, dan itulah konversi yang benar-benar otentik.

Sebagaimana saya katakan tadi, setiap agama mengandung kebenaran. Pada saat yang sama, setiap agama mengandung kelemahan.

Ajaran monoteisme Islam, misalnya, sangat baik, tetapi bukan tanpa efek samping yang buruk. Orang-orang Taliban yang menghancurkan patung Budha di Bamiyan didorong, antara lain, oleh pemahaman tentang tauhid yang keras. Orang-orang yang tak setuju dengan Taliban boleh mengatakan bahwa itu adalah tafsiran yang keliru. Tetapi, orang-orang Taliban yakin benar bahwa menghancurkan patung Budha adalah konsekwensi dari ajaran Taudi atau monoteisme Islam.

Sekali lagi, saya katakan, setiap agama mengandung kelebihan dan kekurangan. Karena fakta dasar ini, saya agak susah memahami, kenapa seseorang pindah agama. Apakah dia merasa bahwa agamanya mengandung kelemahan mendasar, sehingga harus pindah ke agama lain? Apakah jika ia pindah ke agama lain, dia merasa terhindar dari kelamahan itu? Bukankah dalam agama "baru" itu juga terdapat kelemahan pula? Ataukah dia merasa bahwa agama baru itu "sedikit kelemahannya" dibanding dengan agama "lama"? Atau dia sama sekali "lugu" bahwa agama "baru" seluruhnya baik dan agama "lama" seluruhnya jelek?

Orang yang paling saya benci adalah figur seperti Irene Handono, mantan suster yang masuk Islam dan kemudian menjelek-jelekkan agamanya yang lama. Saya kira, Islam tak membutuhkan orang-orang seperti ini. Irene Handono, yang kasetnya dijual di mana-mana, berisi ceramah yang menjelekkan Kristen, hanya relevan untuk orang-orang awam yang mengira bahwa agama adalah seperti "klub bola": suporter satu klub mengejek suporter yang lain. Orang yang pindah dari agama satu ke agama lain dan menjelek-jelekkan agama "lama" sudah pasti tidak menguasai dengan baik agama yang
ditinggalkannya, apalagi agama yang baru dipeluknya.

Sekali lagi saya katakan, setiap agama mengandung kelebihan dan kekurangan. Banyak hal yang bisa dikritik (juga dipuji) dalam Kristen, begitu juga banyak hal yang bisa dikritik (dan sudah tentu juga dipuji) dalam Islam. Pendekatan yang paling baik antaragama saat ini adalah sikap saling belajar satu dari yang lain.

Pertanyaan lucu yang kerap diajukan ke saya, karena saya berpandangan bahwa semua agama adalah baik dan benar: kenapa saya tak pindah agama setiap hari, seperti ganti handuk (toh, untuk handuk, saya hanya ganti setiap minggu, bukan setiap hari). Pertanyaan semacam ini jelas bukan pertanyaan yang sungguh-sungguh, tetapi pertanyaan "apologetik" atau "istifham inkary" dalam istilah ilmu balaghah (ilmu keindahan bahasa Arab).

Pertanyaan semacam itu muncul dari pengandaian yang salah: seolah-olah agama adalah barang remeh yang bisa diganti setiap saat.

Oleh karena itu, secara berseloroh, saya menjawab pertanyaan semacam itu dengan mengatakan: jika semua agama benar, kenapa harus pindah.

Bagi saya, pindah agama, secara otentik, adalah "gempa" dahsyat yang sulit saya pahami, dan terjadi hanya dalam kasus-kasus perkecualian yang jarang terjadi. Selain itu, secara umum saya kurang setuju dengan konversi, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat khusus. Bagi saya, agama adalah berkaitan dengan komitmen terhadap sesuatu yang Mutlak. Hubungan kita dengan agama tidaklah bisa disamakan dengan hubungan kita dengan hal-hal lain yang bersifat mundan dan duniawi. Setiap agama adalah jalan menuju keselamatan, dan oleh karena itu siapapun yang bersungguh-sungguh mencari keselamatan dalam agama apapun yang kebetulan ia terima dari keluarga atau lingkungannya, maka ia akan menemukan jalan kebenaran.

Ulil


KOMENTAR ORANG AWAM


Untuk pindah agama, Ulil --demikian pula yang lain-- tidak perlu mengadakan jumpa pers, tidak pula dengan men-tipex kata Islam dalam KTP-nya. Seseorang --siapa saja, saya tidak menuduh siapa-siapa-- bisa murtad dari Islam atau jatuh ke dalam kekufuran dengan ucapan atau perbuatannya sendiri yang dilakukan secara sadar dan sengaja yang tidak bisa diartikan lain selain kufur!

Lagi-lagi Ulil sedang membual tentang agama menurut persepsi dia sendiri tanpa merujuk kepada dalil-dalil agama itu sendiri. Pikiran dan ucapannya bolak-balik tidak karuan, sesekali seolah-olah "memuji dan membenarkan" agama sambil "menghina dan menyalahkan" agama, terkadang seakan-akan "ramah terhadap agama" sambil "menggampar agama" (istilah Ulil sendiri). Itulah cara Ulil menyampaikan pesan terselubung: tidak usah serius dan ambil pusing dengan agama!

Mudah saja untuk menguak borok bualan Ulil tersebut. Dengarkan ucapannya: "Jika anda kebetulan lahir dan tumbuh dalam agama A atau B, maka teruskan mencari kebenaran dalam agama itu hingga sejauh-jauhnya, dan anda akan mencapai Tuhan." Kemudian tak lama setelah itu ia berkata: "Orang yang paling saya benci adalah figur seperti Irene Handono, mantan suster yang masuk Islam dan kemudian menjelek-jelekkan agamanya yang lama." Maka kita katakan: Justru itulah hasil akhir dari pencarian dan penemuan seorang suster terhadap Tuhan dan kebenaran. Kenapa anda jengkel dengan penemuannya?

Satu lagi bukti bahwa paham pluralisme itu memang sesuatu yang aneh, rancu dan kontradiktif (paling tidak bagi Islam). Kalau pluralisme mengatakan semua agama benar, tentunya ia pun harus mengakui kebenaran agama yang menyatakan bahwa hanya ia satu-satunya agama yang benar. Kalau si pluralis itu tidak mau mengakui ajaran agama itu berarti ia menolak paham pluralisme itu sendiri. Sedang jika ia menerima ajaran agama seperti itu, berarti ia pun melanggar paham pluralisme. Jadi, tidak bisa tidak, anda harus memilih salah satunya, berpegang dengan pluralisme atau berpegang dengan agama Islam. Dan kaum liberalis memilih pluralisme, dus melepaskan Islam.

Kalau toleransi (yang tidak melanggar syariah), okelah.... Tapi pluralisme? No way !!!!

Wassalam,
Yusuf Anshar

Selanjutnya

Islam Liberal Tentang Kaum Sodom

Posting ini merupakan rekaman diskusi via surat elektronik (email) antara seorang awam (Yusuf Anshar) dengan seorang intelek liberal yang tidak lain adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla.

Bung Ikra,
Gampang sekali menerangkan kisah pembasmian orang-orang Sodom dan Gomorrah itu.

Saat tsunami menerjang Aceh kemaren, banyak orang "menafsiri" kejadian itu dengan pelbagai macam cara, antara lain dengan sudut pandang agama. Dari sudut ini, dikatakan bahwa tsunami terjadi karena banyak orang Indonesia yang melakukan maksiat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tsunami terjadi karena untuk pertama kali dalam sejarah Aceh diadakan peringatan Natal (itu terjadi sehari sebelumnya, 25 Desemeber). Ada yang mengatakan, karena orang Aceh banyak yang tak pakai jilbab. Pokoknya, orang-orang beragama bikin penafsiran yang "aneh-aneh" dan menggelikan lah.

Fakta bahwa tsunami terjadi di Aceh jelas tak bisa ditolak, semua orang menyaksikannya. Tetapi apakah tsunami terjadi karena banyak orang melanggar aturan agama, tak ada yang tahu. Itu hanya "penafsiran subyektif" orang beragama. Dengan kata lain, tsunami adalah realitas obyektif; tetapi anggapan bahwa tsunami terjadi karena maksiat, itu namanya realitas subyektif.

Begitulah kejadian kaum Sodom itu. Bahwa Sodom mengalami bencana alam ya; tetapi apakah bencana itu terjadi karena penduduk di sana melakukan praktek seksual yang menyimpang, itu penafsiran subyektif orang-orang beriman: bisa benar, bisa tidak.

Selain itu, saya tak percaya bahwa Tuhan "ikut campur" secara langsung dalam sejarah dengan menghukum orang-orang yang berdosa. Begitu orang berdosa di dunia, langsung dihukum secara kontan. Ini pandangan teologi kanak-kanak atau infantilistik.

Kalaupun Tuhan menghukum, pastilah lewat proses hukum alam. Anda menebang hutan, banjir datang. Anda mengotori udara, terjadi polusi, penyakit menyebar. Anda tak bangun selokan yang baik, hujan sedikit air membludak. Anda tak hidup dengan sehat, penyakit datang. Begitulah seterusnya.

Tuhan bekerja melalui hukum "sebab-akibat". Tetapi kalau ada orang berdosa di Mangga Dua, Tuhan langsung "terjun" ke sana melakukan "patroli", atau menghukum pendosa "on the spot", seperti dikisahkan dalam Kitab Suci, maka itu sudah pasti tak benar.

Kitab Suci banyak bicara secara metaforis. Itu yang jarang diperhatikan. Kalau di Quran dikisahkan bahwa seorang Nabi datang, lalu didustakan oleh kaumnya, lalu azab datang, maka sudah tentu tidak boleh dipahami bahwa azab itu datang "on the spot" tanpa sebab-sebab alamiah yang masuk akal.

Di Las Vegas, ada jutaan penjudi dan pendosa. Las Vegas aman-aman saja. Tak ada azab Tuhan yang "kontan" di sana. Kalau Las Vegas hancur suatu ketika, pasti ada sebab-sebab alamiah yang masuk akal, entah gempa bumi, atau salah kelola pemerintahan, sehingga menghancurkan kehidupan orang di sana. Jika itu terjadi sekarang, maka itu juga yang terjadi di zaman Nabi Luth. Saya yakin, hukum Tuhan yang bekerja zaman Nabi Luth dan abad 21 sama saja. Tak ada bedanya.

Wa lan tajida li sunnatilLahi tabdilaa...., kata Quran. Hukum Tuhan dalam bentuk "sebab akibat" tak pernah berubah.

Ulil

Komentar Orang Awam

Dari segi filsafat ilmu (ontologi-epistemologi-aksiologi) saja, sebetulnya tidak ada penjelasan ilmiah yang benar-benar objektif, hatta di bidang yang disebut eksakta (ilmu pasti) sekalipun. Sebuah objek atau fenomena alam yang diamati dengan ilmu fisika misalnya; harus dianalisa, diukur dan dirumuskan dengan teori fisika yang disusun oleh para fisikawan dengan asumsi, paradigma dan postulat mereka masing-masing. Istilahnya, melakukan pengamatan secara objektif dengan berbagai pendekatan yang bersifat subjektif.

Jadi jangan terpaku, terpesona dan tertipu dengan objektifisme. Objektif menurut siapa dulu? (Jadi, subjektif juga kan? :-) Tapi okelah, kita terima saja istilah realitas objektif dan subjektif itu. Masalahnya, penjelasan objektif ala Ulil sebetulnya lebih tepat bila disebut penjelasan sekuler. Meskipun dia membawa-bawa kata Tuhan di situ, tapi kentara sekali ketidaksukaannya bila orang membawa-bawa isu agama dalam meneropong fenomena alam.

Untuk jelasnya, mari kita langsung ke contoh kasus.

Tsunami! Apa itu tsunami?

Menurut realitas objektif, tsunami adalah gelombang laut pasang dengan volume dan kecepatan tinggi dari lautan ke daratan. Kenapa gelombang itu terjadi? Karena adanya tekanan yang sangat kuat terhadap air laut. Kenapa tekanan itu terjadi? Karena adanya massa laut yang berpindah secara tiba-tiba. Kenapa massa laut itu berpindah? Karena adanya gempa atau gerakan kerak bumi di dasar laut. Kenapa terjadi gempa? Karena lapisan kerak bumi itu selalu bergerak. Kenapa kerak bumi itu bergerak? Karena sifat lapisan bumi itu begitu dan begini. Kenapa bumi bersifat begitu? Karena bumi terbentuk dari seciprat massa matahari yang terlepas kemudian mendingin dst... dst... (Kenapa-karena lanjutkan saja sendiri).

Kalau penjelasan di atas terus diusut tuntas sampai ke pangkalnya maka akan tiba pada satu titik awal mula (detik nol) terjadinya alam semesta. Di sinilah sains buntu. Pengembaraan empirik berhenti sampai di situ. Manusia diperhadapkan kepada dua pilihan. Menerka bahwa segala fenomena tersebut terjadi "begitu saja" (sekedar proses tanpa sebab) ataukah harus menerima kenyataan ada-Nya Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai penyebab segala sesuatu.

Orang yang memilih (secara subjektif, jadi tidak objektif lagi) opsi "begitu saja" sesungguhnya tidak menjawab apa-apa, artinya dia memilih untuk tetap buntu dan tidak tahu, bahkan dia mengabaikan jawaban pasti tentang adanya Tuhan pencipta alam semesta yang maha besar, rumit, teratur, indah sekaligus penuh dengan kejutan ini.

Adapun orang yang menjatuhkan pilihan waras tentang adanya Tuhan, melihat tsunami itu sebagai suatu rentetan kejadian (proses) dari keseluruhan rentetan kejadian yang telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Tuhan sejak awal penciptaan alam hingga hari berakhirnya alam (kiamat) kelak.

Menyadari eksistensi Tuhan, itu baru starting point untuk beriman. Setelah mendapatkan kabar tentang adanya berita langit (wahyu) dari Tuhan yang dibawa oleh seorang Nabi, seseorang diperhadapkan kepada pilihan untuk menerima adanya wahyu itu atau tidak. Bila ia dengan intuisi fitrahnya (hidayah) mempercayai kabar tersebut maka ia harus menghadapi pergumulan pilihan selanjutnya untuk menerima kebenaran al-Quran sebagai salah satu wahyu dari Allah.

Bila ia kemudian beriman kepada Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir, maka pekerjaan selanjutnya adalah mencari dan mengkaji ajaran Islam yang shahih (valid) dan asli (orisinal). Bila ia dengan kesungguhan dan keikhlasannya berhasil menemukan ajaran Islam yang murni dan bersih dari distorsi takwil dan kontaminasi bid'ah, maka menjadilah ia manusia muslim yang istiqamah (berada di atas jalan yang lurus, jalan para Nabi dan pengikut-pengikutnya).

Seorang yang beriman akan memandang peristiwa tsunami disamping secara objektif (alamiah) juga secara subjektif (rabbaniyah). Pengetahuan objektifnya tentang tsunami mungkin tidak berbeda jauh dengan orang lain. Tapi ditambah dengan pengetahuan subjektifnya bahwa tsunami adalah fitnah (siksaan dan ujian) bagi manusia.

Kalau kita mau jujur, pandangan objektif (ala Ulil) tidak menyentuh akar permasalahan. Penjelasan seperti itu hanya menjawab pertanyaan "bagaimana (proses) terjadinya tsunami?" bukan "kenapa terjadi tsunami?" Karena adanya gempa di dasar laut? Keliru! Kenapa keliru? Karena gerakan kulit bumi, gempa, air pasang dan lain-lain semuanya merupakan rangkaian proses yang namanya tsunami. Pertanyaan "kenapa terjadi tsunami?" adalah pertanyaan subjektif yang timbul dari fitrah keberagamaan manusia yang selalu ingin mengingat Tuhan.

Ulil menginginkan kita membatasi hukum sebab-akibat pada proses itu saja. Apa yang terjadi itu, ya begitulah; tidak usah ada pertanyaan "kenapa-kenapaan". Kalau begitu, apa bedanya manusia dengan binatang dalam menyaksikan fenomena alam? Bedanya hanya pada level kedalaman observasi dan kemampuan aplikasi. Malah mungkin dengan naluri indera keenamnya yang mampu menangkap sinyal "peringatan dini", hewan-hewan lebih antisipatif terhadap bencana ketimbang manusia.

Tidak bisa tidak! Pertanyaan yang selalu mengusik qalbu manusia tentang "kenapa, ada apa di balik semua ini?" tidak lain adalah cermin fitrah beragama manusia. Manusia sadar akan adanya Pencipta Yang Maha Kuasa. Manusia sadar akan adanya kehidupan yang hakiki nan abadi sesudah kematian dan kiamat kelak. Fitrah manusia pun sadar bahwa hidup di dunia ini harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dan perhitungan serta timbangan kebenaran dan kebaikan itu ada di sisi Tuhan yang disampaikan lewat wahyu, risalah dan agama.

Nah, bila ada orang yang mengatakan bahwa tsunami terjadi karena adanya perayaan natal pertama kali di Aceh maka itu adalah ungkapan subjektif yang sesuai dengan logika keimanan. Tidak salah dan tidak aneh! Ungkapan itu benar secara subjektif dan objektif sekaligus.

Terjadinya tsunami adalah objektif, perayaan natal juga objektif. Kedua objek kejadian itu dihubungkan secara subjektif dengan logika keimanan bahwa perayaan natal adalah kepercayaan kufur dan perbuatan syirik yang tidak diridhai oleh Allah, sedang tsunami adalah salah satu bentuk fitnah (ujian dan siksaan) yang diciptakan oleh Allah. Antara kebencian Allah dengan siksaan Allah tentu mempunyai hubungan kasualitas yang logis. Jadi, apanya yang aneh dan menggelikan?

Kalau kita sudah memahami bahwa penjelasan subjektif adalah bagian dari penjelasan yang benar dengan logika keimanan yang benar, maka antara kasus Tsunami Aceh, Sodom-Ghomorah dan Las Vegas, tidak ada bedanya. Semua itu (dan seisi dunia ini) adalah fitnah bagi manusia.

Penduduk Sodom dan Ghomorah yang kufur kepada Allah dan melakukan kefasikan dan kekejian (homoseks) disiksa oleh Allah setelah terlebih dahulu memberikan informasi rahasia (wahyu) kepada Nabi-Nya untuk menyingkir menyelamatkan diri bersama para pengikutnya.

"Nasib baik sementara" bagi Las Vegas juga merupakan fitnah bagi orang kafir dan fasik sehingga makin bertambah kekafiran dan kefasikannya karena merasa "aman-aman saja". Disamping itu menjadi ujian bagi orang yang beriman; adakah mereka lebih meyakini balasan di akhirat?

Kenapa skenarionya berbeda? Saya kira Ulil tidak terlalu bodoh untuk mengira bahwa Allah menyuguhkan "drama kanak-kanak" di panggung dunia-Nya. Siapa yang maksiat disikat, yang taat dimanja. Al-Quran dan Al-Sunnah tidak semata bercerita tentang hukuman "pemanasan" di dunia bagi kaum yang membangkang tapi juga tentang kesulitan perjuangan para Nabi, kesewenang-wenangan kaum kafir, musiba dan derita yang dialami kaum mukminin bahkan tidak sedikit Nabi yang dibunuh oleh kaumnya.

Allah memang berfirman yang artinya: "Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." [3:137]

Tapi Allah juga berfirman yang artinya: "Jika kamu (muslimun) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafirun) itupun mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia dan supaya Allah mengetahui orang-orang yang beriman (setelah diuji) dan Dia menjadikan diantaramu (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim." [3:140]

Sederhana sekali. Sesederhana pandangan objektif orang-orang kufur, liberal dan sekuler yang memandang suatu kejadian apa adanya, memang sudah begitu. Orang beriman memberi penilaian terhadap dunia dengan pertimbangan syariat dan akhirat. Orang kufur memberi penilaian terhadap dunia dengan dunia semata, materi dan energi, barang dan jasa. Kalau demikian, saya kira tidak beda dengan peradaban kera dan babi. Bedanya hanya pada teknologi.

Apa itu teknologi? Teknis dan cara untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan madharat. Intinya sama, "bagaimana agar bisa tetap hidup dengan enak". Itulah ideologi "struggle for life"nya Charles "kakek kera" Darwin. Tapi nyatanya apa? Saya tidak yakin bahwa hidup manusia lebih enak daripada kera (tanya saja si kera). Bahkan saya sangat yakin bahwa kualitas dan kuantitas penyakit dan kemelaratan di era teknologi modern jauh lebih banyak daripada di zaman batu dan perunggu. Last but not least, all must die. Fa aina tadzhabuun?

Sebagai illustrasi penutup, di zaman Nabi saw pernah terjadi gerhana matahari bertepatan dengan hari kematian anak Rasul yang bernama Ibrahim. Bayangkan, gerhana matahari, peristiwa langka yang baru terjadi sekali itu dan tanpa prediksi sebelumnya.

Mulailah orang-orang melontarkan penafsiran subjektif yang sekilas cukup "positif" yaitu gerhana matahari sebagai tanda berkabung karena kematian putera Nabi. Mendengar itu, apa komentar Nabi? Beliau sama sekali tidak menggunakan moment itu untuk menaikkan "pamor" kenabiannya. Beliau hanya berkomentar singkat namun padat:

"Matahari dan bulan adalah dua tanda diantara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Dia gerhana bukan karena lahir atau matinya seseorang. Maka apabila kalian melihat terjadinya gerhana itu segeralah mengingat Allah dan melaksanakan shalat!"

Suatu komentar yang menggabungkan secara benar realitas objektif dan realitas subjektif sekaligus! Shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam.

Wassalam,
Yusuf Anshar

Selanjutnya

Islam Liberal Tentang Ekonomi Syariah

Posting ini merupakan rekaman diskusi via surat elektronik (email) antara seorang awam (Yusuf Anshar) dengan seorang intelek liberal yang tidak lain adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Baca Tanggapan Yusuf Anshar di bagian bawah postingan...

Bung Yusman dan Bung Indi,

Harus jujur diakui, peran MUI makin hari makin membengkak. Dan tampaknya masyarakat tak ada yang keberatan untuk itu. JIL akan mengadakan diskusi mengenai peran MUI ini di UI (saya lupa tanggalnya: kalau tak salah minggu depan ini).

Kalau semua diukur dengan standar syariah nanti; kalau syariah direntang ke mana-mana, saya khawatir kita akan pelan-pelan hidup dalam negara syariah yang hanya sejengkal saja menuju kepada negara teokrasi. Sekarang ini ada obsesi untuk "mensyariahkan" semua hal.

Saya percaya, hingga saat ini, sekurang-kurangnya di Indonesia, apa yang disebut sebagai Bank Syariah, Asuransi Syariah, Kartu Kredit Syariah, hanyalah transaksi biasa yang diberi embel-embel dan label Arab. Ekonomi syariah sejatinya ya kapitalisme plus label Arab. Memang ada perbedaan soal bunga; ekonomi syariah tak memakai bunga. Tetapi institusi ekonomi modern yang lahir dari rahim kapitalisme, yaitu bank, tetap dipakai. Namanya pun tetap Bank Syariah. Artinya, walau syariah, toh intinya ya bank itu sendiri. Institusi bank tidak pernah ada sejak zaman Nabi sampai ratusan abad sesudahnya. Institusi bank juga bukan kreasi orang Islam, at the first instance.

Saya belajar fiqh tahunan di pesantren. Apa yang sekarang dikenal sebagai "mudharabah, qiradl, murabahah, dll." bukanlah transaki syariah. Murabahah, misalnya, artinya ambil untung; Inggrisnya "profit taking". Itu ya transaksi biasa. Cuma namanya pakai bahas Arab, lalu orang-orang merasa itu adalah syariah. Mudharabah artinya kongsi dengan bagi hasil. Itu transaksi duniawi biasa yang kita kenal dalam praktek sehari-hari. Cuma mudharabah pakai bahasa Arab, "bagi hasil" bahasa Indonesia. Dua-duanya sama: ya bagi hasil itu.

Kalau anda simak buku-buku fiqh, maka anda akan mendapati sejumlah transaksi yang memakai bahasa Arab, tetapi jangan silap: itu adalah transaksi duniawi biasa. Saya tak melihat alasan, kenapa itu disebut sebagai transaki syariah. Transaksi-transaki itu misalnya:

(1) Buyu' (plural; singular: bai'): artinya jual beli.
(2) Salam atau Salm: ngijon atau jual beli di mana "delivery" berlangsung belakangan.
(3) Qardh: meminjamkan (uang).
(4) Sharf: penukaran uang.
(5) Hibah: pemberian.
(6) Ijarah: penyewaan.
(7) Shulh: damai dalam persengketaan pemilikan barang.
(8) Hawalah: pemindahan utang (sekarang sering diterjemahkan sebagai "wesel" atau "wired transfer")
(9) Syuf'ah: opsi pembelian pertama (di pesantren dulu sering diterjemahkan "ngejogi rega").
(10) Musaqah, Muzara'ah, Mukhabarah: intinya penggarapan tanah.
(11) 'Ariyah: pinjam-meminjam barang.
(12) Syarikah atau musyarakah: kongsi dagang di mana semua peserta dalam kongsi itu setor modal.
(13) Qiradl dan mudlarabah: kongsi dagang untuk bagi hasil di mana satu pihak setor modal dan pihak lain menjalankan modal itu.
(14) Wad'iah: penitipan barang.
(15) Luqathah: menemukan barang.
(16) Rahn: gadai.
(17) Kafalah: pertanggungan.
(18) Wakalah: perwakilan (dalam suatu transaksi).

Ini hanya contoh-contoh saja transaksi dalam fiqh atau syariah. Semuanya tentu memakai bahasa Arab, karena pertama-tama ditulis oleh para fuqaha yang hidup di kawasan Arab. Tetapi, kalau kita lihat, semuanya adalah transaksi biasa, kegiatan duniawi yang setiap detik berlangsung di Pasar Glodok, Mangga Dua, Pasar Rebo, atau Pasar Senen. Hanya saja, ketika seseorang menggadaikan barangnya di sebuah balai gadai di Glodok, tentu mereka ya menyebutnya sebagai "gadai", dan bukan "rahn" (dalam bahasa Arab). Tetapi gadai tidak serta merta menjadi "Islami" atau menjadi "transaki syari'ah" hanya karena disebut dengan bahasa Arab, "RAHN". Kalau tak salah, BMI membuka layanan jasa "gadai", tetapi tidak memakai istilah gadai, sebaliknya memakai istilah Arab "Rahn". Baik gadai dan "rahn" sama intinya. Yang membedakan mungkin hanya hal-hal yang menyangkut asesori saja: kalau anda datang ke balai gadai dan memakai istilah "gadai", mungkin anda dilayani oleh pegawai perempuan yang tak pakai jilbab. Tetapi kalau anda menggadaikan sesuatu di BMI, dan menyebutnya sebagai "rahn", anda dilayani oleh perempuan berjilbab. Tetapi, haraplah diingat, soal jenis baju yang dipakai oleh seorang staf balai gadai bukanlah bagian intrinsik dari transaksi itu sendiri.

Ini perlu dikemukakan agar kita tak terkecoh dengan transaksi-transaksi yang akhir-akhir ini ditawarkan oleh bank-bank syariah, atau bank konvensional yang membuka konter syariah, dan umumnya memakai istilah-istilah Arab. Masyarakat awam, mendengar istilah-istilah Arab itu, mungkin akan gampang mengira bahwa semua transaksi "Arab" itu adalah "benda" lain yang berbeda dengan umumnya transaksi di Pasar Kramatjati. Seolah-olah "hawalah" itu benda asing dari luar angkasa, padahal artinya ya kirim wesel biasa atau pengalihan surat hutang. Seolah-olah mudharabah dan qiradl itu barang "suci", padahal ya bagi hasil biasa seperti yang dilakukan oleh Kang Ponirin dan Paiman di Pasar Klewer, Solo.

Apakah dengan demikian tidak ada yang disebut dengan ekonomi syariah? Apakah saya menolak konsep ekonomi syariah? Jelas tidak. Meskipun saya percaya bahwa agama sebaiknya berada pada ruang privat, tetapi saya percaya pula ada nilai-nilai universal yang positif dalam agama yang seharusnye membentuk moralitas publik.

Saya percaya dengan ekonomi syari'ah. Tetapi, bagi saya, ekonomi syariah bukanlah ekonomi yang memakai istilah-istilah Arab. Bagi saya, itu penipuan terhadap umat Islam. Bank Syariah belum tentu menyelenggarakan ekonomi syariah hanya semata-mata memakai istilah Arab dalam seluruh transaksinya. Bank Syariah bisa menjadi alat penipuan umat dengan menggunakan simbol-simbol Arab itu. Saya melihat bahaya ekonomi syariah dari sudut ini.

Bagi saya, ekonomi syariah "goes beyond symbols and Arabic labels". Ekonomi syariah adalah soal prinsip-prinsip dasar. Saya bukan seorang ekonom, tetapi saya akan mencoba mengulas sedikit apa landasan normatif dalam transaksi yang disetujui oleh Islam. Inti kegiatan ekonomi adalah: pertukaran barang dan jasa/manfaat yang menimbulkan pertukaran hak milik (kalau di milis ini ada seorang ekonom, tolong saya "dijewer" kalau keliru). Prinsip dasar Islam dalam pertukaran barang, diringkaskan dalam satu ayat di Surah An Nisa: 29 dan dua hadis:

"Ya ayyuhal ladzina amanu la ta'kulu amwalakum bainakum bil bathil illa an takuna tijaratan 'an taradlin minkum..."

Artinya (dalam terjemahan bebasa saya): Hai orang-orang beriman, janganlah kalian memakan (atau memiliki) harta-harta di antara kalian dengan cara yang culas, kecuali melalui "tijarah" (pertukaran barang) yang didasarkan pada asas saling suka sama suka (taradlin).

Nabi bersabda dalam hadis sahih (saya lupa perawinya): "Al mukminuna 'ala syuruthihim illa syarthan ahalla haraman aw harrama halalan."

Artinya: Orang-orang beriman (tetapi ini juga berlaku untuk semua orang, baik beriman atau tidak) terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim, Nabi melarang jual-beli yang mengandung tipuan (ba'i al gharar).

Jadi, prinsip dasar ekonomi Islam (jika ada yang disebut dengan hal demikian itu) adalah:

(1) Pertukaran barang atau jasa dengan sukarela.
(2) Pertukaran itu harus sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak, atau oleh (kesepakatan publik yang tercermian dalam) parleman atau ajensi-ajensi lain yang diberikan mandat untuk membuat regulasi atas suatu transaksi (mis., dalam kasus Indonesia, BKPM yang diberikan mandat untuk mengatur dan menetapkan syarat-syarat dalam lalu lintas modal).
(3) Tiadanya tipuan.

Penerjemahan prinsip dasar itu ke dalam detail transaksi, berkembang sesuai dengan konteks sejarah dan perkembangan aktivitas ekonomi manusia. Kalau kita tengok prinsip-prinsip itu secar cermat, itu bukanlah prinsip transaksi khas Islam atau syariat. Itu adalah dasar pokok dalam semua transaksi, baik yang dilaksanakan atas nama Islam atau tidak. Suatu transaksi yang tak memakai nama Arab, tetapi memenuhi tiga prinsip itu, maka transaksi itu adalah Islami. Walau traksaksi tertentu memakai nama Arab tapi melanggar prinsip itu, dia bukanlah transaksi Islami. Jadi, sesuai dengan pandangan pokok Islam liberal dalam hal-hal lain, yang menjadi pegangan kita adalah esensi bukan label.

Saya sengaja menghindar dari perdebatan soal mazhab besar ekonomi: kapitalisme vs sosialisme, atau ekonomi pasar vs ekonomi negara. Yang lucu adalah bahwa seluruh diskursus dam praktek ekonomi syariat yang berlangsung di semua negara Islam berlangsung di atas arena ekonomi kapitalisme. Karena itu, saya memandang apa yang disebut sebagai ekonomi Islam atau ekonomi syariat bukanlah alternatif terhadap kapitalisme, tetapi penegasan ekonomi kapitalisme itu sendiri melalui label-label Arab. Tetapi label-label itu tidaklah mengubah watak dasar ekonomi yang kapitalistis. Kenyataan ini tentu berlawanan dengan jargon akivis Islam di mana-mana yang mengatakan bahwa Islam adalah alternatif. Dalam kasus ekonomi syariat, Islam hanyalah "ndompleng" saja pada kapitalisme.

Kesimpulannya: ekonomi syariat adalah kapitalisme yang diarabkan (arabized capitalism).

Wallahu a'lam bisshawab.

Ulil

Komentar Orang Awam

Untuk mengendorkan semangat bersyariah ummat Islam, bagi seorang Ulil, segala cara boleh lah dipakai. Kali ini dengan cara kamuflase bahasa. Buyu', Salam, Qardh, Sharf, Hibah, Ijarah, dll dia jejerkan dengan padanan katanya. Maksudnya ingin menipu orang-orang awam yang moga-moga lupa membedakan antara istilah teknis dan nilai yang disandangnya.

Jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan ratusan jenis transaksi ekonomi yang lain bisa saja diganti dengan bahasa apapun dan memang semua jenis praktik ekonomi tersebut bersifat umum. Makan (Arab = akl, English = eat), tidur (Arab = naum, English = sleep), kawin (Arab = nikah, English = marry), dan lain-lain adalah istilah umum bagi kegiatan-kegiatan manusia. Semua orang bisa melakukannya.

Namun yang penting diperhatikan adalah nilai syariah yang dikandungnya. Inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam (atau ekonomi islami, terserah) dengan sistem ekonomi yang mengabaikan nilai-nilai syariah. Penggunaan istilah Arab sedikit banyaknya cukup berguna untuk mengusung semangat bersyariah yang dibenci oleh orang-orang islamphobi.

Lagi-lagi, untuk menipu orang-orang awam, Ulil tidak malu untuk berlagak bodoh (atau memang bodoh?).

Saya juga bukan seorang ekonom bahkan terhitung jarang membaca buku-buku ekonomi. Tapi boleh juga dong berbicara sedikit tentang ekonomi seperti gaya Ulil. Tapi kalau ada yang salah, tidak usah "dijewer" yaah.... maklum saja saya orang awam. :-)

Berbicara tentang ekonomi harus dimulai dengan definisi ekonomi yaitu segala kegiatan (produksi, distribusi dan konsumsi) untuk memenuhi kebutuhan hidup (barang dan jasa) bagi manusia. Kebutuhan manusia pada dasarnya terbatas, hal ini selaras dengan terbatasnya sumber daya alam. Tapi yang menjadi masalah, keinginan manusia tidak terbatas. Keinginan yang tak terbatas inilah sesungguhnya yang berpotensi menimbulkan problema ekonomi.

Menurut Islam, keinginan manusia itu harus dibatasi dengan nilai-nilai syariah seperti halal dan haram, zuhud, qana'ah (pola hidup sederhana), dan shadaqah (memberi barang dan jasa). Sehingga dalam kehidupan yang islami, roda ekonomi berputar dengan stabil dan harmonis. Bila lambat tidak sampai mogok, bila cepat tidak ngebut. Yang lebih penting lagi tidak merusak tatanan alam dan kemanusiaan.

Ekonomi liberal tidak mengenal nilai-nilai tersebut sehingga sejatinya berorientasi pada pemenuhan keinginan manusia yang tidak terbatas itu. Roda ekonomi liberal berputar dengan keinginan (hawa nafsu) manusia sebagai motor penggeraknya, bukan kebutuhan manusia. Konsekwensinya (karena keinginan manusia tak kenal batas) roda ekonomi harus terus berputar kencang dan semakin kencang mengejar angka pertumbuhan, hingga suatu saat roda ekonomi pasti akan aus dan rusak dengan sendirinya. Maka terjadilah kerusakan di muka bumi.

Produksi dan konsumsi terus dipacu melahirkan konsumtifisme (budaya belanja di luar kebutuhan) yang terus dipupuk oleh para produsen untuk mencari keuntungan hingga ke tingkat hedonisme (asal senang). Anda tahu, sebagian besar peredaran uang di dunia ini berada dalam bisnis entertainment (hiburan) bahkan bursa seks dan bandar narkoba. Sangat kontras dengan masih besarnya populasi manusia yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan dan kemelaratan. Industrialisasi mengganas menjadi industrialisme (eksploitasi sumber daya alam secara rakus demi kepentingan industri). Hal ini menuntut modal yang sangat besar sehingga melahirkan kapitalisme (penumpukan modal di tangan segelintir orang) yang menyuburkan sistim riba.

Berhubung industrialisme dan kapitalisme tidak juga cukup untuk terus menambah kencang laju pertumbuhan ekonomi, maka mereka pun menempuh jalur primitif imperialisme (penjajahan). Itulah makna "oil for food" yang secara eksplisit dicanangkan oleh PBB dan "war for oil" yang secara implisit digelar oleh Amerika. Kedua-duanya adalah kuda tunggangan Yahudi, sang sutradara ekonomi liberal!

Itulah sekedar ilustrasi singkat perbedaan antara ekonomi yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam dan yang tidak. Baru pada tataran definisi ekonomi saja sudah tampak jelas adanya perbedaan visi dan misi serta konsekwensi-konsekwensinya.

Distribusi (penyaluran barang dan jasa) menurut Islam terdiri dari tiga mekanisme yakni pemberian, pertukaran dan peminjaman. Mekanisme "pemberian" harus berlangsung satu arah (dari si pemberi kepada yang diberi) tanpa si pemberi mengharap sesuatu dari yang diberi (hanya mengharap pahala dari Allah).

Demikian pula halnya mekanisme "peminjaman", bedanya di sini tidak terjadi perubahan status kepemilikan. Pemberi pinjaman tidak boleh mengambil dan mengharap imbalan barang/jasa sekecil apapun dari orang yang diberi pinjaman, karena itulah yang dinamakan riba.

Kedua mekanisme distribusi tersebut (pemberian dan peminjaman) sangat digalakkan oleh Islam, sebagaimana Islam sangat menggalakkan jual-beli dan perdagangan (mekanisme "pertukaran"). Bagaimana mungkin seseorang bisa memberi dan meminjami kalau dia tidak memiliki kelebihan harta yang didapat lewat bekerja dan berniaga?

Jadi antara pertukaran, pemberian dan peminjaman berjalan secara seimbang dan harmonis. Sedang distribusi dalam ekonomi liberal lebih berorientasi pada bisnis perdagangan. Sampai-sampai lahan mekanisme pemberian dan peminjaman pun dicaplok dan dimasukkannya ke dalam mesin perdagangan untuk menghasilkan uang. Itulah sistim riba!

Makanya, saya tidak mau menyangkal bank sebagai institusi ekonomi yang lahir di era dominasi ekonomi liberal sebagai tuntutan kapitalisme. Apanya yang perlu dikagumi dari bank selain jumlahnya yang menjamur bak cendawan di musim hujan? Dan setiap saat bisa kollaps bagaikan dedaunan di musim gugur?

Saya lebih kagum dan bangga dengan institusi "baitul maal" yang dicetuskan oleh ijtihad khalifah Umar bin Khattab. Baitul maal --mudah-mudahan seperti yang dikelola oleh Dompet Dhuafa dan lembaga amil zakat nasional lainnya-- adalah bagian dari sistem ekonomi yang berperan sangat penting dalam menciptakan kestabilan ekonomi.

Celakanya, bagi sebagian ekonom dan pengamat ekonomi yang kemaruk, terkadang hanya membatasi pembicaraan tentang ekonomi di lingkup perbankan, pengusaha dan perdagangan semata. Bukankah begitu, Ulil?

Wassalam
Yusuf Anshar

Selanjutnya

Islam Liberal Tentang Khilafah

Posting ini merupakan rekaman diskusi via surat elektronik (email) antara seorang awam (Yusuf Anshar) dengan seorang intelek liberal yang tidak lain adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla.

Salam,

Orang yang masih percaya "negara agama universal", apapun namanya: negara universal Kristen (seperti terjadi di zaman abad pertengahan) atau negara khilafah, sama dengan orang yang masih percaya bahwa bumi itu datar, atau bumi itu dikelilingi matahari.

Sejarah bergerak terus, dan bentuk negara agama (termasuk negara khilafah) sudah menjadi bagian dari masa lampau, dan sebaiknya disimpan di museum saja: enak ditonton, tapi tak usah dihidup-hidupkan lagi. Dinosaurus memang enak ditonton, tetapi kalau dihidupkan lagi pasti akan menakutkan banyak orang.

Jikapun negara khilafah itu didukung oleh argumen agama, maka saya tak peduli. Dalil agama bukan dalil yang harus bertahan permanen. Banyak teks agama yang harus dibatalkan, karena sudah tak masuk akal.

Ulil

Tanggapan Orang Awam

Saya justru tidak habis pikir bila masih ada orang yang menganggap mustahil berdirinya kembali khilafah. Keterlaluan dangkal dan piciknya pandangan mereka. Apakah visi mereka terkena rabun jauh sehingga hanya mampu menjangkau satu abad atau satu generasi atau malah hanya satu dekade ke depan? Atau barangkali ada bagusnya kita bersangka baik --atau buruk?-- bahwa mereka itu sebetulnya hanya berpura-pura menutup dan memicingkan mata; sebagai bentuk ghazwul fikri untuk menghapus cita-cita --atau katakanlah utopia-- khilafah itu dari benak kaum muslimin.

Khilafah bagi kaum muslimin --sekarang ini-- memang merupakan impian indah yang tidak mustahil --bahkan pasti-- terwujud kelak, tapi merupakan mimpi buruk bagi kaum kuffar, zindiq dan munafiq. Segala daya dan kekuatan mereka kerahkan untuk membendung geliat ummat Islam (saya tidak berbicara tentang HT dan saya bukan HT) ke arah itu. Saya kira mereka yang sedikit bervisi tajam, bisa membaca kegelisahan, kekuatiran bahkan mungkin sudah sampai pada tingkat kepanikan mereka menghadapi kemungkinan berulangnya kembali sejarah khilafah.

Konyolnya, si Ulil mengangkat si Dino sebagai tamsil kemustahilan kebangkitan kembali khilafah. Dinosaurus memang sudah musnah dan tinggal fosil. Tapi manusia, muslim militan, mujahid dakwah masih eksis hingga sekarang. Calon khalifah setiap saat bisa lahir dari rahim kaum hawa (ataukah anak-cucu Adam dan Hawa juga telah musnah seperti Dino?). Harap dibedakan tingkatan maknanya antara cita-cita, utopia (khayalan) dan impossible (mustahil).

Cita-cita berarti suatu target yang secara realitas mampu diraih. Seperti seorang anak yang rajin belajar bercita-cita kelak jadi doktor. Utopia berarti suatu keinginan yang secara realitas "nyaris" (99%) tidak mungkin tercapai. Misalnya Indonesia berencana mencaplok Amerika dalam waktu dekat ini. Sedangkan mustahil berarti sesuatu yang memang tidak mungkin terjadi. Contohnya Ulil ingin hidup seribu tahun lagi. Bagaimana dengan khilafah? Khilafah sudah pernah terjadi jadi jelas bisa dan bukan mustahil. Persoalannya tinggallah utopia ataukah cita-cita.

Khilafah adalah utopia bila realitas eksternal dan internal ummat Islam --secara manusiawi-- belum memungkinkan. Dan dia beralih menjadi sebuah cita-cita bila kualitas dan kuantitas keberagamaan dan keduniawian ummat Islam telah mencapai taraf tertentu. Nah, berbicara tentang realitas (situasi dan kondisi), hanya orang dungu yang menyangka realitas tidak bisa berubah secara ekstrim, baik dalam jangka pendek apalagi panjang. Ulil... perbaiki visi kacamatamu! 8-D

Saya jadi teringat dengan ungkapan Albert Einstein ketika --tidak lama setelah Nagasaki dan Hiroshima dilumat bom atom dalam Perang Dunia Kedua-- ditanya: bisakah anda memberi gambaran kira-kira bagaimana kemampuan persenjataan bila terjadi PD III? Dengan mata tajam menerawang dia menjawab: saya tidak mampu menerangkan bagaimana model senjata PD III; tapi agaknya saya bisa membayangkan senjata apa yang dipakai di PD IV. Sedikit heran, si penanya tak sabaran: senjata apa itu? Einstein menjawab dengan ketus dan serius: KAPAK.

Apa maksudnya? Bila PD III benar-benar meletus maka --menurut prediksi Einstein sang arsitek bom atom-- jarum sejarah ummat manusia akan berputar kembali ke zaman batu (sebut saja zaman neo-batu). Infrastruktur teknologi dan peradaban yang dibangun dan dibangga-banggakan sekian lama, hancur tidak bersisa. Sehingga bila terjadi PD IV (mungkin di zaman neo-perunggu) tidak bisa lain, orang bersenjatakan kapak perang. Saya tidak ingin ikut-ikutan berprediksi futuristik bahwa boleh jadi peristiwa Dajjal dipenggal lehernya oleh Nabi Isa (seperti informasi Nabi) terjadi di zaman itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa perubahan realitas secara spektakuler adalah hal yang lumrah dan biasa, bisa terjadi setiap saat. Jangan terpaku dan termangu dengan kebekuan dan kebuntuan masa kini.

Bayangan bakal terjadinya perang dunia ketiga dengan model senjata pemusnah (bukan lagi massal tapi) global merupakan horor yang sangat menakutkan negara-negara "maju" yang justru mereka sendiri yang membuat dan menyimpannya. Lihatlah betapa sinting dan rapuhnya peradaban yang katanya maju ini. Lebih bodoh dan goblok lagi karena mereka pun memandang geliat kebangkitan khilafah sebagai teror yang tidak kalah menakutkannya. Padahal khilafah merupakan institusi kepemimpinan ummat Islam yang berlandaskan dan berpedoman dengan aqidah dan syariat Islam itulah yang akan mengarahkan dunia menuju peradaban yang tidak hanya mengusung HAM (Hak Asasi Manusia) tapi terlebih lagi menjunjung tinggi HAT (Hak Asasi Tuhan).

Sekali lagi, utopia, cita-cita atau realita? Ketiga-tiganya benar pada ruang dan waktunya masing-masing. Tugas kita sekarang adalah berusaha berislam dengan baik sesuai Sunnah Nabi dan Sunnah al-Khulafa' ar-Rasyidun serta orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat agar khilafah berubah dari utopia menjadi cita-cita dan seterusnya menjadi realita. Kemungkinan besar kita tidak ikut menyaksikan terwujudnya khilafah itu, tapi yang penting adalah kita sudah berada dalam barisan panjang jama'ah muslimin yang ikut memimpikan, mewacanakan, mengarahkan, merintis hingga membidani lahirnya khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah di akhir zaman kelak.

Jadi jangan dihiraukan ocehan orang-orang liberal yang tidak percaya dengan janji-janji Tuhan dan tidak mengenal yang namanya militansi perjuangan dalam Islam. Walhasil, apapun yang diomongkan oleh kaum liberal, semua itu hanyalah ekspresi kebencian dan ketakutan mereka terhadap Islam dan khilafah. Biarlah anjing menggonggong kafilah.... eh khilafah pasti berlaku. :-D

Wassalam,
Yusuf Anshar

sumber: pakdenono.com

Selanjutnya